"Yunita, kamu kenapa, Sayang?" Tanpa sadar Fajar telah mencemaskan istrinya. Secuil rasa cinta itu masih ada.
"Ayo cepat bawa Yunita ke puskesmas, Fajar!" seru Bu Sumi, tak kalah cemas. Namun ada yang lebih ia khawatirkan kalau ini adalah puncak permasalahan bagi anak menantunya. Sebagai seorang ibu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.
Fajar berlari ke rumah tetangga untuk meminjam mobil. Mereka juga ikutan panik melihat raut wajah lelaki yang baru pulang merantau itu.
"Semoga tak terjadi apa-apaan, ya. Cepatlah bawa, minyaknya masih banyak."
"Makasih, Pak. Saya pinjam dulu mobilnya."
"Iya, sama-sama. Hati-hati dan jangan panik."
"Iya, Pak. Maksih banyak." Ternyata tetangganya masih baik, sama seperti dulu.
"Jangan-jangan dia keguguran," celetuk seorang wanita seumuran Yunita yang tak sengaja mendengar penjelasan Fajar.
Dulunya dia adalah teman akrab Yunita, tapi semenjak Fajar merantau dan dapat kiriman uang yang lumayan, perlahan hubungan mereka merenggang. Yunita sudah memiliki teman baru berkat telepon genggam yang canggih.
"Jaga bicaramu!" bisik yang lain.
Fajar berusaha menepis pikiran buruk setelah mendengar ucapan tetangga. Jika ternyata Yunita sakit beneran dan dia tak peduli, hal itu akan menjadi penyesalan seumur hidup. Biar bagaimana pun, mereka pernah saling mencintai.
Seorang tenaga medis langsung memeriksa keadaan Yunita. Raut wajah perempuan itu terlihat sedih melihat kondisi pasiennya.
"Mas, jangan tinggalkan aku!" lirih Yunita. Dia menggenggam tangan sang suami dan langsung tersenyum karena Fajar tak menarik tangannya. Suaminya pasrah saja.
"Apa yang terjadi dengan menantuku, Nak?" tanya Bu Sumi. Jantungnya berdetak lebih cepat, seperti menunggu sebuah vonis yang menyedihkan.
"Maaf sekali, janin Bu Yunita telah keguguran. Apa ini kehamilan yang tak direncanakan? Sepertinya ini terjadi akibat mengonsumsi obat penggugur kandungan."
Duar. Bagai petasan di tengah malam, memekakkan telinga.
Fajar menarik tangannya dalam genggaman Yunita, menekan dada yang terasa perih. Ini jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.
"Jikalau pun benar kamu selingkuh, aku masih menata hati untuk bisa memperbaiki hubungan kita. Namun, semuanya sudah hancur. Hancur! Kamu berusaha menghilangkan bukti dengan menggugurkan darah dagingmu sendiri. Pembun*h."
Fajar meninju dinding hingga punggung tangannya sedikit berdarah. Andai waktu bisa diputar kembali, dia tak akan pernah mau merantau demi mencari rupiah yang lebih banyak jika kebahagiaan rumah tangga jadi tumbalnya.
"Jangan seperti ini, Nak!" lerai Bu Sumi.
"Sakitnya tangan ini hanya untuk mengalihkan pedihnya hati ini, Bu. Ayo kita pulang," ajak Fajar, tak menghiraukan panggilan Yunita yang menangis dan minta maaf.
Semuanya terlalu menyakitkan untuk menjahit luka yang telah menganga begitu dalam. Jikalau pun dipaksakan, dia akan bernanah dan menyakiti kedua belah pihak.
*
"Aku tak bisa seperti Ibu dan Bapak, berpisah karena maut yang menjemput. Maafkan Fajar, Bu," lirih lelaki yang disegani orang di perkebunan kelapa sawit itu. Jiwa kepemimpinan dan ketegasannyalah yang membuat dia cepat diangkat jadi mandor.
Namun, siapa sangka kalau hatinya sekarang sangat rapuh. Berulang kali menitikkan air mata hanya karena wanita.
"Iya, Nak. Kamu harus kuat. Kamu harus tetap melanjutkan hidup. Kamu berhak bahagia."
Fajar bergeming, menatap wajah yang sudah berkeriput itu.
"Iya, Bu. Fajar akan berusaha bangkit, meskipun ini tak akan mudah."
Barang-barang Yunita telah memenuhi dua koper besar dan diletakkan di dekat pintu. Tinggal menunggu wanita itu datang mengambil barang-barangnya.
Fajar masuk ke kamar putrinya, mengusap berbagai barang-barang peninggalan Hera. Rencananya akan disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan. Mungkin itu lebih bermanfaat.
Netra Fajar tertuju pada ponsel Hera yang masih tersimpan rapi di rak buku. Lekas dia mengambilnya dan ingin melihat semua gambar maupun video gadisnya. Mungkin bisa mengobati kerinduan.
Karena kelamaan tidak dicas, ponsel itu tidak menyala. Fajar langsung menghubungkan ke charger. Sembari menunggu baterainya cukup, pandangannya tertuju pada sebuah bulatan kertas yang diremas-remas.
'Yah, kenapa lama pulang sih? Hera kangen kumpul sama Ayah dan Ibu. Aku tak suka melihat Ibu peluk-pelukan dengan Om David.'
'Yah, aku mau minta ijin, mau diet. Aku gak suka diejek teman-teman. Hera belum makan dua hari, Yah. Perutku sakit banget, tapi gak boleh ngadu sama Ayah.'
'Hera sayang Ayah. Hera kangen. Hera kesepian.'
Mata Fajar memanas dan melihat obat diet dewasa yang tinggal dua biji lagi.
"Sayang, kamu tak sakit lagi, kan? Ayah juga sayang sama kamu," lirih Fajar, menciumi kertas tulisan tangan putrinya. Tak bisa membayangkan kalau gara-gara diet yang tidak diawasi dan ditinggalkan sendirian, Hera harus tiada tanpa didampingi siapa pun.
Tak sabar lagi ingin melihat isi ponsel Hera, ia menghidupkannya dalam keadaan dicas. Beruntung tidak pakai pola ataupun pin. Gadisnya memang sedikit gemuk, apalagi mulai beranjak remaja. Sebagai seorang ayah yang banyak keterbatasan, dia juga merutuki diri karena tak bisa mengawasi tumbuh kembang putrinya.
Sesekali ia tersenyum melihat foto maupun video Hera yang kebanyakan menampilkan wajah yang menggemaskan. Beberapa menampilkan badannya dan memakai baju yang sudah kekecilan. Pantas saja dia diejek karena pakaiannya saja sudah tak muat. Padahal, setiap meminta uang di luar jatah bulanan, sang istri beralasan untuk membeli baju putri mereka.
Ada satu video yang tersimpan di album khusus yang membuat darah mendidih. Tangisnya luruh, lalu memeluk guling dengan erat. Dia tak mau lagi menyakiti diri sendiri untuk keadaan yang tak bisa diperbaiki lagi.
