Samita artinya bintang. Itu yang ibunya katakan ketika dulu Samita mempertanyakan arti namanya.
“Kamu bintang di hidup Mama. Bintang yang cantik.”
Kalimat sederhana itu terpatri kuat dalam kepala Samita. Menyaksikan bagaimana ibunya berjuang seorang diri membesarkannya, tanpa kehadiran pendamping, menjadikannya sesosok perempuan kuat dan mandiri. Samita tidak suka menggantungkan diri pada siapapun. Pun benci mengandalkan orang lain. Hal lain yang Samita benci selain mengandalkan orang lain adalah ayahnya.
Usianya delapan tahun ketika sang ayah meninggalkan rumah. Waktu itu, Samita masih terlalu kecil untuk memahami ke mana ayahnya pergi. Sesuatu yang baru ia sadari di kemudian hari, bahwa ayahnya pergi demi membangun kehidupan baru dengan wanita lain. Meninggalkan Samita dan ibunya seolah mereka berdua hanyalah seonggok sampah tidak berharga.
Setelah perceraian kedua orang tuanya, Samita menjadi anak yang tertutup. Rumahnya saat itu berada di kompleks perumahan kecil di pelosok Kabupaten Bekasi. Tidak butuh waktu lama sampai masalah keluarganya terdengar dan menjadi bahan perbincangan tetangga sekitar.
Kala itu, Samita tidak hidup berkecukupan. Pasca perceraian orang tuanya, Samita tahu ibunya melakukan segala upaya agar dapat bertahan hidup. Keuangan mereka jatuh pada titik terendah. Ibunya terpaksa mencari dan melakukan pekerjaan apa pun yang bisa dilakukan hanya supaya mereka tetap bisa makan. Memori masa sekolahnya saat itu juga tidak terlalu baik. Cenderung pahit. Ia kerap dipanggil ke ruang guru dan diberitahu perihal tunggakan iuran-iuran yang tidak ia pahami. Bertahan sekitar lima tahun hingga Samita menamatkan pendidikan menengah pertama, ibunya kemudian memutuskan untuk pindah setelah memperoleh pekerjaan yang lebih layak di daerah Jakarta Selatan.
Di sanalah, kehidupan Samita perlahan membaik. Ibunya diberi kepercayaan mengelola dapur dari rumah makan milik seorang teman lama. Ibu Samita yang pandai memasak tidak terlalu mengalami kesulitan menjalankan pekerjaan barunya. Berbeda dengan ibunya, Samita sedikit kesulitan. Terbiasa tidak memiliki teman, gadis itu tidak mampu segera berbaur dengan kebiasaan remaja kota. Apalagi sekolahnya terbilang bonafide. Suasananya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah kabupaten.
“Jadi, ketua kelas kita Nugi, ya. Wakilnya Samita. Setuju?”
Dengan kalimat sederhana itu, Samita ditarik paksa dari zona amannya. Niatnya untuk tetap menutup diri mendadak koyak setelah penunjukan resmi yang entah awalnya diprakarsai oleh siapa. Selepas pengumuman itu, Samita mendengkus. Ia duduk sendiri di bangku paling belakang, tidak memiliki teman atau mengenal siapapun di kelasnya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dirinya mendadak dijadikan calon ketua kelas oleh sang wali kelas. Lebih tidak mengerti lagi ketika mengetahui bahwa hampir sepertiga isi kelas ternyata memilihnya, menjadikannya sebagai peraih suara terbanyak kedua–tepat di bawah seorang anak lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Nugi–dan secara otomatis memperoleh jabatan wakil ketua kelas.
“Struktur organisasi kelas nyusunnya gimana?” tanya si ketua kelas baru pada jam istirahat. Samita mengernyit aneh. Mengapa anak itu bertanya padanya? Bukankah biasanya hal-hal seperti itu dimusyawarahkan dengan seluruh penghuni kelas?
“Terserah,” jawab Samita tidak berminat. Mengingat jabatannya hanya wakil, ia seharusnya baru akan bekerja jika sang ketua sedang tidak bisa menjalankan tugasnya.
“Oke, kalo gitu gue tunjuk sesuka gue aja, ya?”
Kernyitan di wajah Samita kian terpeta. “Nggak ada cara yang lebih demokratis?”
Yang ditanya hanya mengangkat bahu. “Tadi kata lo terserah.”
Benar. Samita tidak terlalu peduli. Hal-hal remeh seperti ini tidak terlalu penting. Tapi, ia terpaksa menahan tawa kala mengetahui bahwa Nugi benar-benar menunjuk setiap anggota organisasi kelas sesuka hatinya. Sekretaris kelas mereka bahkan ditunjuk dengan alasan “Nama lo bagus buat ditulis di papan struktur organisasi kelas.”
