Aku merapatkan bibir agar tidak ada teriakan keterkejutan yang muncul.“Kenapa harus berpapasan dengan Pak Badzan coba?!” keluhku kesal, rasanya ingin ngomong kasar.Hanya satu tikungan lagi.Dan setelah ruang disposal lab, beberapa meter di depan ruang di mana alat-alat medis purna pakai yang akan diangkut ke tempat pembuangan akhir itu, tujuanku tercapai, bagian paling belakang departemen khusus.“Ya. Aku akan segera memerintahkan seseorang untuk mengambil specimen Anneth. Apa pendataan specimen di sana sudah dilakukan?” Suara Pak Badzan kembali bergema.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu jika ... mana tahu Pak Badzan lewat di lorong di mana aku berdiri ini.Aku pura-pura membuka sebuah ruangan, berakting mengecek dan mencari sesuatu ... atau seseorang.Beberapa detik kemudian, suara Pak Badzan tak terdengar.Aku menunggu.“Oke. Aku akan segera ke sana,” ucapnya kembali terdengar.Aku menajamkan pendengaran. Memperhatikan langkah Pak Badzan yang bergerak ... men ... j
Aku mengembuskan napas panjang untuk meredakan ketegangan dalam diriku.Memang, pemilik darah malaikat itu tak ada hubungannya denganku, tapi melihat bagaimana mereka memperlakukan butiran darah dan menyaksikan sendiri bagaimana ritual mereka yang ternyata merugikan jiwa manusia, aku pribadi, sebagai seorang manusia, bahagia jika pemilik darah malaikat itu tak ditemukan.Dari tempatku berdiri, aku melihat kedua bahu dua laki-laki yang ada di dekatku menegang.Sesaat keduanya tertegun, lalu seperti dikomando, Daffar dan Pak Badzan menoleh satu sama lain dan saling pandang dengan sorot mata terkejut.Daffar melangkah mendekat ke arah meja itu, menatap dengan sedikit menundukkan kepala. Lalu, ia mundur ke tempatnya semula.Mendadak telapak tangan Daffar melakukan gerakan seolah sedang menyentak sesuatu.Dan dengan sangat pelan seperti gerakan slow motion dalam sebuah film, butiran darah itu pelan-pelan bergerak melawan gravitasi.Phuh ....!Betapa leganya.“Agh!” seru Pak Badzan kecewa.
Aku terus menatapnya lekat, menuntut jawaban dengan sorot mata yang kupertajam.“Ah ...,” desah Daffar lelah.Laki-laki ini berkacak pinggang sambil mengalihkan pandangan ke samping kanan dan kiriku.“Setiap project punya tujuan ‘kan?” desakku penuh penekanan, tetap menuntut jawaban.“Anneth, em ... tujuannya belum bisa dipaparkan sekarang. Semua masih dalam rencana, tapi langkah konkritnya akan ditetapkan setelah specimen darah itu ditemukan,” jawabnya diplomatis ... ngeles.Aku mengernyitkan kening.Masa project yang dilakukan dengan membangun sebuah departemen khusus, tujuannya nggak jelas.Aku curiga.“Ah ... sudah, jangan terlalu dipikirkan itu sekarang, Anneth! Let go with the flow aja, oke? Ayo kita keluar,” bujuk Daffar pelan.Laki-laki itu berjalan mendahuluiku, tangannya menekan satu tombol alat komunikasi yang berada di dekat pintu.Seperti yang sudah-sudah, itu artinya sebentar lagi Mina akan datang ke ruang rahasia ini.Aku memandang lurus ke atas meja.Phuh ....Syukurla
Seketika mata ini terpejam. Lalu, dengan reflek, aku mengantisipasi tarikan memanjang ke belakang itu dengan merapatkan tubuh dan kepala ini ke dinding lift yang ada di belakangku.Kedua tangan ini mengepal erat.Aku mengetuk-ngetukkan kepala ini dengan pelan ke dinding lift tiga kali.Oh!Ternyata kepala ini tak memanjang dalam arti yang sesungguhnya, hanya tarikan ke arah belakang ini yang membuatku merasa kepala ini memanjang.Sebenarnya tarikan ke belakang ini tidak menimbulkan rasa sakit yang gimana gitu, hanya saja, tarikan ini memberikan rasa tidak nyaman, tidak menyenangkan dan tentu saja membingungkan, aku seperti hilang arah.Aku terus dalam posisi merapat ke dinding, memejamkan mata dan mengepalkan kedua telapak tangan sambil sekuat tenaga menahan tarikan ini.Lama-lama tarikan yang bergerak makin cepat ini menimbulkan rasa pusing dan mual.Agh!Eh!Mendadak telinga ini menangkap suara terkekeh pendek.Bukankah itu suara Daffar?Ah!Iya.Aku sampai lupa kalau saat ini aku b
