"Dikasih nggak, nih?" tanya Anwar mengambil kembali ponselnya."Gue cabut kalau dia ngikut," pungkas Fahri dengan wajah ditekuk."Masih patah hati aja, lo, Ri!" ledek Doni."Bukan masalah patah hatinya, ngap! Bini gue kayak ada radarnya aja tiap gue ketemu Priska. Jangan sampai perang dunia lagi, ini aja gue udah pusing!" sungut Fahri."Eh! Bentar! Emangnya lo kapan ketemu Priska lagi?"Fahri mendengkus kesal. "Bulan puasa sama dua minggu yang lalu.""Oh! Jangan-jangan punggung yang di posting Priska itu lo, ya?" Anwar memajukan posisi duduknya yang terhalang meja ke arah Fahri.Kening Fahri berkerut dalam. Beberapa kali melihat akun media sosial Priska, ia tak menemukan unggahan yang menampilkan dirinya selain unggahan saat mereka masih bersama dulu. "Posting di mana emang?" tanya Fahri mengungkapkan penasarannya."Ntar—" Anwar membuka salah satu akun media sosialnya, mengetikkan nama pengguna di kolom pencarian, lalu memamerkan unggahan Priska yang menampilkan punggung Fahri kepada
Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika Fahri memarkirkan mobilnya di garasi. Meskipun lampu di ruang tengah telah dimatikan, tetapi Fahri dapat merasakan suasana rumah yang jauh berbeda dari saat ia tinggalkan tadi, aromanya lebih segar, dan terlihat bersih karena tak ada lagi tumpukan piring kotor di meja makan.Perlahan Fahri membuka pintu kamar, ruangan tersebut juga sudah gelap. Fahri kemudian menyalakan lampu, bermaksud mencari pakaian ganti di lemari. Ruangan yang mendadak terang, membuat Dinda yang semenjak tadi susah tidur nyenyak, seketika tersentak."Uda sudah pulang?" sapa Dinda dengan suara serak. "Mau Nda bikinin minuman hangat?" Dinda bergegas bangkit dari baring sembari mengucek matanya yang masih terasa berat.Namun, respon yang Dinda dapat dari Fahri sungguh di luar dugaan. Lelaki itu melengos tak menghiraukannya. Seolah suara Dinda yang bertanya hanya angin lalu. Dinda yang sedang malas mencari gara-gara, memilih diam dan kembali
Fahri terkesiap tatkala membaca pesan dari Dinda. Lama ia menatap layar ponselnya. Tadinya dia berharap pesan dari Dinda berisi permohonan maaf, bukan menerima begitu saja apa yang ia cetuskan kemarin siang. Tenggorokan Fahri tercekat. Ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Bukan takut dengan reaksi uminya, tetapi takut jika Dinda benar-benar nekat mengajukan gugatan cerai itu. Namun, Fahri enggan menjilat ludahnya sendiri. Ia masih berusaha mempertahankan egonya. Dinda tak akan berani, karena tak ingin mengecewakan umi, begitu egonya mendebat.[Ya. Nanti biar aku kasih tau umi.]Pesannya dibaca Dinda, tetapi tak lagi ada balasan. Lama Fahri memandangi layar ponselnya. Menunggu jawaban dari Dinda, tetapi benda itu tak lagi bersuara. Fahri saat itu tengah bersama Hendra, mendiskusikan rencana bisnis baru mereka. Percakapan mereka terjeda. Pikiran Fahri kini terbelah dua. Tadinya ia berharap dengan mengabaikan Dinda sementara, bisa membuat Dinda mengakui kesalahan, alih-alih menimpakan k
Langit Bandung yang sudah diselimuti gelap seolah turut menangis saat menyambut kedatangan Dinda. Rintik hujan yang cukup deras membuat Dinda terpaku di peron. Seolah tersadar dari lamunan, Dinda mengerjap beberapa kali menatap ke sekililing area stasiun. Penumpang yang tadi turun bersamanya dari kereta yang sama sudah mengurai. Mereka telah melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing. Kini tinggallah Dinda terpaku di pinggir rel, tempat ia tadi turun, tanpa tujuan. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan hampir tengah malam. Dinda kebingungan. Bodohnya ia tak tau alamat pasti rumah mertuanya. Dinda pun merutuki diri karena tak mungkin menelpon mertuanya itu tengah malam begini. Tiba-tiba ia teringat Dena—istri kakak iparnya. Gegas Dinda merogoh sling bag, mengeluarkan ponsel dan mencari nama Dena pada daftar kontak. Tak menunggu lama, Dena menjawab panggilannya. "Hai, cantik! Apa kabar?" sapa Dena dengan suara ceria dari seberang sana. "Assalamualaikum Teteh. Maaf Nda ga