Sungguh bukan tipe pemimpin yang demokratis dan bervisi.
Mengemban tanggung jawab sebagai ketua dan wakil ketua kelas selama dua semester di kelas sepuluh, mau tidak mau, interaksi Samita dengan si anak laki-laki aneh itu menjadi lebih banyak dari yang awalnya ia harapkan. Meski sering kali mempertanyakan kredibilitas Nugi dalam menjalankan jabatannya, Samita harus mengakui kalau lelaki itu memiliki kharisma. Ada sesuatu dalam pembawaan diri Nugi yang mampu membuat orang-orang mendengarkannya, untuk kemudian mengikuti kemauannya. Rasanya seperti Nugraha Randika Dipati memiliki magnet dalam dirinya, sebuah daya tarik yang mengikat orang-orang di sekitarnya.
Fakta lain yang kemudian Samita pelajari tentang Nugi adalah bahwa lelaki itu anak yang populer.
Samita tidak pernah terlalu peduli dengan sekitarnya. Ia tidak terlalu ingin memiliki kehidupan sosial. Baginya, hanya ibunya saja satu-satunya sosok penting di dunia ini. Gadis itu tidak terlalu memahami konsep pemujaan lawan jenis dan cinta monyet khas kehidupan remaja. Karenanya, ia terlambat menyadari bahwa sosok Nugi masuk sebagai jajaran lelaki yang dikagumi seantero sekolah. Samita ingat bagian itu, tersimpan begitu saja dalam memori di otaknya. Bagaimana kakak kelas sering kali kedapatan melewati kelasnya hanya untuk mencuri pandang ke dalam melalui jendela-jendela kaca, bagaimana beberapa dari mereka tersipu atau tertawa sendiri sembari memukuli lengan temannya jika tanpa sengaja bertemu pandang dengan Nugi, bagaimana setelahnya Nugi akan tersenyum simpul lalu menggelengkan kepala–sebuah ekspresi yang Samita terjemahkan sebagai sikap congkak.
Nugi menikmati ketenarannya, Samita tahu itu dalam sekali lihat.
Dan Samita memutuskan untuk tidak peduli.
Sialnya, mereka kembali dipertemukan di kelas sebelas.
“Lah, lo lagi,” celetuk Nugi pagi itu kala Samita sedang memeriksa daftar absen kelas baru yang terpajang di dinding di sisi pintu kelas. Cengiran terpajang di wajahnya. Ia menatap sekilas kertas berisi daftar nama yang tadi sedang Samita cermati. Samita yakin, lelaki itu sudah tahu namanya memang berada di sana. Nugi punya banyak teman yang akan dengan senang hati melaporkan hal-hal remeh seperti ini padanya. “Sekelas lagi, nih, kita. Lo mau jadi wakil gue lagi, nggak?”
Sejatinya, Samita dan Nugi tidak berada dalam hubungan yang seakrab itu untuk bisa saling bertegur sapa dan beramah-tamah meski telah melewati satu tahun bersama mengemban amanah. Karenanya, mendengar pertanyaan bernada bercanda yang Nugi lontarkan barusan, kening Samita justru berkerut.
“Sori?” gadis itu bersuara sarkas. “Gue nggak berminat punya ketua kelas kayak lo lagi, maaf-maaf aja.”
Nugi tidak tersinggung. Ia justru tertawa renyah menanggapi nada datar Samita. Setahun berada dalam kelas yang sama dan cukup sering menjalin interaksi karena kewajiban, keduanya tampak telah saling memahami bagaimana satu sama lain akan bereaksi terhadap sesuatu. Lelaki itu lantas mengangkat bahu.
“Ya, nggak pa-pa,” sahutnya santai sembari menyeringai.. “Selalu ada ruang terbuka buat oposisi, kok.”
Samita mendengkus mendengarnya. Satu episode lain dari Nugraha Randika dan rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi. Tapi Samita tidak peduli. Jadi, gadis itu hanya mengerling malas lalu meninggalkan Nugi, berlalu memasuki kelas.
Kejadian aneh pertama yang Samita hadapi di kelas sebelas adalah bahwa Nugi menolak mengajukan diri sebagai ketua kelas meski seisi kelas memintanya. Penolakan Nugi menyebabkan Samita diam-diam menaikkan alis, mempertanyakan bagaimana bisa seorang lelaki pencinta spotlight seperti Nugraha Randika rela menyerahkan tahtanya kepada orang lain. Apalagi, mengingat kalimat penuh percaya diri yang Nugi lontarkan pagi tadi. Lelaki itu jelas tahu bahwa seisi kelas memang akan memilihnya.
Pertanyaan yang sambil lalu melintas di benak Samita itu berakhir menghilang dengan sendirinya. Tidak penting, pikir Samita. Eksistensi Nugi saja sudah tidak penting, apalagi soal keputusan-keputusan pribadinya?
Kejadian aneh selanjutnya diinisiasi oleh Wildan, si ketua kelas. Dengan niat menyatukan seluruh penghuni kelas dan menghilangkan kotak-kotak di antara mereka, Wildan mengusulkan agar mereka mengacak posisi duduk dengan undian. Sebuah cara klasik khas anak SMA yang membuat Samita memutar bola mata kala mendengarnya. Dan berkat ide konyol Wildan tersebut, Samita berakhir memperoleh Nugi sebagai teman sebangku untuk satu bulan ke depan.
Duduk berdampingan selama satu bulan, Samita secara alami mempelajari lebih banyak mengenai teman sebangkunya itu. Termasuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu ia ketahui.
Seperti fakta bahwa Nugi memiliki hubungan yang buruk dengan sang bunda karena beliau tidak mendukung ketertarikan Nugi di bidang musik. Atau bahwa Nugi punya seorang adik laki-laki di kelas sepuluh, namanya Reza. Atau juga, kala lelaki itu berencana mengikuti audisi Star Voice Indonesia–sebuah ajang pencarian bakat menyanyi terkenal yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta–tanpa sepengetahuan keluarganya.
“Gi, are you frickin’ serious?” tanya Samita suatu kali setelah melihat formulir pendaftaran milik Nugi yang baru saja lelaki itu peroleh dari Januar, si anak badung jurusan IPS yang sialnya merupakan salah satu teman terdekat Nugi.
“About what?” Nugi bertanya balik, nadanya santai.
Samita mengedikkan kepala ke arah lembaran kertas yang kini ada di meja lelaki itu. “Janu, tuh, agak-agak miring otaknya. Jangan lo ikutin.”
Nugi terkekeh ringan. Ekspresinya malas ketika ia lekas memasukkan lembaran kertas tersebut ke dalam tasnya, melenyapkannya dari jarak pandang Samita.
“Lo tahu, kan, selalu ada alesan kenapa orang bisa temenan,” ucap Nugi setelah menutup kembali ritsleting tasnya. Kedua tangannya terlipat di meja, dengan arah tubuh menghadap Samita. “Salah satunya karena punya derajat kemiringan yang sama.”
Samita mendengkus menatapi seringaian lelaki itu. Ia tahu kala Nugi sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, tidak akan ada yang mampu menghalanginya.
Itu juga yang menjadi alasan Samita tidak terkejut ketika akhirnya melihat sosok Nugi sebagai peserta audisi Star Voice Indonesia di televisi rumahnya suatu malam. Lelaki itu benar-benar melakukannya. Inilah alasan mengapa Nugi beberapa kali menghilang dan tidak hadir di sekolah selama satu setengah bulan terakhir. Rangkaian audisinya.
Ketika menonton tayangan tersebut, Samita tahu Nugi akan lolos bahkan ketika lelaki itu belum selesai bernyanyi. Salah satu alasan mengapa Nugraha Randika tenar di sekolah–selain wajahnya, tentu saja–adalah karena suaranya. Nugi memiliki suara yang lembut namun kuat ketika bernyanyi. Warna vokalnya unik, seolah memiliki ciri khas tersendiri. Tahun lalu, ia menjadi satu-satunya anak kelas sepuluh yang mendapat kehormatan mengisi vokal Laskara–sebuah band kebanggan sekolah yang dibentuk oleh kakak-kakak kelas dua belas.
Tapi Samita juga tahu, kalau tayangan audisi ini akan berbuntut panjang. Maka ketika di Senin pagi pekan berikutnya, ia melihat Nugi memasuki kelas dengan wajah mengantuk, gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Gimana? Udah ketahuan orang rumah?”
Hanya ada mereka berdua di kelas. Jam dinding baru menunjukkan pukul enam lewat tiga menit lebih sedikit. Nugi tidak pernah datang sepagi itu. Samita tahu karena ia selalu menjadi yang pertama hadir di kelas setiap harinya.
Tidak ada jawaban. Nugi hanya menoleh dan memamerkan cengiran menanggapi pertanyaan tadi. Setelah menyimpan tas di mejanya, lelaki itu duduk di kursinya lalu memutar tubuh menghadap Samita.
“Rame,” jawabnya singkat. “Perang dunia.”
Samita berdecak. Itu jawaban santai dan cuek khas Nugi. Seolah tidak ada emosi di sana. Malahan, Samita hampir mengira bahwa lelaki itu justru menikmati menciptakan huru-hara di rumahnya.
“Nice.” Samita menyahut sarkas. “Terus? Lo udah sampe tahap mana, sih?”
Pertanyaannya barusan terlontar murni karena penasaran. Meski tidak berteman seakrab itu dengan Nugi, Samita agaknya telah mengetahui terlalu banyak rencana-rencana kotor lelaki itu. Membuatnya tidak merasa segan untuk bertanya macam-macam.
Di tempatnya, Nugi mengangkat bahu. “Nggak sampe mana-mana,” jawabnya enggan. Tubuhnya kini tak lagi menghadap Samita. “Gue disuruh mundur.”
Sepasang mata Samita lekas membola. “Lo mau?”
Tidak mungkin. Nugi tidak pernah menunjukkan kepatuhan dengan sukarela. Terlebih jika bentuk kepatuhan itu mengharuskannya melakukan sesuatu di luar kemauan hatinya. Meski sering kali membenci sikap tengil dan congkak Nugi, Samita diam-diam mengagumi bagaimana lelaki itu selalu mampu bertahan pada pilihannya. Nugi selalu berdiri bersama nilai-nilai yang ia yakini. Meski itu berarti, ia harus menentang seisi dunia.
Nugi seorang pemberani. Ia sedikit nekat dan seolah tidak kenal takut.
Tipe idealis sejati yang jelas akan memperoleh cibiran dari orang-orang seperti Samita di awal pertemuan.
“Jumat malem ketahuan, gue sama nyokap berantem.” Alih-alih langsung menjawab, Nugi justru mulai bercerita. Nadanya masih sama, datar seolah tanpa emosi. “Gara-gara itu, gue cabut dari rumah malem-malem, nggak bawa apa-apa sama sekali. Cuma modal baju yang nempel di badan. Tidur di Siren–”
“Tidur di?”
Nugi mengerling malas. “Siren. Studio musik tempat gue biasa latihan band. Yang punya abangnya Gema, makanya gue diijinin numpang.”
Samita menganggukkan kepala. “Terus?”
“Sampe mana tadi?”
“Lo tidur di Siren.”
“Oh, iya,” Nugi menggaruk dagunya sejenak. “Jumat malem gue tidur di Siren. Paginya Janu tiba-tiba dateng. Katanya, Reza nelepon, minta tolong dia ngasih tahu gue kalo nyokap drop, masuk rumah sakit.”
Hening.
Nugi memandangi permukaan mejanya dengan tatapan kosong sementara Samita tidak tahu harus menanggapi apa. Gadis itu berdiam sejenak. Sekadar memberi Nugi ruang untuk dirinya sendiri, pun memberi waktu bagi dirinya untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar.
Samita tahu Nugi bukan orang yang mudah berbagi. Lelaki itu mungkin selalu tampak tinggi hati dan percaya diri, tapi bagian-bagian paling pribadi dari kisahnya hanya disimpan oleh beberapa nama. Nama-nama seperti Januar, Gema, dan Fajar–teman-teman band-nya, juga Reza–adiknya–adalah mereka yang sepengetahuan Samita paling memahami Nugi. Karenanya, gadis itu cukup terkejut mendapati Nugi memberinya cerita yang begitu detail tentang apa yang tempo hari terjadi di rumahnya.
“Terus,” Samita memaksakan diri bersuara meski ia merasa tenggorokannya begitu kering. “nyokap lo sekarang gimana?”
Ada satu senyum yang terbit di wajah Nugi segera setelah ia mendengar pertanyaan Samita. Senyuman miris. Senyuman pasrah. Sebuah ekspresi yang menurut Samita sangat tidak cocok dengan wajah Nugi.
“Sekarang udah nggak pa-pa,” sahutnya sembari mengangkat bahu. “Abis dijemput Janu, gue langsung ke rumah sakit. Nyokap drop karena gue nggak pulang semaleman. Pas tahu gue dateng, kondisinya langsung mendingan. Terus gue disuruh mundur aja dari SVI. Ya, udah.”
Samita menghela. Penuturan Nugi membuat kisah itu jadi terdengar antiklimaks. Seolah ada bagian yang hilang, atau bagian tidak cocok yang seharusnya tidak di sana. Gadis itu lantas menautkan alis.
“Ya ... udah? Lo nurut gitu aja? Antiklimaks banget lo, tumben.”
Nugi menyeringai samar. “Sebandel-bandelnya gue, gue nggak sedurhaka itu, Mit.”
Suasana kembali hening. Samita mengetuk-ngetukkan jemarinya pada permukaan meja. Sekadar sebagai distraksi dari keheningan canggung yang menyusul setelah ucapan Nugi barusan.
“Lagian,” lelaki itu mendadak kembali bersuara. “gue kemaren emang cuma iseng. Dari segi kualitas, gue belum semateng itu. Kalaupun kemaren sempet lolos beberapa kali, ke depannya pasti nggak bakal jauh. Jadi, mendingan udahan dari sekarang aja. Nantilah, kapan-kapan gue nyoba SVI lagi.”
Samita terperangah. Sungguh sebuah cara pikir yang tidak akan pernah bisa ia pahami. Nada bicara Nugi tadi terdengar mantap dan penuh keyakinan. Seolah lelaki itu bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Sekali lagi, Samita dibuat kagum oleh kepercayaan diri seorang Nugraha Randika Dipati. Diam-diam, gadis itu menyuarakan dalam hati, bahwa jika suatu hari nanti Nugi benar-benar menjadi seorang bintang, ia pasti akan menjadi bintang yang paling terang. Nugi memiliki setiap potensi dan kualitas yang dibutuhkan. Lelaki itu pasti akan bersinar.
Tapi sebelum itu, ada baiknya jika Nugi berusaha mengubah perilaku congkaknya sedikit.
***
Tahun terakhir Samita di Sekolah Menengah Atas berakhir biasa-biasa saja. Teman-teman sekelasnya di kelas dua belas sama persis dengan teman-temannya di kelas sebelas. Kelasnya tidak lagi mengalami perombakan. Sesuatu yang menguntungkan karena Samita tidak perlu repot-repot melakukan adaptasi ulang.Hingga lulus sekolah, gadis itu tidak memiliki teman akrab. Ia tidak dikucilkan, namun tidak juga tergabung dalam kelompok kecil mana pun. Pada akhirnya, Samita memang hanya menjadi bintang di kehidupan ibunya saja. Di kehidupan orang lain, ia hanya seseorang yang tidak terlalu diingat baik.Tapi itu bukan masalah, kehidupannya baik-baik saja tanpa teman.Selepas SMA, Samita melanjutkan pendidikan ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Depok. Jarak kampusnya masih terbilang dekat dari rumah sehingga ia tidak perlu tinggal di rumah indekos. Tetap menjadi pribadi yang tertutup dan memilih tidak memiliki teman dekat, Samita menjalani kehidupan barunya sebagai mahasisw
“Lembur abis kabur, ya, Mit?”Samita meringis tanpa menoleh. Suara tawa Danu menyusul setelahnya. Seniornya itu hanya menggelengkan kepala sambil berlalu, kembali ke mejanya sendiri. Meninggalkan Samita yang masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan.“Semangat, Mit.” Kali ini suara prihatin Rena yang menyapa indra pendengaran Samita. “Harusnya, sih, lo ngambil cutinya sekalian aja bablas sampe weekend, masuk lagi Senin depan. Nanggung amat lo masuk Jumat-Jumat.”Samita tidak menyahut. Namun, satu tangannya dengan sigap menyambar secarik post-it yang tertempel di sisi layar komputernya untuk kemudian diremas membola dan dilemparkan ke arah Rena. Yang ditarget justru terkikik sembari menghindar. Menyebabkan lemparan Samita meleset dan jatuh ke dekat kaki kursi Rena.“Diem, deh, Ren. Gue lagi nggak bisa ribut, nih,” keluh Samita, akhirnya bersuara. Meski seluruh atensinya masih tertuju pada layar
“Kamu kenapa? Lagi ada yang dipikirin?”Sedikit terlonjak, Samita menengadah. Matanya menemukan sosok Nugi yang sudah mengenakan kaos oblong serta celana kain, perlahan menyusup di balik selimut, duduk tepat di sisinya di atas ranjang. Lelaki itu memang meninggalkan beberapa potong pakaian di apartemennya. Persiapan, jawab Nugi kala Samita mempertanyakan motifnya suatu kali.“M-hm,” Samita menggumam lemah.Telepon mendadak dari pria yang mengaku sebagainya papanya siang tadi itu sukses membuat harinya memburuk. Butuh bermenit-menit baginya tadi untuk menenangkan diri dan kembali bersikap normal. Jangan lupakan tatapan aneh dan khawatir dari rekan-rekan di ruangannya. Situasi siang tadi benar-benar berengsek.“Mikirin apa?”Segera setelah suara bertanya Nugi menghilang dari pendengaran, Samita bisa merasakan eksistensi lelaki itu di sekitar ceruk lehernya. Bibir Nugi yang terasa lembab menyusuri area lehernya semb
