Hampir sepuluh menit aku hanya berdiri terpaku.Sampai akhirnya aku berhasil menyingkirkan semua yang membelit dalam pikiran ini dan memutuskan untuk kembali ke rumah Sinna, sesuai janji ku semalam.Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di rumah Sinna dan menggendong anaknya yang comel ini.“Hem, coba tiap weekend ada yang menggendong anakmu itu ya,” ucapnya nggak masuk akal.Ucapannya lebih dekat pada sindiran daripada harapan.Sinna sibuk hilir mudik mengerjakan pekerjaan domestik, sementara aku kadang mengikuti gerakannya karena si bayi menunjuk-nunjuk ibunya itu.“Apa Barkiya nggak punya nomor kontak yang bisa dihubungi?” celetukku ketika berdiri di samping Sinna yang sedang sibuk memasukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam mesin cuci.Sinna menggeleng.“Aku nggak tahu, yang jelas, kami harus mengirimkan undangan itu via pos atau ekspedisi jika ada acara yang melibatkanya,” jawab Sinna tanpa menoleh ke arahku.Aku mengangguk kecewa.“Eh! Sinna, apa Kamu pernah merasakan keanehan
Apa yang ada dalam dada ini menggelora tak bisa lagi ditahan.“Hentikan!” seruku spontan.Aku mengesan keterkejutan pada laki-laki yang berdiri tiga langkah di depanku. Kedua bahu laki-laki itu samar menjengit pelan.Laki-laki itu menurunkan telapak tangannya pelan, tertegun sesaat, lalu membalikkan badannya dengan pelan dan tenang.Mulut dan hidungnya memang tertutup masker, tapi sorot matanya tajam, menyerangku dengan pertanyaan besar.“Bisakah aku mendengar alasanmu, Anneth?” tanyanya penuh penekanan.Aku mencoba mempertahankan rasa tak gentar yang terlanjur memenuhi dada ini.“Saya adalah pegawai laboratorium, Bapak Daffar,” jawabku tegas.Aku sengaja sangat memformalkan ucapan.“Dan sebagai pegawai laboratorium, saya tak bisa melihat prosedur di luar yang telah saya pelajari di lembaga pendidikan dan prosedur yang normal yang telah dijalankan di laboratorium-laboratorium di seluruh dunia,” jelasku dengan berani ....Entah keberanian itu muncul dari mana.“Dan apa yang kusaksikan
Bisakah?Aku ingin lepas dari project Darah Malaikat ini, walaupun itu artinya aku harus mencari cara untuk men-support usaha yang baru aku rintis bersama Aaron dan teman-teman dengan cara lain.“Em ... Daffar,” celetukku mengubah nada resmi ucapanku.“Ya,” jawabnya singkat.“Em, bisakah ... em ... saya lepas dari project ini. Em ... saya lebih memilih menjadi pegawai lab biasa saja, atau-”Aku diam sejenak, mengumpulkan semua keberanian, memperkirakan semua resiko yang mungkin terjadi.“Atau saya bisa berhenti bekerja dari Omega,” lanjut ku dengan menguatkan hati.“Hah?!” seru Daffar seketika.Laki-laki itu terperanjat, tapi sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak.“Anneth ... Anneth,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.Laki-laki ini menatapku lekat dengan ekspresi geli. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.“Menurutmu, aku akan membiarkan itu?” katanya dengan penuh penekanan.Ah ...!Aku kecewa.“Anneth, bukankah sudah kubilang sebelumnya, baru kali ini aku menemu
Pertanyaanku terabaikan.Melihat Hirah yang panik, aku kecil kebingungan, apalagi mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, tak ada waktu untuk menanyakannya lebih lanjut.Wanita itu meletakkan telunjuknya di dekat bibirnya.“Sst!” pintanya, wajahnya makin tegang.“Hirah,” ucap aku kecil sambil menahan tangis.“Dengar, Nak! Apapun yang Kamu dengar dan Kamu lihat dari sini, jangan pernah membuat gerakan atau suara apapun! Mengerti?” lanjutnya dengan penuh penekanan dalam setiap kata dalam kalimatnya.Aku menatapnya dengan bingung, takut dan penasaran.Aku ingin menggeleng, tapi tatapan mata Hirah membuat kepala ini terpaksa mengangguk.Pengasuhku ini menganggukkan kepala.“Bagus, Nak! Kamu anak pintar,” pujinya seperti biasanya.“Jangan sampai mereka tahu Kamu ada di sini, oke? Akan ada orang yang membawaku dari tempat ini, setelah itu akan ada tetangga kita yang akan mengantarmu ke suatu tempat, Kamu akan banyak teman di sana, mengerti?” tegasnya kembali dengan penuh penekanan pada setiap
