Fahri terkesiap tatkala membaca pesan dari Dinda. Lama ia menatap layar ponselnya. Tadinya dia berharap pesan dari Dinda berisi permohonan maaf, bukan menerima begitu saja apa yang ia cetuskan kemarin siang. Tenggorokan Fahri tercekat. Ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Bukan takut dengan reaksi uminya, tetapi takut jika Dinda benar-benar nekat mengajukan gugatan cerai itu. Namun, Fahri enggan menjilat ludahnya sendiri. Ia masih berusaha mempertahankan egonya. Dinda tak akan berani, karena tak ingin mengecewakan umi, begitu egonya mendebat.[Ya. Nanti biar aku kasih tau umi.]Pesannya dibaca Dinda, tetapi tak lagi ada balasan. Lama Fahri memandangi layar ponselnya. Menunggu jawaban dari Dinda, tetapi benda itu tak lagi bersuara. Fahri saat itu tengah bersama Hendra, mendiskusikan rencana bisnis baru mereka. Percakapan mereka terjeda. Pikiran Fahri kini terbelah dua. Tadinya ia berharap dengan mengabaikan Dinda sementara, bisa membuat Dinda mengakui kesalahan, alih-alih menimpakan k
Langit Bandung yang sudah diselimuti gelap seolah turut menangis saat menyambut kedatangan Dinda. Rintik hujan yang cukup deras membuat Dinda terpaku di peron. Seolah tersadar dari lamunan, Dinda mengerjap beberapa kali menatap ke sekililing area stasiun. Penumpang yang tadi turun bersamanya dari kereta yang sama sudah mengurai. Mereka telah melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing. Kini tinggallah Dinda terpaku di pinggir rel, tempat ia tadi turun, tanpa tujuan. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan hampir tengah malam. Dinda kebingungan. Bodohnya ia tak tau alamat pasti rumah mertuanya. Dinda pun merutuki diri karena tak mungkin menelpon mertuanya itu tengah malam begini. Tiba-tiba ia teringat Dena—istri kakak iparnya. Gegas Dinda merogoh sling bag, mengeluarkan ponsel dan mencari nama Dena pada daftar kontak. Tak menunggu lama, Dena menjawab panggilannya. "Hai, cantik! Apa kabar?" sapa Dena dengan suara ceria dari seberang sana. "Assalamualaikum Teteh. Maaf Nda ga
"Nda yang salah emang," sahut Dinda dengan tenggorokan tercekat. Ia kembali mengerjapkan mata untuk menahan airmata yang sudah di pelupuk mata. Dinda tak lagi dapat menyembunyikan lukanya seperti biasa. Mencintai Fahri membuatnya lemah. "Nda dari awal nikah minum pil pencegah hamil."Pasangan suami istri itu saling berpandangan mendengar kalimat Dinda, tetapi mereka tak memberi komentar apa-apa. Sementara Dena merasa kalau dirinya berada di posisi Dinda, tentu akan melakukan hal yang sama. Memiliki anak tanpa dukungan suami bukan hal yang mudah. Mungkin sifat Fahri yang keras dan kekanak-kanakan lah yang menjadi penyebab Dinda melakukan hal itu, begitu pikir Dena. "Nda nggak ngomong ke uda. Terus kemarin uda nemu pil itu—" Dinda membenamkan wajah pada kedua tangannya. Membayangkan wajah dingin Fahri kemarin, membuat hatinya kembali memerih. Kedua pasangan suami istri itu masih berusaha menahan kalimatnya untuk tak berkomentar, membiarkan Dinda mengeluarkan gundahnya. Dinda kemudian
Pagi ini Dinda diantar Rudi ke rumah Emi. Dengan takut-takut Dinda membeberkan masalah rumah tangganya kepada mertuanya itu. Lama Emi tertegun setelah mendengar cerita dari Dinda. "Kalau feeling Rudi, sih, Ari sayang sama Dinda, Mi. Tapi sok ngegedein gengsi," tukas Rudi seolah berusaha mengusir gundah dari pikiran uminya, "kalau dia nggak sayang, ngapain nyuruh Dinda yang ngajuin gugatan cerai, tinggal ngomong talak aja, kelar."Emi mulai mengangguk-angguk pertanda setuju dengan pendapat putra sulungnya."Jadi sekalian aja kerjain tuh anak, biar bisa mikir dewasa dikit," imbuh Rudi, berusaha meyakinkan ibunya. "Ya kalau memang begitu, kita coba saja rencana ini. Umi juga nggak tega kalau Dinda sampai makan hati berulam jantung menahankan kelakuan si Ari," pungkas Emi kemudian. "Nda bawa laptop?" tanya Rudi setelah mendengar persetujuan dari Emi. Dinda mengangguk, bangkit dari duduk dan mengambil laptop yang ia letakkan di samping koper. Dengan cekatan Rudi mengetikkan surat pern