"Nda yang salah emang," sahut Dinda dengan tenggorokan tercekat. Ia kembali mengerjapkan mata untuk menahan airmata yang sudah di pelupuk mata. Dinda tak lagi dapat menyembunyikan lukanya seperti biasa. Mencintai Fahri membuatnya lemah. "Nda dari awal nikah minum pil pencegah hamil."Pasangan suami istri itu saling berpandangan mendengar kalimat Dinda, tetapi mereka tak memberi komentar apa-apa. Sementara Dena merasa kalau dirinya berada di posisi Dinda, tentu akan melakukan hal yang sama. Memiliki anak tanpa dukungan suami bukan hal yang mudah. Mungkin sifat Fahri yang keras dan kekanak-kanakan lah yang menjadi penyebab Dinda melakukan hal itu, begitu pikir Dena. "Nda nggak ngomong ke uda. Terus kemarin uda nemu pil itu—" Dinda membenamkan wajah pada kedua tangannya. Membayangkan wajah dingin Fahri kemarin, membuat hatinya kembali memerih. Kedua pasangan suami istri itu masih berusaha menahan kalimatnya untuk tak berkomentar, membiarkan Dinda mengeluarkan gundahnya. Dinda kemudian
Pagi ini Dinda diantar Rudi ke rumah Emi. Dengan takut-takut Dinda membeberkan masalah rumah tangganya kepada mertuanya itu. Lama Emi tertegun setelah mendengar cerita dari Dinda. "Kalau feeling Rudi, sih, Ari sayang sama Dinda, Mi. Tapi sok ngegedein gengsi," tukas Rudi seolah berusaha mengusir gundah dari pikiran uminya, "kalau dia nggak sayang, ngapain nyuruh Dinda yang ngajuin gugatan cerai, tinggal ngomong talak aja, kelar."Emi mulai mengangguk-angguk pertanda setuju dengan pendapat putra sulungnya."Jadi sekalian aja kerjain tuh anak, biar bisa mikir dewasa dikit," imbuh Rudi, berusaha meyakinkan ibunya. "Ya kalau memang begitu, kita coba saja rencana ini. Umi juga nggak tega kalau Dinda sampai makan hati berulam jantung menahankan kelakuan si Ari," pungkas Emi kemudian. "Nda bawa laptop?" tanya Rudi setelah mendengar persetujuan dari Emi. Dinda mengangguk, bangkit dari duduk dan mengambil laptop yang ia letakkan di samping koper. Dengan cekatan Rudi mengetikkan surat pern
Keributan itu akhirnya dilerai oleh petugas keamanan hotel. Fahri memberontak berusaha melepaskan diri ketika dua orang petugas keamanan menyeretnya keluar dari lobi, dan baru melepaskannya ketika sudah berada di area parkir. Dengan napas terengah, Fahri berbalik, menatap garang pada Dinda yang ternyata sudah berada di belakangnya, yang balik menatapnya sengit. Dinda tak kalah emosi karena Fahri malah mengkambing hitamkan Gibran atas kesalahan yang dibuat oleh Fahri sendiri."Uda ngapain ke sini?" tanya Dinda dengan kedua tangan terlipat di dada. "Sudah tidak sabar mau jadi duda? Uda tenang saja, surat pernyataan cerai yang Uda minta sudah Nda siapkan. Tadinya minggu depan mau Nda kasih ke Uda. Tapi, berhubung Uda sudah ada di sini, sekalian saja Uda tanda tangani." Dinda bergegas membuka tas laptop yang tersampir di bahunya, mengeluarkan secarik kertas dari map plastik, dan menyodorkannya ke tangan Fahri. Penerangan di area parkir yang tidak terlalu terang membuat bias kejut di waja
Fahri buru-buru masuk mobil, ia baru menyadari semenjak tadi menjadi tontonan tamu hotel. Begitu berada di belakang kemudi, Fahri menumpahkan kesedihan, amarah, dan kecewanya dengan memukuli setir. Dadanya terasa sesak, entah mana yang lebih sakit antara ditinggal Priska atau Dinda. Yang jelas, kali ini Fahri makin terasa gila. Padahal Fahri mati-matian untuk mencegah agar ia tak jatuh cinta dan kembali terluka, tetapi justru yang dirasakannya kali ini malah berbalik. Ia jatuh cinta dan terlambat menyadarinya. Sikap Fahri memang terkadang suka seenaknya. Fahri bertingkah seperti itu semata-mata untuk mencegah perempuan yang menyukainya hanya dari sekedar fisik semata, untuk mendekatinya. Fahri menyadari kelebihannya, memiliki wajah yang menarik dan memiliki harta yang bikin silau mata kaum hawa. Fahri tidak mau hanya dimanfaatkan para perempuan yang menyukainya dari apa yang ia miliki saja. Dari dulu bahkan banyak para gadis di kampusnya berlomba-lomba menarik perhatiannya, tetapi F
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat