Aisyah duduk termenung di sudut ruang tamu rumah mereka, memandangi cangkir teh hangat yang gemetar di tangannya. Detak jam di dinding terdengar begitu jelas, mempertegas suasana hening yang melingkupi ruangan. Kekhawatiran menguasai benaknya. Farhan semakin sering terlihat menyendiri, tenggelam dalam pikirannya, dan Aisyah merasa semakin jauh dari suaminya. Safira, wanita yang muncul entah dari mana, menjadi benang kusut dalam kehidupan mereka.
Langkah kaki terdengar dari arah pintu depan, membuyarkan lamunan Aisyah. Sosok abi, ayahnya, masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Aisyah, apa yang terjadi? Kamu kelihatan nggak tenang." Aisyah menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku nggak tahu, Ayah. Farhan ... Dia semakin sulit diajak bicara. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, dan aku nggak tahu harus bagaimana." Pak Ahmad duduk di sebelah Aisyah, menatap putrinya dengan tatapan penuh perhatian. "Farhan memang terFarhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti
Aisyah duduk termenung di sudut ruang tamu rumah mereka, memandangi cangkir teh hangat yang gemetar di tangannya. Detak jam di dinding terdengar begitu jelas, mempertegas suasana hening yang melingkupi ruangan. Kekhawatiran menguasai benaknya. Farhan semakin sering terlihat menyendiri, tenggelam dalam pikirannya, dan Aisyah merasa semakin jauh dari suaminya. Safira, wanita yang muncul entah dari mana, menjadi benang kusut dalam kehidupan mereka. Langkah kaki terdengar dari arah pintu depan, membuyarkan lamunan Aisyah. Sosok abi, ayahnya, masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Aisyah, apa yang terjadi? Kamu kelihatan nggak tenang." Aisyah menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku nggak tahu, Ayah. Farhan ... Dia semakin sulit diajak bicara. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, dan aku nggak tahu harus bagaimana." Pak Ahmad duduk di sebelah Aisyah, menatap putrinya dengan tatapan penuh perhatian. "Farhan memang ter