Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?”
Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.”
Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.”
Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?”
“Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya.
Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah.
“Maaf, Yang Mulia. Boleh saya bertanya sesuatu?” Astra bertanya pelan, takut raja tidak suka ataupun tersinggung.
Yang Mulia William mengalihkan pandangan menatap Astra, “apa? Tanyakan saja.”
“Siapa Putri Olivia? Kenapa pangeran begitu marah?” tanya Astra, menanyakan hal yang mengganjal dipikirannya.
Yang Mulia William kembali menurunkan pandangannya menatap buku di depannya, “kau belum tahu? Jadi Gavin tidak memberitahumu, ya.”
Astra menggeleng, “Pangeran tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupan pribadinya.”
“Begitu, ya. Kau sudah bekerja di sini berapa lama, Astra?” Yang Mulia William mendongak menatap Astra.
Astra diam sejenak, berpikir lantas menjawab, “sekitar 10 tahun.”
“Hm, begitu. Ini juga bukan rahasia, jadi akan kuberitahukan padamu. Dulu saat Gavin berumur 13 tahun, apa kau bisa menebak bagaimana sikapnya waktu itu?”
Astra menggelengkan kepala.
“Gavin diumur 13 tahun atau bahkan sejak umur 10 tahun, banyak orang yang takut terhadapnya. Dia tidak memiliki teman. Ketika semua menjauhinya, hanya satu orang yang sama sekali tidak takut padanya. Dia adalah Putri Olivia. Gavin bertemu dengannya ketika aku mengajaknya berkunjung ke Kerajaan Mandelein. Kala itu, Putri Olivia berumur 10 tahun ketika kami datang, dia sangat bersuka cita menyambut kami. Aku bahkan selalu begitu disenangi ketika ke sana. Bahkan Putri Olivia tidak takut pada Gavin yang selalu menatap siapapun dengan tatapan tajamnya. Putri Olivia selalu mengajak Gavin berbicara, terkadang mengajaknya bermain bersama. Sejak saat itu, Gavin mulai membuka dirinya pada Putri Olivia. Bahkan Gavin sering mengendari kudanya sendirian ke Kerajaan Mandelein hanya untuk bertemu Putri Olivia yang notabenenya tidak pernah keluar dari istananya sendiri. Dia mulai menganggap Kerajaan Mandelein sebagai rumah keduanya. Sudah jelas itu karena Putri Olivia, kan? Karena Putri Olivia-lah Gavin bisa seperti saat ini. Gavin menjadi pendengar dan pembicara yang baik, namun di sisi lain dia sangat menakutkan jika sedang marah,” Yang Mulia William tertawa pelan mengingat betapa lucunya Gavin yang marah-marah karena dilarang ke Kerajaan Mandelein dalam kondisi hujan deras.
“Jadi karena itu, Pangeran Gavin sangat acuh dengan putri kerajaan manapun?” Astra mulai memahami bagaimana perasaan Pangeran Gavin pada Putri Olivia.
“Begitulah. Kalian tadi dari Kerajaan Norn, kan? Pasti Gavin kesal pada Putri Sophia. Dari raut wajahnya sudah terlihat,” Yang Mulia William menebak apa yang terjadi di Kerajaan Norn.
Astra mengangguk membenarkan, “Pangeran sangat tidak menyukai Putri Sophia. Bahkan menjaga jarak dengannya.”
Yang Mulia William tertawa pelan, “sudah jelas, kan? Kalau Gavin lebih memilih Putri Olivia.”
Pukul enam sore, seorang pelayan masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan berisikan makanan dan minuman untuk Putri Olivia. Sedangkan di dalam kamar, Pangeran Gavin masih senantiasa menemani Putri Olivia, sesekali mengajaknya berbicara.
“Waktunya makan. Makan yang banyak, ya,” Pangeran Gavin membantu Putri Olivia duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
Pelayan menyerahkan semangkuk bubur pada Putri Olivia.
Dengan perlahan, Putri Olivia menerimanya kemudian memakannya perlahan. Ini makanan pertama yang dimakannya sejak semalam. Walaupun saat ini dia tidak merasa lapar.
“Permisi, Pangeran,” Astra berdiri di samping Pangeran Gavin.
Pangeran Gavin menoleh ke arahnya kemudian mengisyaratkan untuk berbicara di luar kamar. Astra pun mengangguk kemudian keluar kamar.
“Aku keluar sebentar ya,” Pangeran Gavin mengusap pelan puncak rambut Putri Olivia kemudian beranjak dari tempat tidurnya menuju ke luar kamar.
Astra sudah menunggu di luar, tidak jauh dari pintu kamar.
Pangeran Gavin menutup pintu kamar dengan pandangan terfokus pada Astra, “apa yang ingin kau bicarakan?”
