Di tempat lain, seorang pangeran tunggal dari Kerajaan Wisteria menunggang kuda dan bergerak menuju kembali ke istananya. Tugasnya bernegosiasi dengan Kerajaan Norn sudah selesai. Dia harus segera melapor.
“Kita akan sampai di istana, tengah hari, Gavin,” ucap salah seorang penunggang kuda di samping kuda Pangeran Gavin.
“Hm,” Pangeran Gavin menjawab singkat kemudian melajukan kudanya semakin cepat, membelah jalanan hutan. Suasana hatinya sedang buruk sepulangnya dari Kerajaan Norn.
Astra, orang yang berkuda di samping Pangeran Gavin kembali bersuara setelah melihat raut masam Pangeran Gavin, “apa kau ingin ke suatu tempat dulu?”
“Tidak,” jawaban keluar dengan nada dingin dari mulut Pangeran Gavin.
Melihat hal itu, Astra tidak berani lagi berbicara ataupun bertanya. Dia tidak ingin memperburuk suasana hati pangeran. Astra merupakan salah satu dari tangan kanan Pangeran Gavin yang tugasnya adalah mengikuti kemanapun sang pangeran pergi. Dia sudah bekerja lebih dari 10 tahun di Kerajaan Wisteria. Sekalipun umurnya lebih tua dibandingkan umur Pangeran Gavin, namun dia tetap sopan dan patuh padanya.
Di Kerajaan Mandelein, Pangeran Louis mengumpat kesal sembari memaki-maki prajuritnya yang kembali dengan tangan kosong. Putri Olivia sudah lolos dari kejaran prajurit dan sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya.
“Kalian semua tidak becus!! Menangkap satu gadis saja kalian tidak bisa!! Jumlah kalian jauh lebih banyak dibanding dengan satu orang!! Dasar sampah! Tidak berguna!” kata-kata kasar mulai keluar memekakkan telinga para prajurit yang bertekuk lutut di hadapan sang pangeran.
Untuk yang kedua kalinya, mereka membuat pangeran marah besar. Tidak ada yang bisa dikatakan ataupun dilakukan. Satu-satunya yang dapat menenangkan pangeran adalah keberadaan Putri Olivia.
“Maaf mengganggu, Pangeran. Saya mendapatkan laporan dari salah satu prajurit di dekat perbatasan, yang mengatakan ada kereta kuda milik Raja William yang melintas. Jika saya tidak salah mengira, kemungkinan Putri Olivia diselamatkan oleh Raja William dan dibawa ke kerajaannya,” Dean berusaha menjelaskan mengenai informasi yang didapatnya. Sekaligus berusaha menenangkan emosi dari pangeran.
Pangeran Louis seketika berhenti berbicara dengan tatapan tajam ke arah Dean, “kuharap kau tidak memberiku informasi palsu.”
“Tidak, Pangeran. Informasi ini didapat tadi pagi. Kemungkinan Putri Olivia berhasil melewati perbatasan dan sekarang berada di Kerajaan Wisteria,” Dean menjawab dengan nada tenang.
Sebuah seringai lebar terlihat jelas di wajah Pangeran Louis dan dengan tegas dia berucap, “cepat! Kerahkan prajurit elitku untuk menerobos dan menculik Putri Olivia di Kerajaan Wisteria!”
Di siang hari yang sangat panas. Matahari bersinar sangat terik, menahan siapapun untuk keluar dari rumah mereka. Dua penjaga gerbang bergegas membuka gerbang begitu mengetahui sang pangeran telah tiba. Dua kuda masuk ke dalam gerbang dan sudah disambut oleh petugas kuda yang bertugas membawa kuda-kuda kembali ke kandangnya.
Pangeran Gavin turun dari kuda dan menyerahkan kudanya pada penjaga kuda. Sekilas dia melihat ke arah kereta kuda milik ayahnya yang sudah terparkir di depan istana. Dengan langkah lebar, Pangeran Gavin berjalan meninggalkan Astra masuk ke dalam istana.
