Waktu berlalu dengan cepat.Walaupun perpindahan waktu antara siang dan malam sangat membingungkan, aku perkirakan ini sudah masuk waktu pagi, mungkin ....Yang jelas, ketika aku baru saja membuka mata, di tepi ranjang sudah duduk Daffar yang tengah memandangiku.“Tidurmu nyenyak, Anneth?” sapanya begitu melihatku membuka mata.Aku menyahut, mengiyakan dengan suara parau.“Aku bawakan baju ganti,” lanjutnya sambil sedikit menggerakan kepala ke arah samping.Pandangan mata ini mengikuti arah isyarat itu dan menemukan dua tas besar tergeletak di lantai. Di bagian samping tas kertas itu tertera sebuah nama butik besar yang ada di kota Shrim.Ah ... rupanya barang ini import dari kotaku sendiri.Aku beranjak, lalu duduk bersandar di tumpukan bantal.“Apa Kamu merasakan sakit di bagian tubuh tertentu?” tanyanya lembut.Aku menggeleng.Daffar mengembuskan napas lega.“Menurutmu, aku ini apa?” celetukku masih dengan suara khas orang bangun tidur.Daffar menatapku tajam, tapi beberapa detik k
Kereta kuda yang bergerak auto pilot ini makin mendekati gedung besar berkubah itu.Dari kejauhan pilar-pilar penyangga bulat dengan ukuran besar itu terlihat makin membuat bangunan itu menunjukkan vibe magisnya.Egh!Sesaat aku merasa ada sesuatu yang mendekat di atasku. Dan ketika aku mendongak, patung mengambang itu membungkuk. Dan kepalanya kini tepat berada beberapa jengkal di depan wajahku.Ihh!Matanya yang merah menyala itu seolah hendak mengambil apa yang ada dalam mataku.Kening ini berkeringat.Aku mengepalkan kedua tangan dan menggigit bibirku agar tak meloloskan satu teriakan.“Anneth,” ucap Daffar lirih.“Em.” Aku menelan ludah.“Kamu nggak papa?” tanyanya pelan.“Oh,” sahutku singkat.Tiba-tiba Daffar mengenggam tanganku. Dan bersamaan dengan itu, patung bergerak yang mengambang itu menjauhkan wajahnya dari wajahku.Aku merasakan satu aliran yang terasa hangat keluar dari tangan Daffar.Kemudian, aku melihat patung itu bergerak pelan ke posisinya semula.Sekuat tenaga,
Aku hanya bisa tercekat menyaksikan kilatan pedang yang terhunus ke arahku. Embusan angin akibat kibasan benda tajam itu menerpa wajah ini.Sesaat lagi pedang itu bakal menebas leherku.Tring!Tiba-tiba satu pedang menahan kibasan pedang milik Mazdak.Daffar!Laki-laki ini dengan kecepatan yang tak dapat kuindra dengan mata, menggerakkan tangannya untuk menahan pedang itu.Dan entah dari mana datangnya pedang yang ada di tangan Daffar itu. Yang jelas, pedang itu menahan serangan kilat Mazdak.Kini dua pedang bersilang itu berada tepat di wajahku.“Bukankah sudah jelas peraturan? Di gedung ini manusia dilarang mendekat. Bahkan, itu juga berlaku bagi jenis manusia dari penduduk Anbar!” tegur Mazdak tegas.Mata laki-laki tinggi besar berjubah itu menyorot tajam ke arahku.“Aku tahu, tapi Anneth beda, aku berharap Kamu dan semua yang ada di sini mendengarkan aku,” bela Daffar dengan tenang.“Manusia menodai kesakralan gedung utama Anbar ini!” sanggah Mazdak dengan suara mengguntur.Aku me
Ini sangat menyakitkan!"Aghh!"Aku memaksa diri untuk menggerakkan kaki-kaki ini, aku ingin berlari. Tapi, kaki-kaki ini kaku, seolah sudah disemen dengan lantai di gedung aneh ini.Mungkin Daffar tahu, atau hanya menebak apa yang sedang terjadi padaku. Laki-laki ini kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.Agrh!Tarikan ini makin kuat.Tiba-tiba aku merasakan satu kemarahan yang kuat menyembul dalam hatiku.Menurutmu, aku akan begitu saja menampilkan orang-orang yang ingin Kamu lihat? Juga tempat-tempat yang berarti untukku?Tidak!Tidak sedikit pun.Entah!Intuisiku seolah menyingkap apa yang ada di hati Ghassan, walaupun laki-laki ini hanya diam dan terus menatapku tajam.Tarikan itu makin meningkatkan rasa sakit.Akhirnya, otak ku pelan-pelan menayangkan satu memori. Ingatan tentang bagaimana aku bekerja di Omega Lab. Juga rutinitas sehari-hari dengan gelas-gelas, tabung-tabung dan semua pernak-pernik laboratorium.Tapi, kemudian aku mengunci ingatan ini.Aku juga ngg