"Mau kemana kamu, Fajar?" Bu Sumi keheranan melihat wajah putranya yang tegang."Aku tak ingin kalau Yunita datang lagi ke rumah ini, Bu. Biar aku sendiri yang mengantar barang-barangnya ini."Perempuan tua yang hanya punya satu orang putra itu menghembuskan napas dengan kasar. Tidak tahu mau memberikan saran apa lagi."Hati-hati." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Bu Sumi. Setelah anaknya pergi menggunakan mobil tetangga yang belum dikembalikan, wanita tua itu hanya bisa pasrah dan banyak berdoa agar Fajar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Dia tak ingin kalau harta satu-satunya harus mendekam di balik jeruji besi.Fajar adalah tipe suami yang penurut dan sangat mencintai pasangannya. Namun, jika sudah fatal bisa kalap."Maaf, dia sudah pulang, Pak. Tadi dijemput seorang temannya.""Baik, makasih."Fajar meninggalkan puskesmas dan segera mencari keberadaan Yunita. Dia belum menemukan petunjuk dimana ibu dari mendiang putrinya sekarang. Ta
Mama tidak bisa tinggal diam melihat anak mama babak belur begini. Katakan siapa yang melakukan ini, David! Mama akan penjarakan dia," seru perempuan berpenampilan modis yang tetap cantik di usia yang tak muda lagi. Bu Harum namanya. Begitu panik setelah seseorang mengabari kalau putranya masuk rumah sakit akibat berkelahi dengan seseorang. "Dia pasti tak sayang dengan hidupnya sampai-sampai ingin berurusan dengan keluarga Prayoga.""Sudahlah, Ma. Mama tidak usah cemas, aku baik-baik saja kok," balas David. Wajahnya sedikit meringis. Meskipun berusaha terlihat kuat, tapi kenyataan kalau seluruh badan terasa remuk. "Coba ceritakan, kenapa kamu bisa dihajar seperti ini?""Gak perlu dibahas lagi, Ma. Mana Yunita, Ma?""Yunita siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa di sini," balas Bu Harum bingung. "Coba lihat di luar, Ma."Bu Harum menurut saja. Dia melihat seorang perempuan dengan penampilan semrawut sedang duduk di kursi tunggu.Terlihat cantik sih. Mungkin dia begini karena mengkh
"Silakan ambil saja yang kalian suka. Bebas," ujar Yunita ketika memasuki sebuah butik branded yang terkenal dengan harga-harganya yang mahal. Dulu dia harus mikir-mikir untuk beli satu stel baju mahal, bahkan harus mengabaikan pakaian putrinya yang kebanyakan sudah sempit demi pakaian incaran. Malu kalau tidak mengikuti trend teman-temannya.Sekarang dia bahkan bisa memborong sepuasnya."Jeng, boleh aku ambil dua?" tanya Heni."Khusus untuk kamu, ambil tiga juga boleh, Beb," balas Yunita santai."Ih, pilih kasih. Kami juga mau dong." Yang lainnya menimpali."Ya sudah, ambil saja. Aku keluar dulu, ya. Mas David ngajak ketemu sebentar di luar, kebetulan lagi ada urusan di daerah sini," ujar perempuan yang sudah naik kelas secara sosial itu.Senyumnya terkembang membaca pesan dari calon suaminya. David memang sangat mencintainya dan katanya sengaja menjumpai karena rindu.Yunita celingukan melihat sekeliling, tapi tidak ada mobil suaminya."Hai, Mbak," sapa seorang perempuan yang Yunita
