Bisakah?Aku ingin lepas dari project Darah Malaikat ini, walaupun itu artinya aku harus mencari cara untuk men-support usaha yang baru aku rintis bersama Aaron dan teman-teman dengan cara lain.“Em ... Daffar,” celetukku mengubah nada resmi ucapanku.“Ya,” jawabnya singkat.“Em, bisakah ... em ... saya lepas dari project ini. Em ... saya lebih memilih menjadi pegawai lab biasa saja, atau-”Aku diam sejenak, mengumpulkan semua keberanian, memperkirakan semua resiko yang mungkin terjadi.“Atau saya bisa berhenti bekerja dari Omega,” lanjut ku dengan menguatkan hati.“Hah?!” seru Daffar seketika.Laki-laki itu terperanjat, tapi sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak.“Anneth ... Anneth,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.Laki-laki ini menatapku lekat dengan ekspresi geli. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.“Menurutmu, aku akan membiarkan itu?” katanya dengan penuh penekanan.Ah ...!Aku kecewa.“Anneth, bukankah sudah kubilang sebelumnya, baru kali ini aku menemu
Pertanyaanku terabaikan.Melihat Hirah yang panik, aku kecil kebingungan, apalagi mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, tak ada waktu untuk menanyakannya lebih lanjut.Wanita itu meletakkan telunjuknya di dekat bibirnya.“Sst!” pintanya, wajahnya makin tegang.“Hirah,” ucap aku kecil sambil menahan tangis.“Dengar, Nak! Apapun yang Kamu dengar dan Kamu lihat dari sini, jangan pernah membuat gerakan atau suara apapun! Mengerti?” lanjutnya dengan penuh penekanan dalam setiap kata dalam kalimatnya.Aku menatapnya dengan bingung, takut dan penasaran.Aku ingin menggeleng, tapi tatapan mata Hirah membuat kepala ini terpaksa mengangguk.Pengasuhku ini menganggukkan kepala.“Bagus, Nak! Kamu anak pintar,” pujinya seperti biasanya.“Jangan sampai mereka tahu Kamu ada di sini, oke? Akan ada orang yang membawaku dari tempat ini, setelah itu akan ada tetangga kita yang akan mengantarmu ke suatu tempat, Kamu akan banyak teman di sana, mengerti?” tegasnya kembali dengan penuh penekanan pada setiap
Aku memejamkan mata saat otak ini tak memiliki referensi dari semua pengetahuan yang kupunya untuk menjawab pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala ini.Hah!Mungkin selama ini, aku terfokus pada kesedihan yang meraja di hati karena kepergian Hirah dengan cara yang tak wajar itu.Tapi, kali ini, setelah mengalami banyak kejadian di luar nalar, aku baru sadar jika kepergian Hirah itu bukan semata-mata kepergian yang tak wajar, tapi ada hal lain yang tersembunyi dibalik itu.Sayang sekali, bahkan untuk menebak apa yang berada di balik semua itu saja, aku nggak bisa.Akhirnya, aku berusaha mendamaikan diriku sendiri dengan menumbuhkan harapan semoga kelak petunjuk-petunjuk, dengan rela, datang menghampiri.Kaki ini melangkah meninggalkan rumah kosong ini dengan gontai.Beberapa saat kemudian, setelah menunggu rute balik bus dari kota yang berada di sebelah daerah Nabit ini, bus yang kutumpangi masuk ke Kota Shrim dan menurunkan aku di halte dekat tempat tinggalku.“Anneth!”Suara Aaro
Dengan ekspresi menahan kesal, Sinna menepuk bahu ini.“Menurutmu aku akan membiarkanmu pergi ke sana sendiri, hah?” ujarnya geram.“Terus?” tanyaku bingung.“Anak buahku itu yang akan mengantarmu, besok ku arrange agar dia menjemputmu, minta cuti kerja aja!” saran Sinna bernada bujukan, saran dan perintah yang tak boleh ditolak.Hem ... ternyata dia ingin menyertakan salah satu cctv-nya.Aku mengangguk.“Bagus, itu lebih baik,” jawabku mengalahYa ... daripada nggak dikasih alamatnya.“Ya, udah, jangan pilu-pilu lagi! Semangat! Tuh jangan lupa di makan!” berondongnya sambil menggerakkan kepala ke arah nampan yang tergeletak di atas meja kecil.Aku mengangguk patuh.“Ya sudah, anakmu lagi digendong bapaknya di lantai bawah, nanti keburu nangis dia, aku pulang dulu,” pamit Sinna datar.Aku segera memeluknya sambil mengucapkan terima kasih sebelum dia meninggalkan rumah ini.Waktu berjalan begitu cepat.Pagi ini, setelah mengajukan cuti mendadak, aku sudah berada dalam satu mobil bersam