Ketika masih duduk di bangku SMA, Nugi sering kali menertawakan kawan-kawannya yang mulai jatuh cinta. Sewaktu Januar–salah satu teman terdekatnya yang paling urakan dan tidak bisa diatur–mendadak berhenti mengisap rokok hanya karena gadis yang disukainya tidak suka lelaki perokok, Nugi tertawa paling keras dan menyebutnya bodoh. Pun ketika Fajar–si konyol yang suka melontarkan candaan-candaan garing tanpa kenal tempat–mendadak menjadi pendiam dan berusaha keras menjaga image di depan siswi kelas sebelah yang disukainya, Nugi tidak berhenti mengejeknya hingga Fajar terpaksa membebat mulutnya dengan dasi. Menyebabkan keduanya menuai tatapan aneh dari seluruh penghuni sekolah yang kebetulan berada di kantin. Hingga lulus sekolah, Nugi tidak juga merasakan ketertarikan berlebihan terhadap lawan jenis. Bukan berarti ia memiliki orientasi seksual yang berbeda dari anak lelaki kebanyakan. Hanya saja, Nugi di masa sekolah memiliki terlalu banyak ambisi untuk membuktikan di
“Kembali bertingkah kontroversial, Nugi Radi lagi-lagi menjadi Trending Topic dunia maya ...” Sayup, Samita bisa mendengar kalimat yang menguar dari video cuplikan acara gosip yang tengah disaksikan Rena–rekan kerjanya. Menolak untuk bereaksi, perempuan itu memilih tetap fokus pada layar komputernya, melanjutkan meneliti daftar harta tetap salah satu klien yang tersaji di worksheet Excel di hadapannya. “Gila, ya, si Nugi, nggak kapok-kapok.” Suara sayup berganti gerutuan yang lebih jelas. Samita menahan senyum, dalam hati mempertanyakan mengapa temannya itu harus menggerutu hanya karena berita gosip yang ia lihat di media sosial. “Mit, lihat deh.” Tidak lagi bisa menghindar dengan berpura-pura bodoh, Samita lantas menoleh. Raut tidak tertarik terpeta di wajahnya. “Apaan?” “Ini, si Nugi!” sahut Rena menggebu-gebu. Samita mengenali nada Rena sebagai nada bersemangat–bersemangat menggunjingkan sesuatu, atau seseorang. “Tren
Sudah lewat pukul tujuh malam kala Samita mengunci kembali pintu apartemennya. Lampu-lampu sudah menyala, pertanda sudah ada seseorang yang memasuki tempat itu sebelum dirinya. Perempuan itu lantas melepas sepasang sepatunya, lalu menyimpan keduanya di rak dekat pintu. Melihat sepasang Vans Old Skool Classic yang ia kenali tergeletak berantakan di rak terbawah, salah satu sudut bibir Samita tertarik, membentuk senyum miring. Terlalu malas membenahi sepatu pendatang itu, ia hanya menggelengkan kepala untuk kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.Unit apartemen Samita tidak seberapa besar. Ia bisa melihat hampir seluruh penjuru unit hanya dengan berdiri di dekat pintu depan seperti sekarang. Tidak menemukan si pemilik Vans di sepanjang ruangan terbuka di hadapannya, Samita lantas melangkah menuju pintu terdekat lain selain pintu depan–pintu kamar.Pintu satu-satunya kamar tidur di unit apartemen itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah tipis yang segera m
Pukul enam pagi di hari berikutnya, kala Samita terjaga dan membuka mata, Nugi sudah meninggalkan apartemennya. Seperti biasa, lelaki itu pergi dini hari, dijemput oleh Rian–manajernya. Ketika memeriksa ponsel, Samita menemukan pesan berpamitan dari lelaki itu, disertai permintaan maaf karena meninggalkan apartemen tanpa berpamitan secara langsung.As if that’s not a common thing he always does whenever he comes around, pikir Samita, lalu mengetikkan balasan bernada sarkas sesuai dengan yang terlintas di pikirannya barusan. Setelahnya, perempuan itu bangkit dari ranjang dan bersiap untuk berangkat ke kantor.Menjadi pacar rahasia seorang musisi dan penyanyi terkenal membuat Samita terbiasa dengan ketiadaan sang kekasih di sisinya. Bertemu dengan Nugi hanya bisa dilakukan jika lelaki itu yang menginisiasi lebih dulu. Orang-orang bilang, perempuan yang kelak menjadi pacar Nugi Radi adalah gadis yang beruntung. Memiliki kekasih berwajah tampan, karir
