Kak pembaca ... Saranghae
Aku mengembuskan napas panjang.“Menghadiri acara Millian,” jelasku singkat.“Hah?!"Sinna melotot."Kamu?!""Tunggu!""Cepat ceritakan dengan singkat, gimana Kamu bisa menghadiri acara orang-orang kaya itu!""Kayaknya, dari segi manapun, mereka gak bakalan ngundang orang kayak Kamu deh. Bukan apa-apa ya, Neth, tapi aku sering mengurusi acara-acara orang-orang itu dan mereka itu sepertinya hanya mengundang orang-orang tertentu,” cerocos Sinna dalam mode emak-emak ngomel.Temanku ini juga memberikan tanda dua tanda kutip dengan gerakan keempat jarinya pada frasa orang-orang tertentu.“Itulah, aku juga tahu, tapi ini karena Mister Daffar yang menurutmu memabukkan itu,” sanggahku lemah.“Hah?!""Mister Daffar ... Mister Daffar yang itu?” seru Sinna terperanjat, matanya membelalak.Aku mengangguk pelan.“Heh?! Tak Bisa! Tak Bisa! Cepat ceritakan! Jangan sampai aku nggak tahu tentang ini!” cerocosnya dengan panik.Sesaat aku terkekeh melihat reaksi Sinna yang khawatir ketinggalan cerita it
Aku menahan napas, menunggu pintu ini terbuka dengan deg-degan.Semenit.Dua menit.Dan akhirnya, suara handle pintu digerakkan dari arah dalam terdengar.Pintu terbuka.Seorang wanita menyembulkan wajahnya yang gembul di celah pintu. Pandangan matanya penuh tanya.“Ya?” tanyanya dengan ... terengah-engah?Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan kening ketika membalas tatapannya.Selain sederhana, rumah ini tak begitu besar ... dan aku yakin, telinga ini tak mendengar suara orang berlari dari dalam rumah ini, atau suara yang dihasilkan dari gerak terburu-buru.Tapi, wanita dengan pipi bakpao ini seperti baru saja tergesa lari dari tempat yang jauh.Wanita yang mungkin, berdasarkan perkiraanku berusia di atas empat puluh tahun itu mengatur napasnya sembari menatapku lekat.Aku tersenyum, mengangguk santun sambil membalas pandangannya.“Em, maaf, benarkah ini rumah Barkiya?” tanyaku pelan.Wanita itu tak menjawab, ekspresinya justru terkejut.“Oh! Eh! Iya,” jawabnya dengan ekspresi waj
Hampir sepuluh menit aku hanya berdiri terpaku.Sampai akhirnya aku berhasil menyingkirkan semua yang membelit dalam pikiran ini dan memutuskan untuk kembali ke rumah Sinna, sesuai janji ku semalam.Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di rumah Sinna dan menggendong anaknya yang comel ini.“Hem, coba tiap weekend ada yang menggendong anakmu itu ya,” ucapnya nggak masuk akal.Ucapannya lebih dekat pada sindiran daripada harapan.Sinna sibuk hilir mudik mengerjakan pekerjaan domestik, sementara aku kadang mengikuti gerakannya karena si bayi menunjuk-nunjuk ibunya itu.“Apa Barkiya nggak punya nomor kontak yang bisa dihubungi?” celetukku ketika berdiri di samping Sinna yang sedang sibuk memasukkan pakaian-pakaian kotor ke dalam mesin cuci.Sinna menggeleng.“Aku nggak tahu, yang jelas, kami harus mengirimkan undangan itu via pos atau ekspedisi jika ada acara yang melibatkanya,” jawab Sinna tanpa menoleh ke arahku.Aku mengangguk kecewa.“Eh! Sinna, apa Kamu pernah merasakan keanehan
Apa yang ada dalam dada ini menggelora tak bisa lagi ditahan.“Hentikan!” seruku spontan.Aku mengesan keterkejutan pada laki-laki yang berdiri tiga langkah di depanku. Kedua bahu laki-laki itu samar menjengit pelan.Laki-laki itu menurunkan telapak tangannya pelan, tertegun sesaat, lalu membalikkan badannya dengan pelan dan tenang.Mulut dan hidungnya memang tertutup masker, tapi sorot matanya tajam, menyerangku dengan pertanyaan besar.“Bisakah aku mendengar alasanmu, Anneth?” tanyanya penuh penekanan.Aku mencoba mempertahankan rasa tak gentar yang terlanjur memenuhi dada ini.“Saya adalah pegawai laboratorium, Bapak Daffar,” jawabku tegas.Aku sengaja sangat memformalkan ucapan.“Dan sebagai pegawai laboratorium, saya tak bisa melihat prosedur di luar yang telah saya pelajari di lembaga pendidikan dan prosedur yang normal yang telah dijalankan di laboratorium-laboratorium di seluruh dunia,” jelasku dengan berani ....Entah keberanian itu muncul dari mana.“Dan apa yang kusaksikan