Kerajaan Wisteria terdiri dari dua bangunan megah. Bangunan pertama yang menjadi bangunan utama kerajaan, ditinggali oleh Raja William dan Almh. Ratu William. Sedangkan bangunan yang kedua, ditinggali oleh Pangeran Gavin beserta anak buahnya.
Pangeran Gavin terus melangkah melewati koridor kerajaan menuju ke ruangan miliknya yang berada di seberang koridor. Beberapa pelayan berlalu-lalang melewati Pangeran Gavin. Sapaan yang dilontarkan hanya dibalas dengan deheman dingin. Perhatian Pangeran Gavin teralihkan pada ruangan yang terlihat sangat sibuk. Ruangan tersebut tepat berada di samping ruang kerjanya.
“Kenapa ramai sekali?” Pangeran Gavin bertanya dengan nada tajam nan menusuk membuat mereka yang berdiri di depan pintu segera membungkuk kemudian berlalu begitu saja.
Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, Pangeran Gavin memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Orang yang dilihatnya pertama adalah Raja William yang tengah duduk menghadap seseorang yang berbaring di tempat tidur.
“Apa yang Ayah lakukan di sini dan siapa ya–” ucapan Pangeran Gavin terhenti begitu melihat siapa yang tidur di atas kasur di sebelahnya.
Sebelum Pangeran Gavin bersuara, Raja William lebih dulu membungkam mulut anaknya kemudian menariknya keluar dari kamar, “kita bicara di luar.”
Pintu kamar ditutup. Raja William berdiri berseberangan dengan Pangeran Gavin yang mulai menunjukkan raut cemas dan bingung. Astra yang baru datang ikut bergabung. Dia berdiri tidak jauh dari Pangeran Gavin.
“Katakan padaku, Ayah. Kenapa Olivia ada di sini?” Pangeran Gavin bersuara, mengeluarkan pertanyaan yang mencuat dipikirannya.
Raja William menarik napas kemudian menghembuskannya pelan. Matanya menatap lurus ke arah putra semata wayangnya, “Ayah akan ceritakan semuanya. Tapi, berjanjilah untuk tidak mengamuk. Janji?”
Pangeran Gavin mengangguk, “aku mengerti.”
“Kerajaan Mandelein sudah tidak ada lagi, termasuk orang tua Putri Olivia,” Raja William mengucapkan satu kalimat untuk mempermudah penyampaian informasi pada Pangeran Gavin.
Hanya dengan satu kalimat, sudah berhasil menyulut api kemarahan di dalam hati Pangeran Gavin. Suasana hatinya sudah buruk ditambah dengan informasi yang baru saja diterimanya, membuatnya merasa ingin menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.
“Kau sudah berjanji untuk tidak mengamuk. Tenangkan pikiranmu,” Raja William menepuk-nepuk pundak anaknya berusaha membantunya untuk mengendalikan emosinya.
Pangeran Gavin sudah mengepalkan tangannya dengan sorot mata penuh kebencian dan amarah. Merasakan tepukan di bahunya, Pangeran Gavin berusaha mengatur emosinya. Berulang kali, dia menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Dia harus tenang. Setidaknya Putri Olivia masih selamat.
Melihat anaknya berhasil mengendalikan emosinya, Raja William tersenyum senang, “untuk saat ini, semua tugasmu yang berada di luar kerajaan akan Ayah selesaikan. Tugasmu untuk sekarang adalah menemani Putri Olivia hingga dia tidak lagi trauma dan juga menyelesaikan tugas yang ada di dalam kerajaan. Kau mengerti?”
Pangeran Gavin mengangguk, “aku mengerti, Ayah.”
“Bagus. Astra, tunjukkan padaku tugas yang belum diselesaikan,” Raja William berjalan meninggalkan Pangeran Gavin menuju ke ruangan milik anaknya.