Ketika masih duduk di bangku SMA, Nugi sering kali menertawakan kawan-kawannya yang mulai jatuh cinta. Sewaktu Januar–salah satu teman terdekatnya yang paling urakan dan tidak bisa diatur–mendadak berhenti mengisap rokok hanya karena gadis yang disukainya tidak suka lelaki perokok, Nugi tertawa paling keras dan menyebutnya bodoh. Pun ketika Fajar–si konyol yang suka melontarkan candaan-candaan garing tanpa kenal tempat–mendadak menjadi pendiam dan berusaha keras menjaga image di depan siswi kelas sebelah yang disukainya, Nugi tidak berhenti mengejeknya hingga Fajar terpaksa membebat mulutnya dengan dasi. Menyebabkan keduanya menuai tatapan aneh dari seluruh penghuni sekolah yang kebetulan berada di kantin. Hingga lulus sekolah, Nugi tidak juga merasakan ketertarikan berlebihan terhadap lawan jenis. Bukan berarti ia memiliki orientasi seksual yang berbeda dari anak lelaki kebanyakan. Hanya saja, Nugi di masa sekolah memiliki terlalu banyak ambisi untuk membuktikan di
“Kamu kenapa? Lagi ada yang dipikirin?”Sedikit terlonjak, Samita menengadah. Matanya menemukan sosok Nugi yang sudah mengenakan kaos oblong serta celana kain, perlahan menyusup di balik selimut, duduk tepat di sisinya di atas ranjang. Lelaki itu memang meninggalkan beberapa potong pakaian di apartemennya. Persiapan, jawab Nugi kala Samita mempertanyakan motifnya suatu kali.“M-hm,” Samita menggumam lemah.Telepon mendadak dari pria yang mengaku sebagainya papanya siang tadi itu sukses membuat harinya memburuk. Butuh bermenit-menit baginya tadi untuk menenangkan diri dan kembali bersikap normal. Jangan lupakan tatapan aneh dan khawatir dari rekan-rekan di ruangannya. Situasi siang tadi benar-benar berengsek.“Mikirin apa?”Segera setelah suara bertanya Nugi menghilang dari pendengaran, Samita bisa merasakan eksistensi lelaki itu di sekitar ceruk lehernya. Bibir Nugi yang terasa lembab menyusuri area lehernya semb
“Lembur abis kabur, ya, Mit?”Samita meringis tanpa menoleh. Suara tawa Danu menyusul setelahnya. Seniornya itu hanya menggelengkan kepala sambil berlalu, kembali ke mejanya sendiri. Meninggalkan Samita yang masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan.“Semangat, Mit.” Kali ini suara prihatin Rena yang menyapa indra pendengaran Samita. “Harusnya, sih, lo ngambil cutinya sekalian aja bablas sampe weekend, masuk lagi Senin depan. Nanggung amat lo masuk Jumat-Jumat.”Samita tidak menyahut. Namun, satu tangannya dengan sigap menyambar secarik post-it yang tertempel di sisi layar komputernya untuk kemudian diremas membola dan dilemparkan ke arah Rena. Yang ditarget justru terkikik sembari menghindar. Menyebabkan lemparan Samita meleset dan jatuh ke dekat kaki kursi Rena.“Diem, deh, Ren. Gue lagi nggak bisa ribut, nih,” keluh Samita, akhirnya bersuara. Meski seluruh atensinya masih tertuju pada layar
Tahun terakhir Samita di Sekolah Menengah Atas berakhir biasa-biasa saja. Teman-teman sekelasnya di kelas dua belas sama persis dengan teman-temannya di kelas sebelas. Kelasnya tidak lagi mengalami perombakan. Sesuatu yang menguntungkan karena Samita tidak perlu repot-repot melakukan adaptasi ulang.Hingga lulus sekolah, gadis itu tidak memiliki teman akrab. Ia tidak dikucilkan, namun tidak juga tergabung dalam kelompok kecil mana pun. Pada akhirnya, Samita memang hanya menjadi bintang di kehidupan ibunya saja. Di kehidupan orang lain, ia hanya seseorang yang tidak terlalu diingat baik.Tapi itu bukan masalah, kehidupannya baik-baik saja tanpa teman.Selepas SMA, Samita melanjutkan pendidikan ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Depok. Jarak kampusnya masih terbilang dekat dari rumah sehingga ia tidak perlu tinggal di rumah indekos. Tetap menjadi pribadi yang tertutup dan memilih tidak memiliki teman dekat, Samita menjalani kehidupan barunya sebagai mahasisw
