"Siapa yang meninggal di rumah kami? Apa istriku? Sudah satu bulan ini dia tak pernah menjawab telponku. Ah, tidak mungkin."Hati Fajar gelisah dan terus bertanya-tanya. Tiga tahun merantau di Riau, mulai dari buruh kelapa sawit hingga jadi mandor, kini ia pulang kampung ke Sumatera Utara tanpa memberitahu kabar ini pada semua keluarga. Hanya sekali setahun berjumpa, tak tahan lagi Fajar berpisah dengan keluarga kecilnya.Bulan yang lalu Yunita minta uang dalam jumlah yang banyak untuk membuka usaha, tapi Fajar tak mengabulkan dan akhirnya memicu kemarahan sang istri. Imbasnya, sebulan terakhir nomor Yunita jadi lebih sering nonaktif."Ini ongkosnya, Pak!" ujar Fajar, menyodorkan selembar uang pecahan bergambar presiden pertama kepada tukang becak tanpa meminta kembalian lagi. Ia letakkan asal tas dan kotak oleh-oleh yang ia beli saat singgah di perjalanan.Orang-orang yang mengerumuni rumah itu terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Mereka menatapnya iba, memberi jalan agar l
"Jual sayur tak seberapa uangnya, Mas. Apalagi tetangga sering berhutang dan tak tahu kapan dibayar. Mas juga dibilangin, jangan kasih utangan, tetap aja dikasih. Pokoknya Mas harus coba merantau. Kemarin ada orang yang cari anggota baru untuk memanen sawit," ujar Yunita tiga tahun lalu. Fajar yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling menghembuskan napas kasar. Dia juga sudah tahu tentang tawaran pekerjaan ini dari salah seorang temannya. Sudah banyak yang pergi ke sana dan pulangnya mereka berhasil membangun rumah atau modal usaha. "Tapi Mas tak mau jauh dari kalian, Sayang. Kamu dan Hera di sini berdua, tak ada laki-laki. Mas cemas kalau ada orang yang berniat jahat karena tahu tak ada laki-laki di rumah ini.""Haduh, Mas. Apa pernah kejadian di kampung ini penjahat masuk rumah? Berapa banyak janda di kampung ini, tak pernah ada berita maling. Kecuali barang diletakkan di luar semalaman, baru hilang," ujar Yunita mulai kesal. Fajar termasuk lelaki yang selalu ingin dekat deng
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin."Yunita meracau. Penampilannya sudah kacau dengan mekap luntur dan rambut berantakan."Mas, katakan kalau kamu cuma mau menghukummu, kan? Maaf karena aku tak ada di rumah saat kamu pulang. Katakan dimana Hera, Mas! Kumohon."Yunita masih mencoba berpikiran positif kalau ini cuma prank.Fajar dan ibunya masih sesenggukan. Tidak seharusnya saling menyalahkan dalam duka, tapi terlalu berat untuk menerima pahitnya kenyataan."Bu, kenapa banyak pengharum ruangan di kamar Hera? Biasanya dia tidak suka bau jeruk."Suaranya bergetar dan mulai melunak, menatap sang mertua dengan penuh harap."Cucu Ibu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dan sudah bau, Yun. Mungkin sudah beberapa hari, baru ketahuan tetangga," jawab Bu Sumi di sela tangis.Yunita kembali meraung-raung. Ini semua bukan mimpi.Dua minggu yang lalu, dia terlalu ingin liburan dengan teman-teman barunya. Sayang kalau tidak ikut, tapi bingung jika harus membawa Hera. Apalagi semua biaya liburannya
"Yunita, kamu kenapa, Sayang?" Tanpa sadar Fajar telah mencemaskan istrinya. Secuil rasa cinta itu masih ada."Ayo cepat bawa Yunita ke puskesmas, Fajar!" seru Bu Sumi, tak kalah cemas. Namun ada yang lebih ia khawatirkan kalau ini adalah puncak permasalahan bagi anak menantunya. Sebagai seorang ibu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.Fajar berlari ke rumah tetangga untuk meminjam mobil. Mereka juga ikutan panik melihat raut wajah lelaki yang baru pulang merantau itu."Semoga tak terjadi apa-apaan, ya. Cepatlah bawa, minyaknya masih banyak.""Makasih, Pak. Saya pinjam dulu mobilnya.""Iya, sama-sama. Hati-hati dan jangan panik.""Iya, Pak. Maksih banyak." Ternyata tetangganya masih baik, sama seperti dulu."Jangan-jangan dia keguguran," celetuk seorang wanita seumuran Yunita yang tak sengaja mendengar penjelasan Fajar.Dulunya dia adalah teman akrab Yunita, tapi semenjak Fajar merantau dan dapat kiriman uang yang lumayan, perlahan hubungan mereka merenggang. Yunita sudah memi
