Daffar terkejut melihat reaksiku. Laki-laki itu membuka kotak itu dan mendekatkannya ke arahku. “Ini gelang yang sangat indah, lihat permata-permata birunya yang berkilau, para tamu wanita yang lain akan berteriak kegirangan jika mendapatkan ini,” bujuk Daffar lembut. “Ini logam mulia dan batu permata kualitas tinggi, asli,” imbuh Daffar mencoba menggoyah jawabanku. Aku tetap menggeleng. Normalnya aku akan bahagia menerima hadiah seperti ini. Tapi, aku baru saja menyaksikan peristiwa yang dilakukan oleh Millian, Daffar dan beberapa orang yang memiliki penampakan kedua itu. Gimana jika tiba-tiba saja gelang cantik itu berubah wujud? Atau mengeluarkan asap warna ungu, warna putih atau mengeluarkan apa saja yang tak wajar? Gimana?!! Hihh! Aku bergidik. “Tidak, terima kasih, saya tidak biasa menerima hadiah seperti itu. Em, saya rasa, hadiah semahal itu malah bahaya jika saya yang pakai. Em ... bukannya di luar sana banyak penjahat yang mengincar barang-barang mewah seperti ini,”
Oh! Jadi, karena musik itu, semua tamu terlihat seperti dalam keadaan tak sadar. Em, emang ada jenis musik yang membuat orang masuk ke dalam keadaan seperti itu? Kening ini mengernyit, berusaha mencari satu referensi pengetahuan yang mungkin pernah kudengar atau kubaca, tapi sepertinya aku harus berakhir dengan menggelengkan kepala karena tak menemukan itu. “Iya, ‘kan, Kamu tetap sadar?” kejar Daffar masih sambil menatapku lekat. Aku mengangguk, kaku, pelan dan jujur. “Emang ada jenis musik yang bisa membuat orang dalam keadaan seperti tak sadar?” tanyaku pelan, akhirnya pertanyaan ini terlempar. Daffar terkekeh, wajahnya seperti sedang menahan tawa. “Anneth ... Anneth,” gumamnya lirih. “Sangat mudah memasukkan 'sesuatu' dibalik musik itu. Bahkan, musik yang pure musik saja bisa mempengaruhi mood orang ‘kan?" Ia tersenyum. "Misalnya, musik dengan beat cepat mengundang orang untuk berjoget, sedang musik lembut mengajak pendengarnya untuk masuk ke dalam zona melankolis,” jelasn
Aku mengembuskan napas panjang.“Menghadiri acara Millian,” jelasku singkat.“Hah?!"Sinna melotot."Kamu?!""Tunggu!""Cepat ceritakan dengan singkat, gimana Kamu bisa menghadiri acara orang-orang kaya itu!""Kayaknya, dari segi manapun, mereka gak bakalan ngundang orang kayak Kamu deh. Bukan apa-apa ya, Neth, tapi aku sering mengurusi acara-acara orang-orang itu dan mereka itu sepertinya hanya mengundang orang-orang tertentu,” cerocos Sinna dalam mode emak-emak ngomel.Temanku ini juga memberikan tanda dua tanda kutip dengan gerakan keempat jarinya pada frasa orang-orang tertentu.“Itulah, aku juga tahu, tapi ini karena Mister Daffar yang menurutmu memabukkan itu,” sanggahku lemah.“Hah?!""Mister Daffar ... Mister Daffar yang itu?” seru Sinna terperanjat, matanya membelalak.Aku mengangguk pelan.“Heh?! Tak Bisa! Tak Bisa! Cepat ceritakan! Jangan sampai aku nggak tahu tentang ini!” cerocosnya dengan panik.Sesaat aku terkekeh melihat reaksi Sinna yang khawatir ketinggalan cerita it
Aku menahan napas, menunggu pintu ini terbuka dengan deg-degan.Semenit.Dua menit.Dan akhirnya, suara handle pintu digerakkan dari arah dalam terdengar.Pintu terbuka.Seorang wanita menyembulkan wajahnya yang gembul di celah pintu. Pandangan matanya penuh tanya.“Ya?” tanyanya dengan ... terengah-engah?Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan kening ketika membalas tatapannya.Selain sederhana, rumah ini tak begitu besar ... dan aku yakin, telinga ini tak mendengar suara orang berlari dari dalam rumah ini, atau suara yang dihasilkan dari gerak terburu-buru.Tapi, wanita dengan pipi bakpao ini seperti baru saja tergesa lari dari tempat yang jauh.Wanita yang mungkin, berdasarkan perkiraanku berusia di atas empat puluh tahun itu mengatur napasnya sembari menatapku lekat.Aku tersenyum, mengangguk santun sambil membalas pandangannya.“Em, maaf, benarkah ini rumah Barkiya?” tanyaku pelan.Wanita itu tak menjawab, ekspresinya justru terkejut.“Oh! Eh! Iya,” jawabnya dengan ekspresi waj