Aku memejamkan mata saat otak ini tak memiliki referensi dari semua pengetahuan yang kupunya untuk menjawab pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala ini.Hah!Mungkin selama ini, aku terfokus pada kesedihan yang meraja di hati karena kepergian Hirah dengan cara yang tak wajar itu.Tapi, kali ini, setelah mengalami banyak kejadian di luar nalar, aku baru sadar jika kepergian Hirah itu bukan semata-mata kepergian yang tak wajar, tapi ada hal lain yang tersembunyi dibalik itu.Sayang sekali, bahkan untuk menebak apa yang berada di balik semua itu saja, aku nggak bisa.Akhirnya, aku berusaha mendamaikan diriku sendiri dengan menumbuhkan harapan semoga kelak petunjuk-petunjuk, dengan rela, datang menghampiri.Kaki ini melangkah meninggalkan rumah kosong ini dengan gontai.Beberapa saat kemudian, setelah menunggu rute balik bus dari kota yang berada di sebelah daerah Nabit ini, bus yang kutumpangi masuk ke Kota Shrim dan menurunkan aku di halte dekat tempat tinggalku.“Anneth!”Suara Aaro
Dengan ekspresi menahan kesal, Sinna menepuk bahu ini.“Menurutmu aku akan membiarkanmu pergi ke sana sendiri, hah?” ujarnya geram.“Terus?” tanyaku bingung.“Anak buahku itu yang akan mengantarmu, besok ku arrange agar dia menjemputmu, minta cuti kerja aja!” saran Sinna bernada bujukan, saran dan perintah yang tak boleh ditolak.Hem ... ternyata dia ingin menyertakan salah satu cctv-nya.Aku mengangguk.“Bagus, itu lebih baik,” jawabku mengalahYa ... daripada nggak dikasih alamatnya.“Ya, udah, jangan pilu-pilu lagi! Semangat! Tuh jangan lupa di makan!” berondongnya sambil menggerakkan kepala ke arah nampan yang tergeletak di atas meja kecil.Aku mengangguk patuh.“Ya sudah, anakmu lagi digendong bapaknya di lantai bawah, nanti keburu nangis dia, aku pulang dulu,” pamit Sinna datar.Aku segera memeluknya sambil mengucapkan terima kasih sebelum dia meninggalkan rumah ini.Waktu berjalan begitu cepat.Pagi ini, setelah mengajukan cuti mendadak, aku sudah berada dalam satu mobil bersam
“Selamat datang di tempat yang sederhana ini, Anneth!” serunya dengan riang.“Em, aku dengar ... Kamu juga mencariku di kediamanku,” lanjutnya sambil menyertakan senyum manis.Aku mengangguk.“Seharusnya saya mencari Anda lebih cepat dari ini, Barkiya,” balasku santun.Wanita ini tersenyum penuh arti, mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wajahku.“Kamu ke sini bukan untuk mengobati gejala seperti yang dirasakan oleh para tamu di acara Millian ‘kan?” tebaknya datar.Aku menggeleng.“Saya rasa, Anda lebih tahu tentang itu, Barkiya,” jawabku terus terang.“Anda bahkan bisa mengirimkan suara Anda ke telinga ini tanpa seorang pun mengetahuinya,” lanjutku lugas.Wanita cantik ini yang duduk di belakang meja kerjanya itu mengangguk-angguk.“Hem ... senang sekali jika Kamu mengetahui itu, Anneth,” jawabnya tanpa ekspresi terkejut di wajahnya.Aku berusaha menunjukkan ekspresi datar.“Jadi, apa keluhanmu?” tanyanya sambil beranjak.Aku mengikuti gerakannya yang berjalan menuju sebuah
Pandangan mata ini menatap dalam-dalam tepat di manik mata Barkiya.“Jadi, asap ungu yang keluar dari tubuh gadis yang berbaring di meja itu-”Barkiya mengangguk sebelum kalimatku lengkap.“Dan Amora beserta teman-temannya ...,” lanjutku menggantung.Barkiya kembali mengangguk.“Millian dan beberapa teman-temannya berhasil menikahi wanita dari jenis manusia dari Kota Shrim ini dan itulah kenapa mereka sering mengadakan ritual-ritual yang bersembunyi dibalik acara yang kelihatannya baik-baik saja.” Barkiya berhenti, lalu mengembuskan napas dalam.“Oh ....” Aku melongo.“Jadi, semua ketidaknormalan itu memiliki efek pada manusia normal, untuk itu Kamu menjaga acara itu agar tidak memakan korban,” lanjutku tercerahkan.“Tentu saja, semua yang tak normal pasti memiliki efek. Yang bodoh adalah para tamu yang datang dengan sukarela dan tidak dapat melihat apa yang tersembunyi dibalik undangan-undangan yang memikat itu." Barkiya tersenyum penuh arti."Hem ... tapi, aku nggak menyalahkan mere