"Mau kemana kamu, Fajar?" Bu Sumi keheranan melihat wajah putranya yang tegang."Aku tak ingin kalau Yunita datang lagi ke rumah ini, Bu. Biar aku sendiri yang mengantar barang-barangnya ini."Perempuan tua yang hanya punya satu orang putra itu menghembuskan napas dengan kasar. Tidak tahu mau memberikan saran apa lagi."Hati-hati." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Bu Sumi. Setelah anaknya pergi menggunakan mobil tetangga yang belum dikembalikan, wanita tua itu hanya bisa pasrah dan banyak berdoa agar Fajar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Dia tak ingin kalau harta satu-satunya harus mendekam di balik jeruji besi.Fajar adalah tipe suami yang penurut dan sangat mencintai pasangannya. Namun, jika sudah fatal bisa kalap."Maaf, dia sudah pulang, Pak. Tadi dijemput seorang temannya.""Baik, makasih."Fajar meninggalkan puskesmas dan segera mencari keberadaan Yunita. Dia belum menemukan petunjuk dimana ibu dari mendiang putrinya sekarang. Ta
Mama tidak bisa tinggal diam melihat anak mama babak belur begini. Katakan siapa yang melakukan ini, David! Mama akan penjarakan dia," seru perempuan berpenampilan modis yang tetap cantik di usia yang tak muda lagi. Bu Harum namanya. Begitu panik setelah seseorang mengabari kalau putranya masuk rumah sakit akibat berkelahi dengan seseorang. "Dia pasti tak sayang dengan hidupnya sampai-sampai ingin berurusan dengan keluarga Prayoga.""Sudahlah, Ma. Mama tidak usah cemas, aku baik-baik saja kok," balas David. Wajahnya sedikit meringis. Meskipun berusaha terlihat kuat, tapi kenyataan kalau seluruh badan terasa remuk. "Coba ceritakan, kenapa kamu bisa dihajar seperti ini?""Gak perlu dibahas lagi, Ma. Mana Yunita, Ma?""Yunita siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa di sini," balas Bu Harum bingung. "Coba lihat di luar, Ma."Bu Harum menurut saja. Dia melihat seorang perempuan dengan penampilan semrawut sedang duduk di kursi tunggu.Terlihat cantik sih. Mungkin dia begini karena mengkh
"Silakan ambil saja yang kalian suka. Bebas," ujar Yunita ketika memasuki sebuah butik branded yang terkenal dengan harga-harganya yang mahal. Dulu dia harus mikir-mikir untuk beli satu stel baju mahal, bahkan harus mengabaikan pakaian putrinya yang kebanyakan sudah sempit demi pakaian incaran. Malu kalau tidak mengikuti trend teman-temannya.Sekarang dia bahkan bisa memborong sepuasnya."Jeng, boleh aku ambil dua?" tanya Heni."Khusus untuk kamu, ambil tiga juga boleh, Beb," balas Yunita santai."Ih, pilih kasih. Kami juga mau dong." Yang lainnya menimpali."Ya sudah, ambil saja. Aku keluar dulu, ya. Mas David ngajak ketemu sebentar di luar, kebetulan lagi ada urusan di daerah sini," ujar perempuan yang sudah naik kelas secara sosial itu.Senyumnya terkembang membaca pesan dari calon suaminya. David memang sangat mencintainya dan katanya sengaja menjumpai karena rindu.Yunita celingukan melihat sekeliling, tapi tidak ada mobil suaminya."Hai, Mbak," sapa seorang perempuan yang Yunita
"Pedas atau sedang?""Eeh, se-sedang saja," balas Raya gelagapan. Tanpa sadar semua pembeli yang mengantri telah bubar. Penjualnya sangat cekatan rupanya. Tak menunggu lama, nasi goreng pinggir jalan itu sudah tersaji di depan Raya, lengkap dengan segelas air putih. Jiwa ala premannya ciut entah kemana saat si penjual duduk tepat di depannya. Menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang masih mengepulkan asap.Seumur-umur, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. Jika makan di luar, selalu di restoran atau kafe yang terjamin kebersihan dan cara pengolahannya. Makanya saat mau bersedekah pun, dia tak segan merogoh uang untuk membeli makanan dari tempat yang mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, lebih berguna memberikannya dalam bentuk uang seharga makanan itu. Akan cukup untuk beberapa kali makan. "Kenapa cuma dilihatin terus, Mbak? Kok gak dimakan? Keburu dingin gak enak loh," celetuk lelaki tadi yang terus mengajaknya bicara. Tinggal mereka bertiga di sana. "Eh, a