“Baik, Yang Mulia,” Astra menunduk patuh kemudian mengikuti Raja William.
Pangeran Gavin berbalik dan masuk ke dalam kamar. Dengan langkah pelan, dia mendekat ke tempat tidur kemudian duduk di kursi tepat di samping tempat tidur. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kerajaan Mandelein merupakan rumah kedua baginya. Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Hal yang terlupakan adalah pangeran tidak sempat bertanya siapa yang melakukan hal keji itu pada anggota keluarga Kerajaan Mandelein.
Pangeran Gavin menatap lekat wajah Putri Olivia di mana terlihat luka lebam di rahang, pipi, bahkan pelipisnya terdapat bercak darah. Dalam hatinya, dia mengutuk siapapun yang melukai Putri Olivia.
Perlahan namun pasti Putri Olivia membuka matanya. Kelelahannya perlahan mulai menghilang namun traumanya masih selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Dan itu sangat menakutkan baginya.
“Kau sudah bangun?” Pangeran Gavin bertanya pelan.
Bahkan dengan suara sepelan itu masih mengagetkan Putri Olivia. Dengan raut ketakutan, Putri Olivia menoleh ke samping kanannya dan mendapati Pangeran Gavin duduk di samping tempat tidurnya.
“Gavin...” Putri Olivia mulai berkaca-kaca dan perlahan mulai menangis.
Melihat hal itu, Pangeran Gavin beralih duduk di tepi tempat tidur kemudian menarik Putri Olivia ke dalam pelukannya. Tidak ada kalimat yang diucapkan olehnya. Pangeran Gavin hanya diam, membiarkan Putri Olivia menangis dipelukannya. Hatinya kembali tersayat-sayat melihat Putri Olivia menangis.
“Aku akan menghabisi siapapun yang membuatmu seperti ini. Aku bersumpah,” batin Pangeran Gavin.
Putri Olivia menarik dirinya, berusaha untuk menghentikan tangisannya.
Pangeran Gavin mengulurkan tangannya, menyeka air mata Putri Olivia, “maafkan aku karena tidak ada di sana semalam. Kau pasti mengalami hal buruk sendirian. Maafkan aku.”
Putri Olivia menggeleng pelan, “semua ini bukan salahmu.”
“Tapi... aku tidak ada ketika kau membutuhkanku adalah hal yang menyakitkan untukku,” Pangeran Gavin mengusap pelan punggung tangan Putri Olivia. Kepalanya menunduk, merasa bersalah atas ketidakmampuannya ada di sana waktu itu.
“Jangan salahkan dirimu, Gavin. Aku berhasil selamat dan ada di sini adalah sebuah keajaiban. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri,” Putri Olivia berujar pelan. Seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Ditambah lagi, perut sebelah kirinya yang terasa sangat nyeri. Kedua kakinya pun masih perih karena luka sayatan semak-semak.
Pangeran Gavin kembali menarik Putri Olivia ke dalam pelukannya, “aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu lagi. Aku akan selalu ada di sini menemanimu.”
Putri Olivia tersenyum, “terima kasih. Kau memelukku terlalu erat, Gavin. Tubuhku masih sakit.”
Spontan Pangeran Gavin melepas pelukannya, “maaf. Aku tidak sengaja.” Dia membantu Putri Olivia kembali berbaring lantas merapikan selimut yang membungkus tubuhnya.
“Bagian mana yang sakit? Sudah diobati?” Pangeran Gavin menatap dengan sorot mata sedih.
“Bagian kiri perutku sakit dan kakiku sepertinya terluka. Tadi juga sudah diobati,” Putri Olivia menjawab lirih.
Sekali lagi, Pangeran Gavin merasa hatinya tersayat-sayat mengetahui bahkan Putri Olivia terluka, “istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini.”
.
.
Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?” Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.” Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.” Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?” “Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya. Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah. “Maaf, Y
Pangeran Gavin pun melangkah keluar kamar meninggalkan Azura. Langkah lebarnya menuju ke ruang bawah tanah di mana Astra dan semua pelayan berkumpul. Di ruang bawah tanah, Astra memborgol pelayan yang berniat menikam Putri Olivia di hadapan semua pelayan. “Jangan ada yang pergi dari tempat ini,” ujar Astra penuh penekanan. Beberapa pelayan berbisik, saling bertanya kenapa mereka semua dikumpulkan. Pelayan yang diborgol mulai tersadar dan kembali memberontak. “Lepaskan saya! Tolong, siapapun!” pekiknya. Plak! Sebuah tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi pelayan tersebut membuatnya seketika membeku. Astra baru saja melayangkan tamparannya pada pelayan di sampingnya. Tangannya yang sudah gatal ingin memukul wanita di sampingnya karena berniat menikam orang yang paling berharga untuk pangeran, “berisik! Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Hah?!” Suara bariton Astra membuat mereka yang berada di sana bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Astra yang biasa
Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.Mendengar ucapannya justru
“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya. Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh. Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri. “Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan. Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?” Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.” “Hm? Mata-mata? D
Dengan langkah senyap, Astra keluar dari kamar Putri Olivia meninggalkan Pangeran Gavin. Dia berjalan santai menyusuri koridor, memasuki sebuah lorong yang gelap kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan.“Tidak biasanya kau datang terlambat, Astra,” seseorang yang duduk santai di kursi di paling ujung meja, menatap Astra yang berjalan ke tempat duduknya.Astra menarik kursi kemudian duduk. “Jangan samakan tugasku denganmu, Gabriel.”Laki-laki yang dipanggil Gabriel itu, tertawa kemudian menopang dagunya menatap Astra yang berseberangan dengannya, “aku dengar ada keributan tadi. Ditambah lagi, Azura menikmati semuanya sendirian.”Azura sudah duduk di kursinya dengan pakaian yang lebih bersih dibanding sebelumnya. “Pangeran yang memintanya. Jangan salahkan aku.”Gabriel beralih menatap Azura yang duduk di sampingnya. “Tapi, kau menikmatinya, kan?”Azura tersenyum lebar, “tentu saj
Jam 2 malam. Di dalam kamar Putri Olivia. Pangeran Gavin tidak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Setelah dokter datang mengantarkan obat untuk Putri Olivia, dia senantiasa berjaga. Setiap satu jam sekali, dia akan mengganti kain kompres di dahi Putri Olivia. Dia selalu menjaga tubuh Putri Olivia untuk tetap hangat, sekalipun suhu tubuh Putri Olivia masih tinggi. Pangeran Gavin kembali duduk setelah mengganti kain kompres. Dia tidak kenal lelah untuk menjaga Putri Olivia. Pangeran Gavin menopang dagu, menatap lekat Putri Olivia. Tanpa sadar, matanya perlahan tertutup namun detik berikutnya dia tersadar dan kembali membuka matanya. Posisi duduk membuatnya sangat ngantuk. Pangeran Gavin berdiri sembari merenggangkan tubuhnya. Dia berjalan-jalan mengelilingi kamar, mencegahnya agar tidak tidur. Bahkan dia menyempatkan diri untuk melakukan push-up. Hingga pukul 4 pagi, Pangeran Gavin tertidur dengan posisi duduk. “Gavin... Pangeran Gavin.” Mendengar namanya disebut, Pangeran Gavin
