Aku mengalihkan pandangan ke arah si bayi, Sinna mengikuti arah pandanganku dan menempelkan telunjuknya di tengah bibir dengan posisi vertikal.Perasaan dia yang bicara, gimana ceritanya aku yang disuruh diam?“Dan jelaskan! Gimana Mister Daffar bisa bersamamu ke tempat ini? Dan terangkan bagaimana dedemit itu bisa sampai ke sini? Apa urusan dedemit itu sama keluargaku ini? Apa? Apa? Kenapa? Gimana? Siapa?” Dalam suaranya yang ditahan, tetap saja cerocosannya tak berkurang derajatnya.Masih sambil berbaring, aku menggerakkan kedua telapak tanganku ke bawah, lalu mencontohkannya sebuah gerakan tarik embus napas panjang dengan pelan.Sinna otomatis mengikuti gerakan percontohan itu.Kemudian setelah ia terlihat tenang, aku mengusap-usap punggungnya.“Yang pertama yang harus ada dalam pikiranmu adalah tenang, oke? Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,oke?” ucapku menebarkan sugesti positif.Bagaikan anak kecil, Sinna dengan patuh mengangguk.“Aku akan menceritakan dengan pelan, han
Suami Sinna memperhatikan apa yang diucapkan Daffar dengan saksama. Kurasa kegilaan yang baru saja ia alami membuatnya tak ingin banyak tanya.“Aku nggak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih, apalagi dengan barang sebanyak itu,” balas suami Sinna terus terang.“Itu bukan masalah, yang penting kalian aman,” jawab Daffar dengan tenang.Suami Sinna beranjak untuk membantu Sinna.“Ssst! Daffar,” ucapku sambil mendekat ke kupingnya.“Em,” gumam Daffar lembut.“Gimana kalau Anbar membayar jenis manusia untuk mengganggu keluarga Sinna?” tanyaku khawatir.Daffar menoleh dan memandangku dengan lembut, lalu ia tersenyum.“Jangan khawatir, apa saja yang digerakkan Anbar, mereka nggak akan bisa menembus kekuatanmu,” jawab Daffar dengan yakin.Aku sangat lega mendengar keyakinan dalam suaranya itu.“Aku hanya waspada saja, makanya aku membuat gudang di depan, apartemen ini jadi memiliki dua lapis pintu. Ya, mana tahu, mereka butuh sesuatu yang terlewat kita beli. Aku ingin semua pertemuan
Aku mengelap kedua tangan, lalu membuka apron tolak basah ini.Dengan tergesa, aku berjalan mencari tas ransel.Aku nggak tahu apa Daffar merasakan firasat yang sama atau hanya menebak dari gerak-gerikku, yang jelas, sekarang dia berjalan mengekor.Aku merogoh telepon genggam dalam ransol. Nama Aaron terpampang di layar.“Halo?” sapaku begitu telepon genggam ini menempel di telinga.“Anneth!!” Suara melengking perempuan seketika membuat telinga ini berdenging.Dengan cepat, aku menjauhkan telepon genggam ini dari telinga.Ini ‘kan telepon Aaron? Kok suaranya-Aku kembali menempelkan layar telepon genggam itu karena raungan suara perempuan itu tak henti meneriakkan namaku.“Anneth!” seru suara perempuan itu sekali lagi.“Iya, halo,” balasku dengan cepat.“Kamu harus cepat ke sini!” seru suara perempuan itu panik.Ini kok kayak suara-“Allen?” tebakku dengan cepat.“Haduh! Iya! Siapa lagi?!” jawabnya dengan nyaring.Tapi ini ‘kan nomor Aar-“Di mana Aaron?” tanya dengan nada cepat, mend
Kekuatan kegelapan Anbar itu seolah mengenaliku, gumpalan hitam semu merah itu seperti sedang berusaha keluar dari dalam tubuh jenis manusia milik Daffar yang dapat kutembus.Pelan-pelan aku membuka kelopak mata.Daffar sedang memandangku dengan tatapan yang dalam.Dia tersadar jika kini aku balas menatap matanya.“Apa yang terjadi? Kamu menemukannya? Atau malah enggak sama sekali? Apa kekuatan Anbar itu juga tak terlihat olehmu?” berondongnya dengan nada yang sangat cepat.Aku menghela napas berat.“Daffar, bisakah Kamu menjauh sejenak?” pintaku lirih.“Oh!” serunya terkejut.Tapi, ia mengangguk.“Selangkah atau dua langkah?” tawarnya tanpa dosa.Aku mengembuskan napas panjang ... lagi.“Dua langkah lebih baik,” jawabku pada akhirnya.Daffar mundur ke belakang. Dan aku tahu, setelah itu dia berbalik dan tetap mengawasi.Aku mengabaikannya, lalu kembali mengulang proses menggunakan kekuatan dalam diriku sekali lagi.Setelah beberapa saat berkonsentrasi-Eh!Aku melihat seluruh ruangan