"Pedas atau sedang?""Eeh, se-sedang saja," balas Raya gelagapan. Tanpa sadar semua pembeli yang mengantri telah bubar. Penjualnya sangat cekatan rupanya. Tak menunggu lama, nasi goreng pinggir jalan itu sudah tersaji di depan Raya, lengkap dengan segelas air putih. Jiwa ala premannya ciut entah kemana saat si penjual duduk tepat di depannya. Menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang masih mengepulkan asap.Seumur-umur, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. Jika makan di luar, selalu di restoran atau kafe yang terjamin kebersihan dan cara pengolahannya. Makanya saat mau bersedekah pun, dia tak segan merogoh uang untuk membeli makanan dari tempat yang mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, lebih berguna memberikannya dalam bentuk uang seharga makanan itu. Akan cukup untuk beberapa kali makan. "Kenapa cuma dilihatin terus, Mbak? Kok gak dimakan? Keburu dingin gak enak loh," celetuk lelaki tadi yang terus mengajaknya bicara. Tinggal mereka bertiga di sana. "Eh, a
"Maaf, harga nasi gorengnya cuma dua belas ribu. Ambil saja uangmu itu, saya kasih gratis karna tidak kamu habiskan. Jangan pernah datang kembali! Saya tak ingin berurusan dengan perempuan yang mulutnya tak ada rem," tegas Fajar dengan ekspresi datar. Pedas bercampur pahit rasanya tenggorokan. Sejujurnya Raya suka dengan nasi gorengnya, tapi dengan menghabiskannya sama saja artinya mengakui kalau makanan pinggir jalan yang dimasak dengan raut muka masam rasanya enak. Namun, dia sedikit lega karena dua orang itu tak memaki dengan kata-kata kasar atau menyakitinya. "Ambil saja ini untuk masnya. Anggap sebagai ganti rugi karena sudah memelintir tangan Mas ini," ujar Raya, menggeser lembaran uang merah itu ke dekat Hardi. "Bawa saja uangmu itu! Dia bukan orang miskin. Saya tak mau kalau istrinya salah paham karena menerima uang dari seorang wanita," tegas Fajar. Meskipun tidak keras suaranya, tapi intonasinya penuh penekanan. Raya mengambil cepat uang dan kunci mobilnya, lalu segera
"Mama? A-aku cuma ...."Suara Yunita menggantung di udara, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Setahunya Bu Harum sudah tidur, tapi sekarang berdiri tak jauh dari mereka. Habislah aku. "Mama senang mendengar ide cemerlang kamu. Mama sudah pusing melihat tingkah anak itu, kerjanya keluyuran terus. Sikapnya juga tak bisa kayak perempuan. Mama malu sering diledekin punya dua anak laki-laki," ujar perempuan yang mengenakan piyama itu. Menarik kursi dan duduk di dekat calon menantunya. "Dia pasti tak bisa nolak lagi. Soal cinta, bisalah itu tumbuh belakangan. Mama sama Papa dulu menikah tanpa cinta kok," imbuh Bu Harum. Dia sudah pusing dengan tingkah kedua anaknya yang sudah diatur. David sering kali bikin ulah dengan memacari istri atau tunangan orang lain. Tak jarang datang ke rumah memaki-maki mereka sekeluarga. Bikin malu memang. Kayak tak ada perempuan lain saja. Perempuan berambut pendek yang sebagian dicat dengan warna pirang itu sedikit lega karena David akhirnya menemu
Suara dering ponsel Fajar membuatnya menghentikan langkah, langsung melihat nama kontak di layar. Kesempatan itu dijadikan Raya untuk kabur sebelum semua penyamarannya terbongkar. "Assalamualaikum, Bu," sapa Fajar langsung. "Walaikumsalam, Nak. Kamu belum tidur?" Nada suara wanita tua itu sedikit cemas. Hanya lewat ponsel dia bisa memantau putranya karena kembali dipisahkan oleh jarak. Jika dulu Fajar berstatus istri orang, sekarang duda yang sedang banyak pikiran. Tentu saja berbeda kecemasan Bu Sumi terhadap putranya, dulu dengan sekarang. "Belum, Bu. Bentar lagi.""Ini udah tengah malam, Nak. Tidak akan ada lagi orang yang mau beli. Lebih baik tutup warung dan tidur. Ibu takut kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu kalau buka sampai tengah malam.""Iya, Bu. Tidak usah cemas, Fajar bisa jaga diri.""Jangan larang seorang ibu tidak cemas pada anak yang dilahirkannya. Kamu tak bisa melarangnya, Fajar. Ibu mohon, jaga kesehatanmu, Nak. Kalau kamu sakit, Ibu jauh dan tidak bisa