Keributan itu akhirnya dilerai oleh petugas keamanan hotel. Fahri memberontak berusaha melepaskan diri ketika dua orang petugas keamanan menyeretnya keluar dari lobi, dan baru melepaskannya ketika sudah berada di area parkir. Dengan napas terengah, Fahri berbalik, menatap garang pada Dinda yang ternyata sudah berada di belakangnya, yang balik menatapnya sengit. Dinda tak kalah emosi karena Fahri malah mengkambing hitamkan Gibran atas kesalahan yang dibuat oleh Fahri sendiri."Uda ngapain ke sini?" tanya Dinda dengan kedua tangan terlipat di dada. "Sudah tidak sabar mau jadi duda? Uda tenang saja, surat pernyataan cerai yang Uda minta sudah Nda siapkan. Tadinya minggu depan mau Nda kasih ke Uda. Tapi, berhubung Uda sudah ada di sini, sekalian saja Uda tanda tangani." Dinda bergegas membuka tas laptop yang tersampir di bahunya, mengeluarkan secarik kertas dari map plastik, dan menyodorkannya ke tangan Fahri. Penerangan di area parkir yang tidak terlalu terang membuat bias kejut di waja
Fahri buru-buru masuk mobil, ia baru menyadari semenjak tadi menjadi tontonan tamu hotel. Begitu berada di belakang kemudi, Fahri menumpahkan kesedihan, amarah, dan kecewanya dengan memukuli setir. Dadanya terasa sesak, entah mana yang lebih sakit antara ditinggal Priska atau Dinda. Yang jelas, kali ini Fahri makin terasa gila. Padahal Fahri mati-matian untuk mencegah agar ia tak jatuh cinta dan kembali terluka, tetapi justru yang dirasakannya kali ini malah berbalik. Ia jatuh cinta dan terlambat menyadarinya. Sikap Fahri memang terkadang suka seenaknya. Fahri bertingkah seperti itu semata-mata untuk mencegah perempuan yang menyukainya hanya dari sekedar fisik semata, untuk mendekatinya. Fahri menyadari kelebihannya, memiliki wajah yang menarik dan memiliki harta yang bikin silau mata kaum hawa. Fahri tidak mau hanya dimanfaatkan para perempuan yang menyukainya dari apa yang ia miliki saja. Dari dulu bahkan banyak para gadis di kampusnya berlomba-lomba menarik perhatiannya, tetapi F
Setibanya di kamar, Dinda mendapati kamar kosong. Nunik tampaknya belum kembali ke kamar. Badan dan pikiran yang terasa letih, membuat Dinda merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia hampir saja tertidur ketika mendengar suara pintu kamar terbuka dan Nunik memanggil namanya dengan panik. "Kenapa, Nik?" tanya Dinda dengan wajah linglung. Ia baru saja hampir tertidur, kesadarannya belum sepenuhnya mengumpul. "Suami kamu pingsan di bawah, Dinda!" seru Nunik panik. Reflek Dinda bangkit dari baring. Ia sempat terhuyung karena kehilangan keseimbangan. "Kok, bisa?" tanya Dinda saat ia dan Nunik ke luar kamar secara bersamaan. "Nggak tau juga, aku tadi pas datang ngeliat orang ramai-ramai, pas aku lihat kok kayak kenal. Terus aku ingat, wajahnya mirip sama suamimu."Dinda yang mendadak menghentikan langkah, membuat Nunik bingung. "Lho, kok berhenti?""Kirain beneran suami aku. Nggak taunya mirip doang," ujar Dinda berniat hendak kembali ke kamar dan kembali mau meneruskan tidurnya. "Eh,
"Nda kemarin ke mana?" tanya Fahri begitu ia selesai makan. Perut yang terisi dan Dinda sudah ada di hadapannya, sedikit memperbaiki suasana hatinya. Wajahnya sudah tak sepias tadi dan tatapan matanya pun sudah tak sesinis biasanya. Ia menatap sendu ke arah perempuan yang tengah sibuk dengan ponsel di meja seberang. Perempuan yang mampu meruntuhkan sikap angkuhnya. Dinda mengangkat wajah dari ponselnya. "Ke Bandung, ketemu umi," sahut Dinda dengan nada datar. Fahri terkesiap wajahnya kembali pias. "Umi bilang apa?""Ya, sama kayak uda bilang kemarin ke Nda. Kalau Nda sudah nggak kuat, silahkan saja ajukan gugatan cerai.""Serius umi bilang gitu?" Fahri menatap Dinda tak percaya.Dinda mengangguk. "Kata umi, nanti setelah Uda tanda tangan surat cerai itu, umi akan berembug sama tetua adat di kampung. Biar nanti pas pendaftaran pengajuan cerai bisa cepat."Tangan Fahri reflek menjangkau tangan Dinda. "Jangan diterusin. Uda minta maaf. Nda pulang, ya," pinta Fahri masih dengan tatapan