Eh!Sepertinya kejadian di lantai teratas gedung tempat kerja Daffar terulang.Dinding yang berubah seperti ini yang membuat aku bisa menyaksikan pertarungan antara Mazdak dan Daffar.Dan yang kuingat dari kejadian itu, mereka berdua tidak tahu bahwa aku bisa menyaksikan pertarungan itu.Aku beranjak dari bangku panjang ini, mendekat ke arah dinding yang sudah berubah. Lalu, aku menyentuh dengan sangat pelan dinding ini.Ini benar-benar nyata!Dinding ini memang lenyap.Tak puas dengan menyentuh dengan telunjuk, aku mengibas-ngibaskan telapak tangan ke kiri dan ke kanan, tapi sama juga-Kosong.Hanya ruang kosong!Dinding itu seolah memang benar-benar dicabut dari lantai ini.Aku mundur beberapa langkah dan kembali duduk dengan setenang mungkin.“Mari kita mulai pertemuan ini, kita kesampingkan dulu keanehan yang terjadi dengan manusia yang datang dari Kota Shrim itu,” ucap seseorang yang berdiri di samping kanan Ghassan.Laki-laki yang kini telah kembali berdiri di tempatnya semula i
“Kamu ingin Anbar berperang dengan Ardasyr?” sahut salah seorang penolak ide pengujian langsung itu.“Kita bisa bersiap untuk itu. Demi Anbar dan demi Ketua Agung!” balas salah seorang yang pro pengujian langsung itu antusias.Kemudian, salah satu dari mereka meminta semua yang dalam aula itu untuk tenang.Ghassan berdehem.“Tolong jangan gegabah! Dibawah ketua Agung Yarim, Ardasyr bisa menjadi lawan yang sulit untuk dikalahkan,” tegur Ghassan penuh penekanan.“Ghassan, haruskan kita menunggu hingga Penjaga Agung lumpuh dan Anbar huru-hara? Tak ada salahnya kita menguji langsung penduduk Shrim untuk mencari Darah Malaikat. Perintahkan saja! Tim khusus akan menjaga Anbar dari Ardasyr,” sahut Mazdak tegas.Hampir separo dari isi aula ruang pertemuan yang sepikiran dengan Mazdak bersahut-sahutan mendukung laki-laki tinggi besar dengan rambut sebahu itu.“Daffar,” ujar Ghassan tegas.Laki-laki tua dengan mata menyala itu menunggu pendapat Daffar.Daffar mengembuskan napas panjang dan dala
Aku melangkah dengan pelan dan sangat hati-hati, waspada dan tetap masih dengan jantung dag dig dug.Akhirnya, beberapa anak tangga terlalui.Kaki ini berdiri di ambang pintu ruangan yang tinggi.Itu ....Mata ini segera terfokus pada sebuah benda yang sepertinya pernah kulihat dalam buku-buku kuno yang pernah kubaca di perpustakaan umum Kota Shrim.Sebuah isar berada di tengah ruangan luas dengan langit-langit berbentuk kubah. Isar itu disangga oleh patung-patung tangan yang terbuka.Benarkah itu adalah isar yang disebut-sebut sebagai bejana tempat darah dalam buku yang kubaca ketika masih sekolah dulu?Dengan sangat pelan aku mendekat ke arah isar itu.Aku berjinjit untuk melihat apa isi isar itu. Kemudian, menggerak-gerakkan cuping hidung untuk mengesan bau isi isar yang terlihat seperti benda cair.Aku menghirup bau yang mungkin terdeteksi sebagai bau darah. Tapi, hidungku tak menemukan bau itu.Sejenak aku mengedarkan pandangan ke langit-langit ruangan yang sangat tinggi. Langit-
Oh, Tuhan!Bahkan, untuk sekadar memejamkan mata agar aku tak melihat wujud menyeramkan ini saja kelopak mataku tak mau menutup.Sepertinya, anggota tubuhku ini tiba-tiba mengkhianati perintah otak.Aku berusaha tetap tenang, berusaha mengaktifkan nalar agar tetap bekerja, berusaha menyuntikkan satu semangat agar tidak menyerah pada keadaan terjepit ini.Eh!Tiba-tiba, kepala ular kobra ini bergerak pelan sedikit ke belakang, dengan begitu, jarak antara kepalanya dan hidung ini agak melebar ... sedikit.Reptil besar ini mulai menutup mulutnya yang terbuka, nyalang matanya seolah sedikit surut.Egh!Entah dari mana, aku seperti bisa membaca apa arti gerak-gerik reptil seram ini.Saat ini, ular kobra ini bingung.Bingung?!Aku tertegun.Sesaat kemudian bayangan perilaku penampakan-penampakan ganda yang sebelumnya pernah kusaksikan di kota Shrim terputar ulang di otak ini.Penampakan ganda sopir taksi, Millian dan Pak Badzan juga mengalami reaksi seperti ini ketika dekat dengan wajahku.
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te