Samita artinya bintang. Itu yang ibunya katakan ketika dulu Samita mempertanyakan arti namanya.“Kamu bintang di hidup Mama. Bintang yang cantik.”Kalimat sederhana itu terpatri kuat dalam kepala Samita. Menyaksikan bagaimana ibunya berjuang seorang diri membesarkannya, tanpa kehadiran pendamping, menjadikannya sesosok perempuan kuat dan mandiri. Samita tidak suka menggantungkan diri pada siapapun. Pun benci mengandalkan orang lain. Hal lain yang Samita benci selain mengandalkan orang lain adalah ayahnya.Usianya delapan tahun ketika sang ayah meninggalkan rumah. Waktu itu, Samita masih terlalu kecil untuk memahami ke mana ayahnya pergi. Sesuatu yang baru ia sadari di kemudian hari, bahwa ayahnya pergi demi membangun kehidupan baru dengan wanita lain. Meninggalkan Samita dan ibunya seolah mereka berdua hanyalah seonggok sampah tidak berharga.Setelah perceraian kedua orang tuanya, Samita menjadi anak yang tertutup. Rumahnya saat itu berada di
Pukul enam pagi di hari berikutnya, kala Samita terjaga dan membuka mata, Nugi sudah meninggalkan apartemennya. Seperti biasa, lelaki itu pergi dini hari, dijemput oleh Rian–manajernya. Ketika memeriksa ponsel, Samita menemukan pesan berpamitan dari lelaki itu, disertai permintaan maaf karena meninggalkan apartemen tanpa berpamitan secara langsung.As if that’s not a common thing he always does whenever he comes around, pikir Samita, lalu mengetikkan balasan bernada sarkas sesuai dengan yang terlintas di pikirannya barusan. Setelahnya, perempuan itu bangkit dari ranjang dan bersiap untuk berangkat ke kantor.Menjadi pacar rahasia seorang musisi dan penyanyi terkenal membuat Samita terbiasa dengan ketiadaan sang kekasih di sisinya. Bertemu dengan Nugi hanya bisa dilakukan jika lelaki itu yang menginisiasi lebih dulu. Orang-orang bilang, perempuan yang kelak menjadi pacar Nugi Radi adalah gadis yang beruntung. Memiliki kekasih berwajah tampan, karir
Sudah lewat pukul tujuh malam kala Samita mengunci kembali pintu apartemennya. Lampu-lampu sudah menyala, pertanda sudah ada seseorang yang memasuki tempat itu sebelum dirinya. Perempuan itu lantas melepas sepasang sepatunya, lalu menyimpan keduanya di rak dekat pintu. Melihat sepasang Vans Old Skool Classic yang ia kenali tergeletak berantakan di rak terbawah, salah satu sudut bibir Samita tertarik, membentuk senyum miring. Terlalu malas membenahi sepatu pendatang itu, ia hanya menggelengkan kepala untuk kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.Unit apartemen Samita tidak seberapa besar. Ia bisa melihat hampir seluruh penjuru unit hanya dengan berdiri di dekat pintu depan seperti sekarang. Tidak menemukan si pemilik Vans di sepanjang ruangan terbuka di hadapannya, Samita lantas melangkah menuju pintu terdekat lain selain pintu depan–pintu kamar.Pintu satu-satunya kamar tidur di unit apartemen itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah tipis yang segera m
“Kembali bertingkah kontroversial, Nugi Radi lagi-lagi menjadi Trending Topic dunia maya ...” Sayup, Samita bisa mendengar kalimat yang menguar dari video cuplikan acara gosip yang tengah disaksikan Rena–rekan kerjanya. Menolak untuk bereaksi, perempuan itu memilih tetap fokus pada layar komputernya, melanjutkan meneliti daftar harta tetap salah satu klien yang tersaji di worksheet Excel di hadapannya. “Gila, ya, si Nugi, nggak kapok-kapok.” Suara sayup berganti gerutuan yang lebih jelas. Samita menahan senyum, dalam hati mempertanyakan mengapa temannya itu harus menggerutu hanya karena berita gosip yang ia lihat di media sosial. “Mit, lihat deh.” Tidak lagi bisa menghindar dengan berpura-pura bodoh, Samita lantas menoleh. Raut tidak tertarik terpeta di wajahnya. “Apaan?” “Ini, si Nugi!” sahut Rena menggebu-gebu. Samita mengenali nada Rena sebagai nada bersemangat–bersemangat menggunjingkan sesuatu, atau seseorang. “Tren