Bisakah?Aku ingin lepas dari project Darah Malaikat ini, walaupun itu artinya aku harus mencari cara untuk men-support usaha yang baru aku rintis bersama Aaron dan teman-teman dengan cara lain.“Em ... Daffar,” celetukku mengubah nada resmi ucapanku.“Ya,” jawabnya singkat.“Em, bisakah ... em ... saya lepas dari project ini. Em ... saya lebih memilih menjadi pegawai lab biasa saja, atau-”Aku diam sejenak, mengumpulkan semua keberanian, memperkirakan semua resiko yang mungkin terjadi.“Atau saya bisa berhenti bekerja dari Omega,” lanjut ku dengan menguatkan hati.“Hah?!” seru Daffar seketika.Laki-laki itu terperanjat, tapi sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak.“Anneth ... Anneth,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.Laki-laki ini menatapku lekat dengan ekspresi geli. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.“Menurutmu, aku akan membiarkan itu?” katanya dengan penuh penekanan.Ah ...!Aku kecewa.“Anneth, bukankah sudah kubilang sebelumnya, baru kali ini aku menemu
Pertanyaanku terabaikan.Melihat Hirah yang panik, aku kecil kebingungan, apalagi mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, tak ada waktu untuk menanyakannya lebih lanjut.Wanita itu meletakkan telunjuknya di dekat bibirnya.“Sst!” pintanya, wajahnya makin tegang.“Hirah,” ucap aku kecil sambil menahan tangis.“Dengar, Nak! Apapun yang Kamu dengar dan Kamu lihat dari sini, jangan pernah membuat gerakan atau suara apapun! Mengerti?” lanjutnya dengan penuh penekanan dalam setiap kata dalam kalimatnya.Aku menatapnya dengan bingung, takut dan penasaran.Aku ingin menggeleng, tapi tatapan mata Hirah membuat kepala ini terpaksa mengangguk.Pengasuhku ini menganggukkan kepala.“Bagus, Nak! Kamu anak pintar,” pujinya seperti biasanya.“Jangan sampai mereka tahu Kamu ada di sini, oke? Akan ada orang yang membawaku dari tempat ini, setelah itu akan ada tetangga kita yang akan mengantarmu ke suatu tempat, Kamu akan banyak teman di sana, mengerti?” tegasnya kembali dengan penuh penekanan pada setiap
Aku memejamkan mata saat otak ini tak memiliki referensi dari semua pengetahuan yang kupunya untuk menjawab pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala ini.Hah!Mungkin selama ini, aku terfokus pada kesedihan yang meraja di hati karena kepergian Hirah dengan cara yang tak wajar itu.Tapi, kali ini, setelah mengalami banyak kejadian di luar nalar, aku baru sadar jika kepergian Hirah itu bukan semata-mata kepergian yang tak wajar, tapi ada hal lain yang tersembunyi dibalik itu.Sayang sekali, bahkan untuk menebak apa yang berada di balik semua itu saja, aku nggak bisa.Akhirnya, aku berusaha mendamaikan diriku sendiri dengan menumbuhkan harapan semoga kelak petunjuk-petunjuk, dengan rela, datang menghampiri.Kaki ini melangkah meninggalkan rumah kosong ini dengan gontai.Beberapa saat kemudian, setelah menunggu rute balik bus dari kota yang berada di sebelah daerah Nabit ini, bus yang kutumpangi masuk ke Kota Shrim dan menurunkan aku di halte dekat tempat tinggalku.“Anneth!”Suara Aaro
Dengan ekspresi menahan kesal, Sinna menepuk bahu ini.“Menurutmu aku akan membiarkanmu pergi ke sana sendiri, hah?” ujarnya geram.“Terus?” tanyaku bingung.“Anak buahku itu yang akan mengantarmu, besok ku arrange agar dia menjemputmu, minta cuti kerja aja!” saran Sinna bernada bujukan, saran dan perintah yang tak boleh ditolak.Hem ... ternyata dia ingin menyertakan salah satu cctv-nya.Aku mengangguk.“Bagus, itu lebih baik,” jawabku mengalahYa ... daripada nggak dikasih alamatnya.“Ya, udah, jangan pilu-pilu lagi! Semangat! Tuh jangan lupa di makan!” berondongnya sambil menggerakkan kepala ke arah nampan yang tergeletak di atas meja kecil.Aku mengangguk patuh.“Ya sudah, anakmu lagi digendong bapaknya di lantai bawah, nanti keburu nangis dia, aku pulang dulu,” pamit Sinna datar.Aku segera memeluknya sambil mengucapkan terima kasih sebelum dia meninggalkan rumah ini.Waktu berjalan begitu cepat.Pagi ini, setelah mengajukan cuti mendadak, aku sudah berada dalam satu mobil bersam