“Selamat datang di tempat yang sederhana ini, Anneth!” serunya dengan riang.“Em, aku dengar ... Kamu juga mencariku di kediamanku,” lanjutnya sambil menyertakan senyum manis.Aku mengangguk.“Seharusnya saya mencari Anda lebih cepat dari ini, Barkiya,” balasku santun.Wanita ini tersenyum penuh arti, mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wajahku.“Kamu ke sini bukan untuk mengobati gejala seperti yang dirasakan oleh para tamu di acara Millian ‘kan?” tebaknya datar.Aku menggeleng.“Saya rasa, Anda lebih tahu tentang itu, Barkiya,” jawabku terus terang.“Anda bahkan bisa mengirimkan suara Anda ke telinga ini tanpa seorang pun mengetahuinya,” lanjutku lugas.Wanita cantik ini yang duduk di belakang meja kerjanya itu mengangguk-angguk.“Hem ... senang sekali jika Kamu mengetahui itu, Anneth,” jawabnya tanpa ekspresi terkejut di wajahnya.Aku berusaha menunjukkan ekspresi datar.“Jadi, apa keluhanmu?” tanyanya sambil beranjak.Aku mengikuti gerakannya yang berjalan menuju sebuah
Pandangan mata ini menatap dalam-dalam tepat di manik mata Barkiya.“Jadi, asap ungu yang keluar dari tubuh gadis yang berbaring di meja itu-”Barkiya mengangguk sebelum kalimatku lengkap.“Dan Amora beserta teman-temannya ...,” lanjutku menggantung.Barkiya kembali mengangguk.“Millian dan beberapa teman-temannya berhasil menikahi wanita dari jenis manusia dari Kota Shrim ini dan itulah kenapa mereka sering mengadakan ritual-ritual yang bersembunyi dibalik acara yang kelihatannya baik-baik saja.” Barkiya berhenti, lalu mengembuskan napas dalam.“Oh ....” Aku melongo.“Jadi, semua ketidaknormalan itu memiliki efek pada manusia normal, untuk itu Kamu menjaga acara itu agar tidak memakan korban,” lanjutku tercerahkan.“Tentu saja, semua yang tak normal pasti memiliki efek. Yang bodoh adalah para tamu yang datang dengan sukarela dan tidak dapat melihat apa yang tersembunyi dibalik undangan-undangan yang memikat itu." Barkiya tersenyum penuh arti."Hem ... tapi, aku nggak menyalahkan mere
Dua orang di laki-laki yang duduk di dekat Daffar mengembuskan napas dalam.Dari pengamatanku, sepertinya mereka juga mengalami nasib yang sama. Lalu, lalu salah satu dari mereka mengangkat pandang dan menatap Daffar.“Aku hanya bisa menemukan specimen yang ‘mencurigakan’ em ... beberapa saja. Hanya saja, aku tidak yakin karena tingkatan pengujianku masih rendah,” ucapnya kemudian menggerakkan kepala sebagai isyarat untuk pendampingnya.Melihat isyarat itu, laki-laki muda yang mungkin sebaya denganku, yang sejak tadi berdiri mematung di belakang bosnya itu, mendekat ke arah meja, lalu meletakkan tas kotak warna silver yang sejak tadi dibawanya.Aku melihat ia mengeluarkan carrier specimen dari dalam koper kotak itu. Lalu, ia mendekatkan kotak pembawa specimen yang berukuran kecil itu ke dekat Daffar.“Specimen itu diam cukup lama sebelum akhirnya terangkat ke udara,” lapornya datar.“Aku akan menguji ulang,” balas Daffar tak kalah datar.Laki-laki yang duduk di sampingnya mendesah lel
“Oh.” Itu saja yang mampu kuucapkan sementara ini.Aku segera memutar otak untuk mencari celah agar bisa lolos dari rencana pengecekan darah itu.Beberapa saat kemudian, mobil ini sudah sampai di Omega Lab.Dan sesuai dengan keinginan pemilik saham laboratorium ini, dia, menurutku, dengan sedikit memaksa mengantarkanku ke bagian paling depan lab ini.Aku hanya diam ketika mengekor sosoknya yang menjulang dan menarik perhatian itu.Seorang wanita petugas lab yang mengenaliku segera mempersiapkan syringe dan alat lain untuk mengambil darahku.Dan yang paling menyebalkan, Daffar benar-benar berdiri di depan ruangan ini dan mengamatiku melalui dinding kaca.Hem ... begini mungkin rasanya jadi ikan di akuarium, dilihatin, dipelototin, diawasin!“Sepertinya, Kamu jadi orang pertama yang dicek, Neth,” ucap wanita muda ini sambil mengikatkan tali karet di lengan ini.Aku menjawabnya dengan desahan lelah.“Baru saja ada pengumuman tak resmi untuk para pegawai agar melakukan pengecekan darah. P
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te