Belum sempat proses cerna pikir ini selesai pada tataran kesimpulan, dari kejauhan, seorang wanita terlihat berjalan dengan tergopoh-gopoh.Di belakangnya, mengekor seekor kijang yang bentuk badannya sebesar kijang yang sebelumnya mendekat ke titik di mana aku jatuh ini.“Hah ... hah ....” Wanita itu terengah-engah ketika sampai di dekatku.Eh!Sepertinya aku mengenali wanita ini.Wanita yang tengah menatapku dengan pandangan takjub ini mengenakan dress one piece longgar. Dan aku nggak akan melupakan pipi gembulnya yang menyaingi bentuk bakpao itu.“Aku nggak menyangka hari ini akhirnya tiba!” serunya sambil mendekat ke arahku.Maksudnya?!Kijang yang berada di belakang wanita itu melonjak-lonjak girang seperti ikut mengekspresikan perasaannya.“Ayo, Anneth!” ajaknya sambil mengulurkan tangan.Ha! Benar!Ia memang wanita itu, wanita yang membukakan pintu rumah Barkiya ketika pertama kali aku mengunjunginya.Ah ... itukah kenapa saat itu kenapa ia terlihat terengah-engah padahal rumah
Mereka berdua bergeser berlainan arah.“Kalau begitu silahkan masuk!” sambut salah satu dari mereka.Aku mengangguk hormat, lalu berjalan terlebih dulu seperti yang mereka minta. Tapi, aku nggak melepaskan tanganku dari tangan Eldona.Whoah!Aku terkagum-kagum ketika mengamati keindahan pintu utama bangunan ini yang begitu indah. Dan lebih terkagum lagi ketika melihat bagian dalam bangunan ini yang memiliki langit-langit yang sangat tinggi dengan lampu-lampu kristal yang bergantung.Bagian langit-langit bangunan yang tembus pandang menampakkan langit yang berwarna putih tanpa sedikit pun semburat warna biru. Dari tempat aku berdiri, sepertinya seluruh permukaan langit tertutup dengan awan putih.“Selamat datang kembali di Ardasyr, Anneth,” sapa sebuah suara perempuan yang terdengar merdu.Kembali?Aku mengedarkan pandangan, tapi tak melihat sumber suara itu.Namun, tiba-tiba seorang wanita muncul begitu saja di beberapa langkah dariku.Tiga orang di dekatku mengangguk hormat.Aku melo
Tiba-tiba, Detik ini juga, di ujung kalimat Yarim, diriku berada di Sahm.Aku melihat langit menggelap dan permukaan bumi mulai bergerak.Penduduk kota itu mulai kacau balau karena gerakan permukaan bumi yang terasa seperti tarikan itu terasa lebih kencang dari gerakan permukaan bumi di sembilan bulan terakhir.Berikutnya, aku melihat kelebatan sosok-sosok berjubah yang terbang mendekat ke di langit gelap kota Sahm.Gerombolan berjubah yang mendadak keluar seperti bagaimana Mazdak tiba-tiba muncul di ruang kerja Daffar itu, dengan bengis menghujani rumah di mana kedua orang tuaku dan bayi yang baru lahir itu dengan bola api besar tanpa sedikit pun belas kasih.Dan di antara mereka, aku melihat Ghassan.Seketika, ledakan-ledakan bola api besar yang itu melalap semua yang ada di sekitar tempat itu.Aku ingin memejamkan mata agar tak melihat kengerian itu. Aku juga ingin menutup telinga ini agar nggak mendengar jeritan pilu para penduduk Sahm.Tapi, aku nggak mampu.Semua anggota tubuhku
Bagian penutup peti seukuran tubuh manusia itu terbuat dari bahan kaca tembus pandang yang memperlihatkan isi peti ini.Peti yang ternyata adalah sebuah peti mati ini berisi satu sosok yang telah membujur kaku.Aku tidak berani menyentuh peti berwarna putih yang seperti terbuat dari batu ini.“Kurasa dia sudah lama menunggumu, Anneth,” ucap Eldona yang disambut dengan gaung suaranya sendiri.Tapi, aku tak berani mengalihkan pandanganku ke bagian atas sosok yang terbaring ini. Aku terus menunduk kebawah dan hanya memandangi baju warna perak yang dipakainya.Sayang sekali, Eldona yang sepertinya membaca keengananku, menarik lengan ini untuk bergeser ke bagian atas sosok yang sudah terbaring tak bergerak ini.“Egh!” seruku terperanjat ketika pandangan mata ini akhirnya menatap wajah sosok yang terdiam dengan kaku ini.“Ini ....” Lidahku kelu.“Jadi, dia ada di sini?” tegasku pada diri sendiri.“Hi-rah!” seruku hampir tak percaya.Inilah penjaga Ardasyr yang adalah orang yang mengasuhku s