"A-aku yatim piatu, Pa." Dengan susah payah dan penuh pertimbangan, kalimat itu yang meluncur dari bibir. Terpaksa dan berharap kalau itu semua tak terjadi. Yunita masih punya seorang bapak yang sudah renta dan Fajar adalah menantu kesayangan. Perceraiannya mereka saja dengan Fajar tak ia kabarkan pada orang tuanya, apalagi pernikahan kedua. Sama saja akan mencari masalah dan gagal jadi menantu orang kaya. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalau begitu, kita ziarah saja ke sana sebelum pernikahan kalian dilangsungkan," ujar Papa. Sedikit iba melihat perempuan itu, meskipun kesan pertamanya dia tak suka. Seorang anak perempuan hidup sebatang kara pasti sangat menyedihkan. "Nantilah itu, Pa. Kita atur dulu waktunya," ujar David karena melihat kekasihnya sudah gugup dan bingung mau jawab apa. Sedikit banyaknya dia tahu tentang keluarga Yunita, termasuk calon bapak mertuanya yang lumayan cerewet. "Baiklah. Papa hanya tak ingin kalian kebablasan, makanya kalau memang sudah yakin den
Enam bulan berlalu dengan status sebagai duda, David perlahan menjadi insan yang lebih taat. Berkat kesabaran Hardi mengingatkannya agar salat. Tak lupa juga buku tuntunan salat jadi bacaan wajib David. Karena dasarnya dia waktu kecil adalah anak yang pintar mengaji, tak terlalu susah untuk mengembalikan kepingan ingatan. Apalagi diringi niat yang kuat. "Dav, sepertinya sudah saatnya kamu pergunakan ijazah kamu, deh. Aku yang cuma lulusan SMA sederajat tak merasa pantas punya pekerja seorang sarjana," ujar Hardi suatu hari. Dia merasa kalau David sudah benar-benar berubah dan saatnya dikembalikan ke tempat yang seharusnya. "Apa aku punya salah, Mas? Sampai-sampai harus dipecat dengan alasan seperti ini? Jika pun aku cari kerja di tempat lain, belum tentu dapat bos sebaik Mas Hardi," ujar David cemas. Sahabatnya Fajar tertawa sekilas, lalu menepuk bahu pekerjanya yang paling rajin. "Kamu tak salah apa-apa, Dav. Aku tahu kalau kamu sarjana dan kebetulan ada satu perusahaan yang lagi
"Pulang atau kopermu kubuang ke jalan!" ancam David melalui sambungan telepon. Yunita kaget, kenapa tiba-tiba suaminya yang sudah lembut kembali ke sikap aslinya. Suka marah-marah. "Oke oke. Aku balik sebentar lagi.""Sekarang.""Nanti!"Yunita mematikan ponsel sepihak. Mendengar suara musik yang hingar bingar, David tak sabar menunggu. Tak yakin kalau Yunita akan secepatnya pulang. Tak butuh lama untuk menemukan tempat tongkrongan istrinya dan pertengkaran pun tak lagi terelakkan, terlebih David memergoki Yunita sedang bermesraan dengan seorang lelaki yang kelihatan jauh lebih tua, tapi berpenampilan kaya. "Aku ini suamimu, tapi beraninya kamu bermesraan dengan kakek-kakek tua itu," sergah David. Setelah sampai rumah, tak bisa dibendung lagi kemarahan itu. Sebuah vas bunga keramik pun melayang ke lantai, sengaja dilempar agak dekat dengan Yunita hingga dia bergidik ngeri. "Kamu mau membunuhku, Mas?""Iya, daripada kamu menodai kehormatanku sebagai suamimu. Jangan-jangan kamu sudah