Tok! Tok! Tok!Astra menoleh ke arah pintu, “masuk.”Pintu terbuka dengan Cora yang melangkah masuk, “permisi.”Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan Pangeran Gavin menghentikan tangannya. Tidak ada yang memberitahunya kalau Cora akan datang ke kamar Putri Olivia.“Ada apa, Cora?” Pangeran Gavin menegakkan tubuhnya, tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku yang memintanya ke sini,” Astra menjawab lantas mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada Cora.“Tolong siapkan gaun dan juga keperluan lainnya untuk Putri Olivia. Kau bisa membawa mereka berdua untuk membantumu,” sambung Astra sembari menunjuk Lucy dan Maya.Cora tersenyum sembari menerima uang tersebut, “oke. Serahkan saja padaku. Ayo berangkat, Lucy, Maya.”“Baik,” Lucy dan Maya menjawab serempak.Cora keluar dari kamar diikuti oleh Lucy dan Maya. Pintu pun kembali
Tidak jauh darinya melangkah, Azura berdiri bersandar di tiang sembari melipat tangannya. Senyumnya selalu secerah matahari, namun dia bagaikan bunga indah yang berduri.“Ada apa, Azura?” Pangeran Gavin menghentikan langkahnya, ketika beberapa langkah dari Azura.“Kau ingin ke kamar Nona, kan? Aku ikut,” ucap Azura penuh semangat.Pangeran Gavin menatap Azura cukup lama, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui, “boleh. Jangan lakukan hal aneh.”“Oke~” Azura bersorak senang kemudian berjalan mengikuti Pangeran Gavin.Di dalam kamar, Putri Olivia duduk santai menyesap teh di dalam cangkir yang dipegangnya. Lucy dan Maya masih senantiasa menemaninya. Sesekali mereka bercerita mengenai beberapa hal menarik yang terjadi di kerajaan. Baik Lucy maupun Maya tidak berani menyinggung ataupun bertanya mengenai kehidupan Putri Olivia ketika di kerajaannya. Mereka tidak ingin Putri Olivia kembali bersedih.
Hari silih berganti. Puteri Olivia dan Pangeran Gavin masih senantiasa menginap di Kerajaan Gambera. Hal yang berbeda hanyalah Norman yang sudah kembali ke Kerajaan Wisteria, membawa laporan terkait ucapan terima kasih dari Yang Mulia Geld yang ditujukan kepada Yang Mulia William. Panglima Murr pun sudah kembali, menyisakan Panglima Sam dengan beberapa pasukannya untuk mengamankan Kerajaan Mandelein. Berita kebenaran kejadian di dalam istana, sudah terdengar sampai ke telinga rakyat Kerajaan Mandelein. Di hari pertama, bahkan mereka berbondong-bondong mengunjungi istana untuk menanyakan kebenaran terkait berita tersebut. Beberapa dari mereka mengasihani keadaan Puteri Olivia, sedangkan yang lainnya menginginkan Pangeran Louis dihukum mati. Berakhirnya peperangan juga menjadikan akhir bagi Kelompok Mawar Hitam. Palte selaku pemimpin kelompok tersebut, diam-diam menemui Panglima Sam di Kerajaan Mandelein. Mencoba mengutarakan maksudnya. “Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang padaku?” tany
Crash!“Maaf terlambat. Kau baik-baik saja?” Gabriel muncul di samping Palte, memaksanya untuk kembali membuka mata.Siapa? Aku belum pernah bertemu dengannya.Gabriel berjongkok dan membantu Palte untuk berdiri. “Kita harus mengobati lukamu.” Sekalipun dia mendengar apa yang dipikirkan oleh Palte, namun Gabriel memilih untuk lebih dulu mengobati lukanya.Di seberang mereka, Azura pun sudah berhasil menyelamatkan Alex dan rekan-rekannya dengan memenggal kepala prajurit yang berada di sekitar mereka. Beruntung tidak ada luka parah pada mereka, jadi mereka bisa segera meninggalkan arena pertempuran.“Palte! Kau terluka! Astaga!” Noir panik ketika melihat Gabriel yang menyandarkan Palte di samping gudang.Gabriel melangkah mundur, membiarkan Noir mengobati Palte. Pandangannya pun beralih menatap Azura yang baru datang bersama Alex dan rekan-rekannya.“Tetaplah di sini. O