Aku menekan-nekan pelipis yang mulai berdenyut.“Aku begitu mengenali gerakan khas manusia itu,” sindir Barkiya datar.Phuh ...!Aku nggak tahu apa penduduk Ardasyr mengalami cenat-cenut di pelipis jika mendadak pusing karena kalut. Tapi, aku memang bukan orang Ardasyr, meskipun kabarnya dulu aku pernah tinggal lama di sini.Aku mengangkat pandang, dengan takut-takut menatap Barkiya yang ternyata tengah menatapku dengan tajam.“Apa kekuatan itu tidak bisa ditutup kembali?” tanyaku penuh harap.Barkiya menatapku tanpa ekspresi.“Bisa,” ucapnya singkat.“Jika Kamu bisa menghidupkan Hirah kembali,” sambungnya dengan nada cepat.Agh!Aku seperti terlempar ke dalam jurang keputusasaan yang tak berujung.“Anneth, Kamu nggak bisa mundur kembali ke masa lalu, mau nggak mau, suka nggak suka, Kamu harus menghadapi takdirmu,” ucap Yarim dengan lembut.“Sudah terlambat, Anneth, Kamu bisa melakukan keinginan khayalmu itu dengan menjauh darinya di hari pertama Kamu bersinggungan dengan kekuatan Anb
Ucapan Barkiya itu seperti dengungan ribuan lebah yang dalam waktu yang bersamaan menyerang pikiran ku.Aku berusaha tetap bernapas dengan normal walaupun di dalam dada ini seperti ada sebongkah batu besar yang menghalangi jalan napas ini.“Anneth,” ucap Barkiya kembali menuntut perhatian.Ah ....Barkiya seolah nggak mau memberikan jeda untuk ku agar sejenak bisa merasakan aliran oksigen dalam paru-paru ini.Tapi, aku menganggukkan kepala, bersiap menerima kata-kata berikutnya.“Ada satu hal penting yang harus Kamu tahu, karena Kamu diasuh oleh penjaga Ardasyr dan tumbuh beberapa saat di sini dengan menyerap energi Ardasyr, jika kekuatan Anbar menyerangmu, maka bukan Kamu saja yang hancur, tapi juga seluruh Ardasyr,” imbuh Barkiya dengan nada yang sangat serius.Ini seperti terdengar seperti menambahkan bencana di atas bencana, ini begitu menyesakkan.“Anneth, aku ingin Kamu mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung di Anbar,” ucap Barkiya datar.Tiba-tiba, diriku seolah sedan
Mata batinku mulai melihat satu bulatan cahaya kecil yang pelan-pelan membesar.Bola cahaya yang mulai membesar itu pelan-pelan terbelah menjadi dua. Lalu, bagian dalamnya memunculkan sinar yang lebih terang dari permukaan bola cahaya itu.Sesuatu dalam bola cahaya itu, pelan-pelan bergerak berputar dengan memancarkan sinar lurus yang memancar ke seluruh tubuh.Dari dalam pikiran ini, aku melihat seluruh tubuh ini diliputi satu sinar. Kemudian, sinar-sinar itu menembus kulit dan memancar mengenai dinding yang mengungkungku.Tiba-tiba dinding transparan ini bergetar.Getaran itu makin menguat dan akhirnya dinding ini pecah ketika dalam diriku seolah melahirkan satu ledakan.Aku membuka mata dan melihat seluruh dinding kubah ini ikut bergetar.“Cukup!” seruku otomatis.Dan getaran itu berhenti.Eh!Beginikah yang terjadi ketika aku menghentikan efek mabuk Daffar yang dialami Sinna dan teman dekatku yang lain?Barkiya dan Eldona tersenyum puas.“Kamu berhasil, Anneth!” seru Eldona riang.
Selama perjalanan ini, aku harus merelakan jantung ku untuk berdegup tak normal.Gimana tidak?Sekarang aku menyadari bahwa ada satu kekuatan besar dalam diriku, dan aku harus ke rumah Millian as known as rumahnya Amora yang adalah salah satu fans berat Daffar untuk selanjutnya masuk ke Anbar. Sendiri!Dan semakin dekat jarak taksi ini ke rumah berubah itu, di otak ini masih tak terlintas satu rencana pun.Beberapa saat kemudian, akhirnya taksi ini berhenti di depan rumah Millian.Aku turun dan segera masuk ke halaman rumah ini yang gerbangnya tidak terkunci.Mungkin pemiliknya percaya diri karena memiliki kekuaran sihir di tengah kota Shrim yang notabene adalah kota manusia yang akan kalah dengan apa yang mereka miliki.“Saya ingin bertemu Amora,” ucapku ketika berdiri di depan pintu utama rumah berkubah ini.Beberapa saat tidak ada tanda-tanda bahwa pintu rumah ini akan dibuka, tapi aku tetap menunggu.Tapi, akhirnya suara klik dari handle pintu yang diputar melegakan hati.Seorang
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te