Di warung nasi goreng, Raya dilayani bagai ratu. Ya, semenjak dikabarkan hamil, dia tak dibolehkan bekerja oleh sang suami. Usaha loundry tetap berjalan lancar karena asisten kepercayaan Raya tidak pernah mengecewakan. Usaha nasi goreng Fajar pun sudah menggeliat. Tempat jualan utama kini dengan menu beragam, mengontrak di sebuah ruko yang tak jauh dari loundry milik sang istri sehingga dengan mudah mengontrol usaha itu agar tetap kondusif. Sementara warung sederhana yang dulu masih tetap beroperasi dengan dua mantan preman sebagai tukang masaknya. "Mas, aku mual," keluh Raya. Kebetulan pelanggan lagi sepi. "Ayo kita ke rumah sakit, Dek. Tunggu, aku tutup warung dulu." Fajar hampir menyuruh satu karyawannya untuk menutup warung, tapi Raya tertawa dan mencubit lengan suaminya. "Aku cuma mual, Mas, bukan sakit. Kata bidan ini biasa. Tak perlu ke rumah sakit kali. Aku cuma pengen air hangat," kekeh Raya. "Baiklah, Sayang. Tapi kalau kamu ada keluhan lain yang lebih serius, kita perik
"Mau kemana kita ini, Mas?" cecar Yunita dengan wajah kesal. Semua impiannya jadi orang kaya telah hancur dalam sekejap. David memang tampan, tapi tidak akan bisa membahagiakan tanpa adanya uang. "Ke kontrakan kamulah. Belum habis bulannya, kan?" tanya David. Dia tak menoleh dan terus menarik kopernya, berjalan mendahului Yunita yang agak kesulitan berjalan karena masih menggunakan high heels. "Tapi aku udah ambil semua barangku dari sana, Mas. Mas kita balik lagi?" protes Yunita. Ia sedikit berlari agar bisa menyejajarkan langkah jenjang sanah suami. "Gak apa-apa. Kita ke sana lagi. Kita gak punya uang yang cukup untuk ngontrak lagi. Setidaknya untuk saat ini tak perlu mikirin uang kontrakan."Yunita menarik napas panjang. Ibu kontrakannya termasuk nyiyir karena sering menegurnya jika ketahuan mengizinkan David masuk ke rumah itu malam-malam. Dengan angkuhnya Yunita melempar kunci pada pemilik kontrakan dan mengatakan tak akan pernah kembali ke situ lagi. Seperti menjilat ludah
"Keterlaluan, kamu jahat banget sih, Raya? Aku akan balas perbuatanmu hari ini!" seru Yunita, lalu berlari ke ke kamar mandi. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuh yang terkena air cabe saos itu. Belum lagi mulut yang kepedasan. Mengguyur tubuh di bawah shower sekaligus meminum air mentah jadi solusi instan. Itu belum seberapa dibanding ulahmu pada keluargaku. Dasar benalu!Raya tersenyum puas, lalu melenggang ke kamar, menyusul sang suami. Namun, dia sedikit terkejut karena Fajar berdiri di dekat pintu."Loh, kok belum tidur, Mas?" tanya Raya kikuk. Biar bagaimanapun bencinya dia pada Yunita, tetap ingin terlihat lembut di mata suami. Tak ingin kalau Fajar mengecapnya sebagai wanita yang kasar. "Mas tidak ada lagi perasaan sama Yunita, Dek. Namun, Mas tak suka kalau kamu melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain. Lebih baik menghindar dari masalah yang tak bermanfaat. Kita tak bisa mengubah seseorang seperti yang kita mau. Itu hak Allah sepenuhnya. Dinasehati dan didoakan
"Aneh sekali. Bukannya kalian saling mencintai dan akan menikah? Lalu kenapa harus ada adegan pemaksaan begini? Palingan juga kalian melakukannya atas suka sama suka, tapi kamu pura-pura dilecehkan. Iya, kan?" tuduh Raya."Kamu juga perempuan, Ray. Tega sekali kamu menuduhku seperti itu," isak Yunita, masih bersembunyi di balik selimut. "Aku bicara fakta. Soalnya Mas David juga belum bangun sejak tadi, padahal sudah berkali-kali dibangunkan. Sepertinya dia kena efek pil tidur dosis tinggi," desis Raya. Benar-benar tak menyangka kalau akan terjadi kasus seperti ini, padahal kedua orang tua David sudah merestui sejak awal. Disuruh menikah secepatnya, tapi malah diundur-undur dengan alasan Raya harus duluan menikah. "Pa, banyak wartawan yang datang ke sini," ujar Fajar dan didengar oleh Raya. Dia meninggalkan Yunita dengan segala aktingnya dan menemui wartawan. Tak lupa mengunci pintu kamar dari luar karena tahu pemburu berita itu terkadang nekad. "Kami dengar, anak lelaki Pak Pratam
