"Nda kemarin ke mana?" tanya Fahri begitu ia selesai makan. Perut yang terisi dan Dinda sudah ada di hadapannya, sedikit memperbaiki suasana hatinya. Wajahnya sudah tak sepias tadi dan tatapan matanya pun sudah tak sesinis biasanya. Ia menatap sendu ke arah perempuan yang tengah sibuk dengan ponsel di meja seberang. Perempuan yang mampu meruntuhkan sikap angkuhnya. Dinda mengangkat wajah dari ponselnya. "Ke Bandung, ketemu umi," sahut Dinda dengan nada datar. Fahri terkesiap wajahnya kembali pias. "Umi bilang apa?""Ya, sama kayak uda bilang kemarin ke Nda. Kalau Nda sudah nggak kuat, silahkan saja ajukan gugatan cerai.""Serius umi bilang gitu?" Fahri menatap Dinda tak percaya.Dinda mengangguk. "Kata umi, nanti setelah Uda tanda tangan surat cerai itu, umi akan berembug sama tetua adat di kampung. Biar nanti pas pendaftaran pengajuan cerai bisa cepat."Tangan Fahri reflek menjangkau tangan Dinda. "Jangan diterusin. Uda minta maaf. Nda pulang, ya," pinta Fahri masih dengan tatapan
"Nggak bisa di nego lagi?" tanya Fahri menatap nanar ke arah Dinda. Dinda menggeleng disertai senyuman. "Kita balik, yuk! Nggak enak dari tadi jadi tontonan gratis." Dinda bangkit dari duduk. Sesaat kemudian meringis sembari memegangi perutnya yang semenjak tadi memang sudah terasa nyeri. Rasa nyeri itu semakin menjadi, menjalar hingga ke punggung dan kepalanya. "Nda kenapa?" Fahri dengan penuh perhatian melingkarkan lengannya di bahu Dinda. Ia baru menyadari keringat yang membanjiri kening istrinya itu. Kini wajah Dinda yang berganti pias. "Sakit datang bulan lagi?" tebak Fahri sembari mengusap peluh di kening Dinda, mengeratkan pelukannya ke bahu sang istri. Hanya mengangguk yang bisa Dinda lakukan untuk menjawab pertanyaan Fahri. Dinda memang selalu merasakan nyeri hebat setiap tamu bulanannya datang. Yang ia butuhkan saat ini adalah, meminum obat pereda nyeri dan meringkuk di bawah selimut hangat. "Bawa obat pereda nyerinya, nggak?" tanya Fahri kembali. Dinda mendongak semba
Dinda : [Mission accomplished ] Dinda menuliskan pesan pada grup Mission Impossible—yang baru dibentuk tadi pagi bersama keluarga Fahri. Dinda tak mengira misi mereka membuat Fahri bertekuk lutut akan berakhir secepat ini. Semua rencana yang telah mereka susun untuk beberapa bulan ke depan, tak jadi terlaksana. Dena : [Serius Ari udah nyerah, Nda?] Dena membalas pesan Dinda langsung ke kontaknya, alih-alih di grup mereka. Dinda : [Iya, Teh. Uda sampai pingsan segala tadi pas Nda kasih surat cerainya.]Dena : [🤣]Dena : [Ya Tuhan, drama apa yang dimainkan si Kampret itu.]Dena : [Pingsan kenapa dia? Aku pikir dia sakti mandraguna 🤣]Dinda melirik ke arah Fahri yang sudah tertidur pulas. Lelah jelas terjejak di wajah lelaki itu. Dinda membekap mulutnya untuk menahan tawa membaca balasan-balasan pesan dari Dena. Nyeri di perutnya sudah mereda setelah meminum obat pereda nyeri dan kompres hangat yang diberikan Fahri, ditambah pijatan penuh cinta, membuat rasa sakit itu hilang seketik
Saat terbangun, Fahri gelagapan karena sisi ranjang yang ditiduri Dinda telah kosong. Gegas Fahri bangkit dari baring menuju pintu kamar mandi dan mengetuk pintu yang terbuat dari kaca sandblasted di depannya dengan panik sambil memanggil nama Dinda. "Uda kenapa?" tanya Dinda saat membuka pintu kamar mandi dan melongokkan kepala yang terbungkus handuk. "Kebelet," ringis Fahri malu mengakui bahwa ia takut kembali ditinggalkan Dinda. Tentu saja gengsinya masih belum sepenuhnya hilang. Dinda mengulas senyum jail. "Bukan karena takut Nda tinggalin, kan?"Fahri cengengesan. "Salah satunya." Fahri dengan terpaksa mengakui, daripada Dinda kembali ngambek dan kembali pergi."Uda berangkat jam berapa?" tanya Dinda sebelum Fahri menutup pintu kamar mandi. Fahri urung menutup pintu. "Kemana?""Ngantor.""Uda nggak masuk hari ini, mau di sini aja dulu sama Nda.""Ih! Nda kan diklat, ngapain Uda di sini? Ntar bengong-bengong sendirian malah kesambet!""Kan ntar istirahat bisa ketemu lagi." Fah