Aku mendongak dan melihat langit-langit bangunan yang sangat tinggi berbentuk kubah dengan hiasan kayu-kayu yang disusun rumit. Bangunan ini juga memiliki tiang-tiang bulat yang besar dengan lengkungan-lengkungan menarik yang menghubungkan tiap tiang.Pandangan mata ini turun ke bawah dan melihat beberapa sosok aneh yang melintas. Beberapa dari mereka melihat dengan tertarik pada Daffar yang berjalan dengan santai sambil menggendong ku dalam posisi berdiri.Egh!Entah karena apa, entah karena yang mana, mendadak aku merasa sesak napas.Aku berusaha menghirup napas dalam, tapi seolah oksigen di udara berlarian menjauhi organ napas ini.Aku mulai terengah.“Anneth!” seru Daffar khawatir.Mungkin ia menyadari kalau aku mulai bernapas dengan tak normal.Laki-laki itu menurunkan aku ke lantai gedung, tapi masih, kedua tangannya memegang lengan ini.Aku berdiri dengan terhuyung, mungkin jika kedua tangan Daffar dilepas, aku bakal roboh.“Anneth!” panggilnya cemas.Aku menatap lurus ke depan
Tanpa berpikir panjang lagi, aku membuka jendela besar yang hampir menyentuh lantai ini. Lalu, aku menunduk untuk melihat ke bagian bawah jendela yang ternyata ditanami tanaman berbunga.“Maaf, kuinjak,” gumamku lirih sambil hendak melangkah keluar jendela.Eit!Heh?!Seketika telapak kaki ini mengambang tepat di atas tanaman ini, batal menginjak.Tanaman itu dengan sendirinya menyibak ke samping kanan dan kiri untuk memberikan ruang bagi kaki ini untuk menapak di atas permukaan tanah.Heh?!Tanaman apa-apaan ini?Agh!Tapi, raungan kucing yang membisingkan ini lebih menguras fokus perhatian.“Tunggu aku nanti ya!” gumamku lirih dengan asal-asalan menujukan ucapanku pada tanaman di bawah jendela itu.Aku segera keluar dari jendela dan menuruni tanah halaman rumah ini yang lebih tinggi dari jalan di depannya.“Woi! Jangan siksa kucing!” teriakku kencang.Sosok paduan manusia dan burung gagak itu menoleh, sedikit terkejut, tapi tetap tak berhenti melakukan tindakannya itu.Dengan cepat,
Seketika aku menghentikan langkah dan berdiri tepat di depannya dengan melancarkan tatapan tajam.“Apa maksudmu? Apa yang terjadi?” tembakku dengan pikiran yang campur aduk.Remaja gendut ini menatapku dengan heran.“Kamu nggak tahu? Beginilah, Anbar. Apa Kamu dari Ardasyr?” serangnya balik.“Hah?!” seruku tambah bingung.Ardasyr?Di mana lagi itu?“Kalian belum juga masuk?” sela Kayla yang berdiri di ambang pintu.Nadec berbalik dan segera mematuhi perintah ibunya.Sejenak aku kembali mengedarkan pandangan ke atas sebelum akhirnya menyusul remaja gendut itu masuk ke dalam.“Ibu, apa dia datang dari Ardasyr? Dia pikir sekarang senja,” tanya Nadec sambil duduk di sofa yang ada di ruang tengah rumah yang luas ini.Aku mendekat ke arah Kayla dan ingin segera memecah kebingungan ini. Sepertinya bendungan pertanyaan dalam otak ini jebol. Alirannya tak tertahan lagi, menuntut setiap detail pertanyaan ini untuk mendapat jawaban.“Kay-”“Anneth dari Shrim, Nadec,” jelas Kayla memotong ucapank
Aku tertegun, seketika pertanyaan tentang diriku sendiri menyeruak.Apa yang terjadi di lift aneh itu kembali terbayang.Jadi, rasa yang seperti ditarik-tarik itu nyata, dan karena aku manusia yang tidak ‘biasa’, makanya aku bisa melalui kejadian di lift itu hingga selamat sampai ke Anbar ini.Tapi ....Yang nggak ‘biasa’ dari aku apa?Aku mengangkat kedua tanganku dan mengamatinya dengan jeli, juga men-scan dari dada ke bawah.Kayaknya aku baik-baik saja.Aku mengangkat pandang dan melemparkan sorot penuh pertanyaan pada Kayla.“Apa Kamu melihat satu em ... keanehan yang ‘tak biasa’ di tubuhku?” tanyaku dengan penuh penekanan.Aku juga menggerakan dua jari dari tangan kanan dan kiri untuk membuat isyarat tanda petik pada kata “tak biasa”.Kayla menatapku tajam, tapi sejurus kemudian wanita cantik ini menggeleng.“Tidak, aku tidak melihatnya, Kamu seperti penduduk Shrim yang lain, hem ... tapi, bisa jadi Kamu sejenis dengan Daffar,” tebaknya datar.Sejenis Daffar?Maksudnya punya bena
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te