"Dasar gadis kasar!" desis Yunita. Wajahnya geram, tapi tak berdaya untuk melawan. Betisnya sakit, lutut dan telapak tangan juga sedikit nyeri. Kalau dipaksakan melawan, bisa jadi Raya akan membuat tubuhnya semakin mengerikan. "Oh, Maaf. Aku bukan gadis lagi. Aku ini seorang istri sah dari Mas Fajar dan kami sudah menghabiskan malam bersama."Raya terkekeh. Semua pegawainya sudah ia suruh masuk sehingga tidak perlu tahu urusan pribadinya dengan pelanggan baru yang sok mengancam itu. "Apa? Tidak mungkin! Kamu pasti yang merayunya. Mas Fajar masih mencintaiku." "Kenapa tidak mungkin? Aku jauh lebih cantik dari kamu, Mbak. Kecantikanmu hanya dempulan dan mengundang syahwat lelaki. Jangan kira kalau suamiku masih terbayang akan masa lalunya, apalagi mencintai sampah kayak kamu! Mas Fajar sendiri yang memohon agar aku melayaninya dan aku mau karena kami saling cinta."Raya mengulum senyum. Jika dulu hanya sandiwara bermesraan di depan Yunita, sekarang sudah kenyataan. Tidak ada penyesal
Jika dipikir-pikir, mustahil seorang Raya, anak pengusaha yang punya uang berlimpah harus menghabiskan malam pengantin di sebuah perkampungan. Untung saja rumah itu disulap bagai hotel mewah. Dalam hati yang rela, meraup kisah cinta nan indah. Itulah kenyataannya. "Gimana? Berhasil, kan?" goda Hasan saat Fajar keluar kamar pagi harinya dengan senyuman tipis di wajah. Cukup bisa menjelaskan kalau malam yang mereka lalui terasa indah."Mas Hasan bisa saja bikin istri saya jengkel, tapi sekaligus juga membuktikan cintanya pada saya. Apa ada yang menyuruhmu, Mas?" cecar Fajar dengan pandangan menyelidik. "Dibilang menyuruh sih enggak, tapi saya dengan kerelaan juga melakukan ini. Hardi, temanmu saat kerja di kebun sawit adalah sepupu istri saya. Tadi pagi Hardi cerita tentangmu dan mantan istri, lalu mengatakan kalau Mas Fajar dan istri lagi berkunjung ke kampung mantan. Jadi rencana dadakan ini direstui alam dengan turunnya hujan," kekeh Hasan.Fajar tersenyum seraya menggeleng-gelengk
Hati memang bisa berbolak-balik. Yang benci jadi cinta dan sebaliknya. Tapi hati tidak bisa pura-pura dan dipaksakan semau kita. Hanya lisan saja yang sering berdusta dan seenaknya ingin mempermainkan hati. Itulah yang Yunita lakukan. Fajar benci keadaan itu. Wanita yang rencananya akan menjadi istri pertama dan terakhir telah menusuk hati dengan belati tajam. Seolah hati bagai permainan, Yunita dengan mudah meminta rujuk. Sejak awal sudah jelas di mata itu tak ada lagi cinta, tapi sedikit penyesalan dan didominasi keegoisan.Saat hati bersiap membuka pintu untuk wanita bergelar istri sah, sang mantan mulai mengusik ketenangan jiwa. Andai saja sudah saling cinta dengan Raya, mungkin akan lebih mudah melawan ombak bersama-sama. "Apa kamu mencintaiku, Raya?" tanya Fajar setelah mereka memasuki mobil. Wanita berlipstik tipis itu tak menjawab, membuang muka ke jendela mobil. Seolah memberikan jawaban kalau dia tak akan mungkin jatuh cinta dengan sang suani.Fajar sadar kalau dia dan Ray