Aku terus mengikuti langkah Daffar yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya.“Daffar, apa aku bisa menggunakan telepon untuk mengetahui keberadaan Allen di sini?” tanyaku mendadak teringat bagaimana gadis itu menghubungiku.“Tidak, kedua benda itu tidak akan bisa digunakan di sini,” jawab Daffar lugas.“Tapi, tadi bisa?” kejarku merujuk pada telepon Allen sebelumnya.“Anbar menempel dengan Shrim dan kota-kota lain yang ditinggali manusia. Bisa jadi, posisinya yang menempel membuat kedua telepon itu berada dalam satu gelombang sinyal. Tapi, sebenarnya, kemungkinan keberhasilan sambungan telepon itu satu dibanding ratusan peluang,” jelas Daffar dengan suara berbisik.Ah ... berarti, telepon Allen tadi adalah satu dari sekian banyak keberuntungan.Jantungku berdetak turun naik akibat kekhawatiranku yang sampai detik ini belum menemukan tanda-tanda keberadaan Allen dan Aaron.Kami terus berjalan dalam kegelapan dengan hanya diterangi dengan bola cahaya gaib dalam genggaman tangan in
“Hah!” seru Allen bingung.Tapi, aku mendorong punggungnya dengan sedikit penekanan.Gadis itu segera melompat ke dalam celah sempit yang kini melebar itu.Aku begitu lega ketika akhirnya kaki Allen tak terlihat lagi.Ah!Berbeda dengan celah titik putih yang sebelumnya, celah titik putih di dekat tabir merah ini dengan cepat kembali merapat untuk kemudian menghilang.Daffar yang mengetahui Allen telah kembali ke dimensi asal, ia menarik tanganku ke arah depan, mendekat ke tabir cahaya merah itu.“Aku nggak dapat menembusnya, juga tidak bisa menemukan celah lemahnya,” bisiknya lirih di telingaku.Aku turut mengamati tabir merah itu, tapi tidak tahu harus menemukan satu titik lemahnya dalam bentuk apa.Sedetik kemudian, aku menemukan satu ide yang begitu saja melintas dalam benak.Dengan pelan, aku menggulirkan bola cahaya gaib dari genggaman tanganku.Bola itu menggelinding mendekati tabir cahaya berwarna merah itu.Waow!Aku begitu takjub ketika melihat apa yang terjadi di depan mata
Tubuhku bergerak makin dekat ke arahnya, bumi yang kupijak ini seperti conveyor yang mengantarkan specimen sampel darah ke ruang rahasia di departemen khusus untuk pengujian darah.“Hhahh,” desis makhluk itu seperti ular yang sangat besar.Seketika gambaran ular beracun yang saat ini telah berubah menjadi patung di tepi isar yang terbelah itu muncul kembali.Dari mulut yang sedang mendesis itu terjulur lidah panjang yang bercabang.Aku menahan diri untuk tidak menjerit, terus memompa ketenangan dalam diri, meskipun tubuh ini mulai gemetar.Set!Bumi yang kupijak berhenti ketika tubuh ini berada satu langkah di depannya.Makhluk menyeramkan ini terkekeh dengan pelan dengan suara kekehan yang membuat bulu kudukku merinding.Sekilas aku melirik ke arah Aaron yang terus berputar.Dan saat kepala Aaron berada di bagian bawah, wajahnya terlihat tertidur dengan ekspresi yang sangat ketakutan.Aku menahan napas, tercekat.Sesaat, aku terpikir dengan rencana Daffar yang aku nggak tahu itu, aku
Aku berusaha tetap tenang, tapi dalam remang cahaya merah, sosok hitam legam menyeramkan itu tubuhnya mulai mengeluarkan api.Aku meraba satu titik yang kuperkirakan sebelumnya sebagai tempat celah titik lemah. Tangan ini meraba tempat gelap gulita itu.Ini!Aku merasakan satu embusan angin tipis dari kegelapan yang kuraba. Lalu, aku menusukkan telunjuk mengikuti titik yang mengeluarkan embusan angin itu. Kemudian aku membuat gerakan merobek ke bawah untuk membesarkan celah itu.Garis putih mulai terlihat.“Anneth!” seru Daffar tergesa.Aku membuat medan perlindungan di sekitar tubuhku dan tubuh Daffar yang sedang mendekap tubuh Aaron.Mendadak tarikan itu terhenti.Dan itu memberiku kesempatan untuk konsentrasi memperlebar celah lemah dasar Anbar agar terus membesar.“Agrh!”Makhluk menyeramkan itu kembali meraung menyatakan kemarahannya.Lobang itu membesar kira-kira sebesar dapat dimasuki oleh satu tubuh.Eh!Mendadak aku merasakan ada satu gerakan mendekat yang menggerakkan udara
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te