Teriakan memilukan, tanpa bisa melakukan apapun. Tangan kanan Dean terpotong hingga bahu. Masih dalam keadaan terikat, tangan itu terpisah dari tubuh pemiliknya. Dean meraung-raung melampiaskan rasa sakit yang dirasakan di tubuh bagian kanannya. Darah pun keluar tiada henti. Rasa sakit yang membuat siapapun ingin menangis.“Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Tapi kau malah tidak mau percaya padaku. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan? Apa yang kulakukan padamu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kalian lakukan pada orang tua Puteri Olivia. Kau sendiri sadar akan hal itu, kan?” Azura menyimpan belatinya seraya menjaga jarak dari Dean. Dia membiarkan Dean berteriak-teriak kesakitan. Sudah cukup baginya untuk saat ini menyiksa laki-laki di depannya, hanya sekedar untuk membuktikan dengan siapa dia berhadapan.Tak lama kemudian, Dean tidak sadarkan diri. Azura pun mengambil kain panjang yang selalu dibawanya untuk berjaga jika terluka. Kali ini dia akan menggunaka
“Astaga Gavin!” Yang Mulia William bergegas mendekat, membantu Astra meletakkan Pangeran Gavin di dalam kereta kuda.Astra bergegas mengambil kotak obat di kereta yang lainnya dan segera mengobati luka di punggung Pangeran Gavin. Sedangkan Gabriel meletakkan Puteri Olivia di kereta kuda yang lainnya. Dia masih belum sadar. Hampir saja, telat satu detik saja, Puteri Olivia mungkin akan mati tergantung. Gabriel melepaskan tali yang mengikat leher Puteri Olivia kemudian membuangnya asal.“Apa Puteri baik-baik saja?” Maya berdiri di samping kereta kuda, menatap cemas keadaan Puteri Olivia.Gabriel berdiri berseberangan dengan Maya, menatapnya kemudian beralih menatap Puteri Olivia. “Dia hanya tidak sadarkan diri. Temani di sini. Aku harus mengurus Azura.”Maya mengangguk mantap. “Dimengerti.”Gabriel melangkah cepat mendekat ke Azura yang dibaringkan di atas rumput di bawah pohon. Di sampingnya sudah ada
Dua ribu pasukan keluar dari hutan, membaur dan menebas pasukan dari Kerajaan Mandelein. Beberapa dari mereka bergerak cepat mengobati prajurit pimpinan Panglima Murr yang terluka, membawa mereka jauh dari peperangan.Ribuan pasukan yang datang membuat emosi Pangeran Louis seketika memuncak. Wajahnya merah padam. Tidak ada yang mengatakan padanya kalau akan ada pasukan bantuan. Sekalipun pasukannya terbilang banyak, namun yang dilihatnya saat ini adalah pasukannya yang semakin berkurang.“CEPAT HABISI MEREKA! KENAPA KALIAN MALAH KALAH? CEPAT MAJU!!!!”Prajurit yang merasa terpanggil bergegas melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mulai bergerak mengepung Pangeran Gavin dan yang lainnya. Hampir seperempat pasukan mengepung mereka, dengan senjata di tangan mereka.Astra yang semakin terpancing emosi sontak berdiri di depan teman-temannya. Jika dia memiliki kemampuan kutukan, mungkin dia akan mengutuk mereka yang berada di sekitarnya dengan kut