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Di warung nasi goreng, Raya dilayani bagai ratu. Ya, semenjak dikabarkan hamil, dia tak dibolehkan bekerja oleh sang suami. Usaha loundry tetap berjalan lancar karena asisten kepercayaan Raya tidak pernah mengecewakan. Usaha nasi goreng Fajar pun sudah menggeliat. Tempat jualan utama kini dengan menu beragam, mengontrak di sebuah ruko yang tak jauh dari loundry milik sang istri sehingga dengan mudah mengontrol usaha itu agar tetap kondusif. Sementara warung sederhana yang dulu masih tetap beroperasi dengan dua mantan preman sebagai tukang masaknya. "Mas, aku mual," keluh Raya. Kebetulan pelanggan lagi sepi. "Ayo kita ke rumah sakit, Dek. Tunggu, aku tutup warung dulu." Fajar hampir menyuruh satu karyawannya untuk menutup warung, tapi Raya tertawa dan mencubit lengan suaminya. "Aku cuma mual, Mas, bukan sakit. Kata bidan ini biasa. Tak perlu ke rumah sakit kali. Aku cuma pengen air hangat," kekeh Raya. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau kamu ada keluhan lain yang lebih serius, kita perik
"Mau kemana kita ini, Mas?" cecar Yunita dengan wajah kesal. Semua impiannya jadi orang kaya telah hancur dalam sekejap. David memang tampan, tapi tidak akan bisa membahagiakan tanpa adanya uang. "Ke kontrakan kamulah. Belum habis bulannya, kan?" tanya David. Dia tak menoleh dan terus menarik kopernya, berjalan mendahului Yunita yang agak kesulitan berjalan karena masih menggunakan high heels. "Tapi aku udah ambil semua barangku dari sana, Mas. Mas kita balik lagi?" protes Yunita. Ia sedikit berlari agar bisa menyejajarkan langkah jenjang sanah suami. "Gak apa-apa. Kita ke sana lagi. Kita gak punya uang yang cukup untuk ngontrak lagi. Setidaknya untuk saat ini tak perlu mikirin uang kontrakan."Yunita menarik napas panjang. Ibu kontrakannya termasuk nyiyir karena sering menegurnya jika ketahuan mengizinkan David masuk ke rumah itu malam-malam. Dengan angkuhnya Yunita melempar kunci pada pemilik kontrakan dan mengatakan tak akan pernah kembali ke situ lagi. Seperti menjilat ludah
"Keterlaluan, kamu jahat banget sih, Raya? Aku akan balas perbuatanmu hari ini!" seru Yunita, lalu berlari ke ke kamar mandi. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuh yang terkena air cabe saos itu. Belum lagi mulut yang kepedasan. Mengguyur tubuh di bawah shower sekaligus meminum air mentah jadi solusi instan. Itu belum seberapa dibanding ulahmu pada keluargaku. Dasar benalu!Raya tersenyum puas, lalu melenggang ke kamar, menyusul sang suami. Namun, dia sedikit terkejut karena Fajar berdiri di dekat pintu."Loh, kok belum tidur, Mas?" tanya Raya kikuk. Biar bagaimanapun bencinya dia pada Yunita, tetap ingin terlihat lembut di mata suami. Tak ingin kalau Fajar mengecapnya sebagai wanita yang kasar. "Mas tidak ada lagi perasaan sama Yunita, Dek. Namun, Mas tak suka kalau kamu melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Lebih baik menghindar dari masalah yang tak bermanfaat. Kita tak bisa mengubah seseorang seperti yang kita mau. Itu hak Allah sepenuhnya. Dinasehati dan didoakan