Dengan berat hati, akhirnya Fahri meninggalkan hotel setelah dipaksa Dinda untuk berangkat kerja. "Nggak baik melalaikan tanggung jawab, Uda. Jangan sampai perusahaan malah merugi kalau nggak diurus dengan baik." Begitu kata Dinda saat Fahri masih bersikeras untuk tinggal lebih lama di hotel bersama Dinda.Dinda mengantar Fahri hingga ke mobil. Bukan hanya Fahri, Dinda pun sebenarnya merasa berat hati berpisah setelah semalam lelaki itu memperlakukannya dengan baik, hingga nyeri haid yang begitu menyiksa tak lagi ia rasakan saat bangun pagi ini. "Hati-hati di jalan, Uda," ucap Dinda saat Fahri menyalakan mesin mobil. Fahri membalas dengan menunjuk pipinya dan menyodorkan ke arah Dinda. "Apaan?" tanya Dinda kemudian mengulum bibir. "Kiss," balas Fahri dengan senyum yang ditahan. Dinda menggeleng malu-malu. "Kan tadi udah.""Lagi.""Malu dilihat orang Uda.""Biarin, sama istri sendiri," ujar Fahri setengah memaksa. Setelah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, buru-buru
"Gosip yang aku dengar, Pak Gibran di-cut jadi pemateri gara-gara masalah dengan suamimu kemarin," tukas Nunik saat Dinda mengungkapkan rasa penasaran akan absennya Gibran selama seminggu ini. Nunik memang selalu terdepan dalam mendapatkan informasi seputaran kabar yang off the record selama pelatihan."Makanya grup cewek-cewek fans Pak Gibran makin jutek sama kamu, idolanya sampai nggak ngisi kelas." Nunik terkekeh-kekeh saat mengatakan hal itu. Dari semua peserta pelatihan perempuan, hanya Nunik yang masih terasa bersikap netral pada Dinda. Sisanya ada yang terang-terangan menunjukkan rasa tak sukanya, ada pula yang hanya berani menyindir-nyindir."Tapi kok dari pihak panitia nggak ada konfirmasi ke aku, ya? Kan masalahnya juga belum jelas. Lalu kenapa Pak Gibran sendiri yang kena imbasnya." Dinda masih merasa janggal dengan absenya Gibran selama satu minggu ini. "Ya tetap saja Pak Gibran yang salah, sih. Seharusnya dia nggak main perasaan lah sama mentee¹, apalagi mentee-nya suda
Dengan semangat yang sudah terisi penuh, hari ini Dinda bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala keperluan Fahri dan dirinya berangkat kerja. Saat Fahri baru pulang dari mesjid, Dinda sudah berpakain rapi, menata sarapan di meja makan. Fahri tak tahan untuk tidak memeluk Dinda dari belakang, melabuhkan kecup di salah satu pipi mulus itu. Satu bulan penuh istrinya tidak berada di rumah, tempat itu terasa mati, dan kini terasa kembali hidup. "Uda buruan ganti pakaian, ntar kita kesiangan." Dinda melepas belitan lengan Fahri di pinggangnya dengan tawa geli."Duh! Yang nggak sabar mau ketemu Gibran," cibir Fahri dengan wajah cemberut. Dinda menghentikan langkahnya yang hendak ke pantry mengambil kopi yang baru ia seduh. Ia mengulas senyum, meskipun kesal, tetapi Dinda mulai mencandu ekspresi cemburu Fahri saat menyinggung Gibran. Sebaliknya Fahri, ia pun mencandu reaksi Dinda saat berkata, "Nda sayanganya cuma sama Uda. Jangan cemburu terus." Lalu Dinda menjangkau pipi Fahri dan sebuah
"Hei, wajahnya jangan tegang gitu terus," sergah Fahri saat Dinda turun dari mobil. Dinda mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Terima kasih sudah nganterin Nda kerja, Uda," balas Dinda sembari mengembuskan napas dan berusaha melepas apa yang terasa menekan dadanya."Nanti kabari kalau sudah pulang, biar uda jemput." Fahri sudah mulai tak ambil pusing dengan sikap Dinda yang terlihat tak biasa itu. Ia tak mau membuat Dinda makin tertekan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dinda kembali membalas dengan anggukan dan seulas senyum tipis, kemudian melambaikan tangan saat Fahri beranjak pergi. Dinda mengembuskan napas panjang dan menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang mendadak terasa kering. Jika biasa ia menyemangati diri dengan kalimat, "Ini hanya sementara, nggak perlu takut dikucilkan." Namun, kini kalimat itu seolah tak berarti lagi. Pekerjaan ini adalah hal yang ia idamkan semenjak dulu, tetapi insiden Fahri memukul Gibran yang terjadi minggu lalu seolah meruntuhkan segala