Hampir sepuluh menit aku hanya berdiri terpaku.Sampai akhirnya aku berhasil menyingkirkan semua yang membelit dalam pikiran ini dan memutuskan untuk kembali ke rumah Sinna, sesuai janji ku semalam.Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di rumah Sinna dan menggendong anaknya yang comel ini.“Hem, coba tiap weekend ada yang menggendong anakmu itu ya,” ucapnya nggak masuk akal.Ucapannya lebih dekat pada sindiran daripada harapan.Sinna sibuk hilir mudik mengerjakan pekerjaan domestik, sementara aku kadang mengikuti gerakannya karena si bayi menunjuk-nunjuk ibunya itu.“Apa Barkiya nggak punya nomor kontak yang bisa dihubungi?” celetukku ketika berdiri di samping Sinna yang sedang sibuk memasukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam mesin cuci.Sinna menggeleng.“Aku nggak tahu, yang jelas, kami harus mengirimkan undangan itu via pos atau ekspedisi jika ada acara yang melibatkanya,” jawab Sinna tanpa menoleh ke arahku.Aku mengangguk kecewa.“Eh! Sinna, apa Kamu pernah merasakan keanehan
Apa yang ada dalam dada ini menggelora tak bisa lagi ditahan.“Hentikan!” seruku spontan.Aku mengesan keterkejutan pada laki-laki yang berdiri tiga langkah di depanku. Kedua bahu laki-laki itu samar menjengit pelan.Laki-laki itu menurunkan telapak tangannya pelan, tertegun sesaat, lalu membalikkan badannya dengan pelan dan tenang.Mulut dan hidungnya memang tertutup masker, tapi sorot matanya tajam, menyerangku dengan pertanyaan besar.“Bisakah aku mendengar alasanmu, Anneth?” tanyanya penuh penekanan.Aku mencoba mempertahankan rasa tak gentar yang terlanjur memenuhi dada ini.“Saya adalah pegawai laboratorium, Bapak Daffar,” jawabku tegas.Aku sengaja sangat memformalkan ucapan.“Dan sebagai pegawai laboratorium, saya tak bisa melihat prosedur di luar yang telah saya pelajari di lembaga pendidikan dan prosedur yang normal yang telah dijalankan di laboratorium-laboratorium di seluruh dunia,” jelasku dengan berani ....Entah keberanian itu muncul dari mana.“Dan apa yang kusaksikan
Bisakah?Aku ingin lepas dari project Darah Malaikat ini, walaupun itu artinya aku harus mencari cara untuk men-support usaha yang baru aku rintis bersama Aaron dan teman-teman dengan cara lain.“Em ... Daffar,” celetukku mengubah nada resmi ucapanku.“Ya,” jawabnya singkat.“Em, bisakah ... em ... saya lepas dari project ini. Em ... saya lebih memilih menjadi pegawai lab biasa saja, atau-”Aku diam sejenak, mengumpulkan semua keberanian, memperkirakan semua resiko yang mungkin terjadi.“Atau saya bisa berhenti bekerja dari Omega,” lanjut ku dengan menguatkan hati.“Hah?!” seru Daffar seketika.Laki-laki itu terperanjat, tapi sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak.“Anneth ... Anneth,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.Laki-laki ini menatapku lekat dengan ekspresi geli. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.“Menurutmu, aku akan membiarkan itu?” katanya dengan penuh penekanan.Ah ...!Aku kecewa.“Anneth, bukankah sudah kubilang sebelumnya, baru kali ini aku menemu
Pertanyaanku terabaikan.Melihat Hirah yang panik, aku kecil kebingungan, apalagi mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, tak ada waktu untuk menanyakannya lebih lanjut.Wanita itu meletakkan telunjuknya di dekat bibirnya.“Sst!” pintanya, wajahnya makin tegang.“Hirah,” ucap aku kecil sambil menahan tangis.“Dengar, Nak! Apapun yang Kamu dengar dan Kamu lihat dari sini, jangan pernah membuat gerakan atau suara apapun! Mengerti?” lanjutnya dengan penuh penekanan dalam setiap kata dalam kalimatnya.Aku menatapnya dengan bingung, takut dan penasaran.Aku ingin menggeleng, tapi tatapan mata Hirah membuat kepala ini terpaksa mengangguk.Pengasuhku ini menganggukkan kepala.“Bagus, Nak! Kamu anak pintar,” pujinya seperti biasanya.“Jangan sampai mereka tahu Kamu ada di sini, oke? Akan ada orang yang membawaku dari tempat ini, setelah itu akan ada tetangga kita yang akan mengantarmu ke suatu tempat, Kamu akan banyak teman di sana, mengerti?” tegasnya kembali dengan penuh penekanan pada setiap
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te