"Aneh sekali. Bukannya kalian saling mencintai dan akan menikah? Lalu kenapa harus ada adegan pemaksaan begini? Palingan juga kalian melakukannya atas suka sama suka, tapi kamu pura-pura dilecehkan. Iya, kan?" tuduh Raya."Kamu juga perempuan, Ray. Tega sekali kamu menuduhku seperti itu," isak Yunita, masih bersembunyi di balik selimut. "Aku bicara fakta. Soalnya Mas David juga belum bangun sejak tadi, padahal sudah berkali-kali dibangunkan. Sepertinya dia kena efek pil tidur dosis tinggi," desis Raya. Benar-benar tak menyangka kalau akan terjadi kasus seperti ini, padahal kedua orang tua David sudah merestui sejak awal. Disuruh menikah secepatnya, tapi malah diundur-undur dengan alasan Raya harus duluan menikah. "Pa, banyak wartawan yang datang ke sini," ujar Fajar dan didengar oleh Raya. Dia meninggalkan Yunita dengan segala aktingnya dan menemui wartawan. Tak lupa mengunci pintu kamar dari luar karena tahu pemburu berita itu terkadang nekad. "Kami dengar, anak lelaki Pak Pratam
"Dasar gadis kasar!" desis Yunita. Wajahnya geram, tapi tak berdaya untuk melawan. Betisnya sakit, lutut dan telapak tangan juga sedikit nyeri. Kalau dipaksakan melawan, bisa jadi Raya akan membuat tubuhnya semakin mengerikan. "Oh, Maaf. Aku bukan gadis lagi. Aku ini seorang istri sah dari Mas Fajar dan kami sudah menghabiskan malam bersama."Raya terkekeh. Semua pegawainya sudah ia suruh masuk sehingga tidak perlu tahu urusan pribadinya dengan pelanggan baru yang sok mengancam itu. "Apa? Tidak mungkin! Kamu pasti yang merayunya. Mas Fajar masih mencintaiku." "Kenapa tidak mungkin? Aku jauh lebih cantik dari kamu, Mbak. Kecantikanmu hanya dempulan dan mengundang syahwat lelaki. Jangan kira kalau suamiku masih terbayang akan masa lalunya, apalagi mencintai sampah kayak kamu! Mas Fajar sendiri yang memohon agar aku melayaninya dan aku mau karena kami saling cinta."Raya mengulum senyum. Jika dulu hanya sandiwara bermesraan di depan Yunita, sekarang sudah kenyataan. Tidak ada penyesal
Jika dipikir-pikir, mustahil seorang Raya, anak pengusaha yang punya uang berlimpah harus menghabiskan malam pengantin di sebuah perkampungan. Untung saja rumah itu disulap bagai hotel mewah. Dalam hati yang rela, meraup kisah cinta nan indah. Itulah kenyataannya. "Gimana? Berhasil, kan?" goda Hasan saat Fajar keluar kamar pagi harinya dengan senyuman tipis di wajah. Cukup bisa menjelaskan kalau malam yang mereka lalui terasa indah."Mas Hasan bisa saja bikin istri saya jengkel, tapi sekaligus juga membuktikan cintanya pada saya. Apa ada yang menyuruhmu, Mas?" cecar Fajar dengan pandangan menyelidik. "Dibilang menyuruh sih enggak, tapi saya dengan kerelaan juga melakukan ini. Hardi, temanmu saat kerja di kebun sawit adalah sepupu istri saya. Tadi pagi Hardi cerita tentangmu dan mantan istri, lalu mengatakan kalau Mas Fajar dan istri lagi berkunjung ke kampung mantan. Jadi rencana dadakan ini direstui alam dengan turunnya hujan," kekeh Hasan.Fajar tersenyum seraya menggeleng-gelengk
Hati memang bisa berbolak-balik. Yang benci jadi cinta dan sebaliknya. Tapi hati tidak bisa pura-pura dan dipaksakan semau kita. Hanya lisan saja yang sering berdusta dan seenaknya ingin mempermainkan hati. Itulah yang Yunita lakukan. Fajar benci keadaan itu. Wanita yang rencananya akan menjadi istri pertama dan terakhir telah menusuk hati dengan belati tajam. Seolah hati bagai permainan, Yunita dengan mudah meminta rujuk. Sejak awal sudah jelas di mata itu tak ada lagi cinta, tapi sedikit penyesalan dan didominasi keegoisan.Saat hati bersiap membuka pintu untuk wanita bergelar istri sah, sang mantan mulai mengusik ketenangan jiwa. Andai saja sudah saling cinta dengan Raya, mungkin akan lebih mudah melawan ombak bersama-sama. "Apa kamu mencintaiku, Raya?" tanya Fajar setelah mereka memasuki mobil. Wanita berlipstik tipis itu tak menjawab, membuang muka ke jendela mobil. Seolah memberikan jawaban kalau dia tak akan mungkin jatuh cinta dengan sang suani.Fajar sadar kalau dia dan Ray