Pangeran Gavin yang berada di tengah-tengah peperangan, menyadari keberadaan Putri Olivia di atas benteng. Perhatiannya pun teralihkan. Pedang yang semula bergerak menebas sana-sini, kini berhenti bahkan perlahan turun. Sebentar lagi, seharusnya dia bisa menyusup dan menyelamatkan Putri Olivia, namun apa yang terjadi saat ini membuatnya terdiam.Oliv...“Gavin! Jangan melamun!” Astra yang semula berjarak darinya segera mendekat seraya menghunuskan pedangnya pada prajurit yang menghalangi jalannya. Pangeran Gavin yang sama sekali tidak bergeming di sampingnya dengan pandangan ke arah benteng, membuat Astra melihat ke arah yang sama.Terkejut, tergambar jelas di wajah Astra, apalagi Pangeran Gavin. Jarak mereka dengan benteng masih sangatlah jauh. Ditambah lagi dengan ribuan pasukan yang mengepung mereka, membuatnya sulit untuk menjangkau dalam waktu cepat ke tempat Putri Olivia.“KAU DI SANA, GAVIN? KAU INGIN MENYELAMATKAN OLIVIA
“Omong-omong, Gavin. Aku membawa pesan dari Yang Mulia William.” Astra berbalik menatap Pangeran Gavin yang tengah memijat pelipisnya.“Ap---”Bugh!Sebuah bogeman mentah mendarat di perut Pangeran Gavin dari Astra membuatnya meringis kesakitan. Siapa sangka Astra akan memukul perutnya dan itu terbilang cukup kuat.“Itu pesan dari ayahmu, Gavin. Dia menitipkan pukulannya padaku,” ucap Astra tanpa rasa bersalah sama sekali.“Uhuk! Uhuk! Sakit sekali. Kenapa ayah menitipkan hal yang tidak berguna padamu?” Pangeran Gavin mengambil duduk di atas jerami seraya menyandarkan punggungnya di tiang gudang.Astra pun ikut duduk bersila di samping Pangeran Gavin. “Karena kau dengan bodohnya sendirian di tempat tidak dikenal ini. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu sebelum aku sampai, hm?”“Aku tahu hal itu tidak akan terjadi, karena itu aku tidak masalah sendiria
Noir menoleh. “Oh, mereka akan menginap di sini untuk malam ini,” tuturnya. Alex yang ikut menoleh, terkejut dengan keberadaan Pangeran Gavin dan Leo di desanya. Spontan dia berdiri di depan Palte dan Noir dengan dua pedang kecil di tangannya. “Kenapa anggota kerajaan ada di sini?” Mata itu memicing, menatap tidak suka ke arah Pangeran Gavin. “Anggota kerajaan?!” Noir memekik tidak percaya. Lambang Kerajaan Wisteria tersemat di sarung pedang milik Pangeran Gavin. Kerajaan di mana tugas mereka dijalankan. Palte yang baru menyadarinya ikut menarik pedangnya berdiri bersampingan dengan Alex. “Kami ke sini hanya untuk me---” Brak! Leo yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba tersungkur lemas. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Kerajaan Wisteria dalam waktu yang lama. Jantungnya melemah. Pangeran Gavin berjongkok dan memeriksa kondisi Leo. Suhu badannya meninggi, keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. “Oi! Leo, bertahanlah!” Tanpa banyak berpikir, dia bergegas membawa Leo ke dalam gud
Di ruangan perawatan. Norman keluar dari ruangan dan dihampiri oleh beberapa pelayan. Sarung tangan yang dipakainya segera dilepas kemudian meletakkannya di nampan yang disodorkan oleh pelayan padanya.“Apa Yang Mulia baik-baik saja?” tanya pelayan tersebut.Dandi berdehem. “Beliau sudah melewati masa kritis. Sisanya tinggal menunggu beliau sadar. Omong-omong, kalian melihat rekanku?”“Ada bersama Tuan Dandi di kamar Yang Mulia Geld.”“Terima kasih.” Dandi pun melangkah menuju ke tempat Gabriel. Hingga kasus ini diketahui siapa pelakunya dan memastikan Yang Mulia Geld sudah sadar, mereka berdua tidak bisa pulang begitu saja.Gabriel berjongkok tepat di depan bercak darah Yang Mulia Geld yang berceceran di lantai kamar pribadinya. Masih belum ada bukti lain kecuali darah di lantai. Gabriel bahkan dibuat pusing karena bukti yang sangat sedikit.“Bagaimana?” Norman melangkah masuk, ber