“Aku akan menyelesaikan semua berkas yang belum terselesaikan. Kau fokus saja menemani Putri Olivia. Ohya, Raja meminjam buku catatanmu,” jelas Astra.
Pangeran Gavin mengangguk mengerti, “Ayah akan berangkat besok?”
“Ya. Beliau akan pergi ke Kerajaan Western,” jawab Astra.
Pangeran Gavin berdehem. Dia teringat kalau dia masih belum mengetahui dalang dibalik kejadian malam tadi di Kerajaan Mandelein. “omong-omong, kau tahu siapa yang merebut Kerajaan Mandelein?” tanyanya.
“Ya. Pelakunya adalah Kerajaan Thron,” Astra menjawab singkat.
Hal yang tidak terduga kembali didengarnya. Kerajaan Thron yang dipimpin oleh Pangeran Louis adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Pangeran Gavin. Karena Pangeran Louis pernah memaksa Putri Olivia untuk ikut dengannya berunjung ke kerajaannya.
Tar!!!
Suara sesuatu yang pecah membuat Pangeran Gavin seketika menoleh dan bergegas masuk ke dalam kamar. Hal yang tidak disangkanya, Putri Olivia terjatuh dari tempat tidurnya dengan pelayan yang berusaha menikamnya dengan sebuah belati.
Pangeran Gavin pun bergerak cepat dengan menarik Putri Olivia ke dalam dekapannya. Dia menggunakan punggungnya untuk melindungi Putri Olivia. Astra yang melihat hal itu bergegas melindungi keduanya dan menahan belati itu dengan telapak tangannya.
Pelayan yang tersadar sasarannya salah berniat kabur, namun Astra dengan sigap menendang kaki pelayan tersebut membuatnya tersungkur ke lantai. Hanya dengan satu tangan, Astra mengunci tangan pelayan tersebut ke punggungnya.
Melihat pelaku penikaman sudah diamankan, Pangeran Gavin melepas pelukannya, menatap Putri Olivia yang bergetar ketakutan, “kau baik-baik saja? Ada yang terluka?”
Putri Olivia menggeleng pelan. Dia tidak sanggup berbicara, bibirnya seakan membeku.
“Lepaskan saya. Tolong, lepaskan saya,” pelayan berusaha memberontak melepaskan diri.
Namun Astra dengan cepat memukul kepala belakangnya dan membuatnya seketika tidak sadarkan diri. Dengan sigap, Astra menarik paksa belati yang menancam di tangannya lantas mengikatkan kain ke telapak tangannya untuk menghentikan pendarahan.
“Bawa pelayan itu ke ruang bawah tanah. Sekalian kumpulkan semua pelayan di kerajaan ini,” ucap Pangeran Gavin penuh penekanan dan intimidasi.
“Dimengerti,” Astra segera menggotong tubuh pelayan kemudian membawanya keluar kamar.
Putri Olivia masih diam. Dia mulai merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Sesuatu ingin keluar dari tenggorokannya membuat Putri Olivia membungkam mulutnya namun jutru sesuatu itu keluar melalui hidungnya.
Melihat Putri Olivia mimisan, Pangeran Gavin dilanda kepanikan. Dia segera bangkit mengambil kain dari lemari kemudian membantu Putri Olivia menyeka darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Kini bahkan dia muntah darah.
“Azura! Panggil dokter!” pekik Pangeran Gavin, memerintahkan salah satu anak buahnya untuk memanggil dokter.
Seorang laki-laki remaja berpakaian kasual lengkap dengan jaket favoritnya muncul di dalam kamar bersama dengan seorang dokter kerajaan. Dokter tersebut bergegas mendekat dan memeriksa keadaan Putri Olivia yang masih muntah darah.
“Putri keracunan makanan. Sepertinya racun yang sangat kuat. Saya akan menyuntikkan obat agar racunnya tidak dengan cepat menyebar,” dokter membuka koper yang dibawanya, mengambil jarum suntik dan segera menyiapkan obat.
Pangeran Gavin menatap ke arah dokter di sampingnya. Dia tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Dengan gerakan cepat, Pangeran Gavin mencekik leher dokter di sampingnya, menatapnya dengan tatapan membunuh, “kau tidak mencoba untuk membunuhnya, kan?”
Dokter tersebut spontan menjatuhkan jarum suntik lantas menggunakan tangannya untuk menahan cekikan tangan pangeran di lehernya. Dengan susah payah dia berucap, “ti – dak, Pangeran. Sungguh ... saya tidak berniat melakukannya.”
Mendengar jawaban darinya, Pangeran Gavin melepas cengkramannya, “cepat obati dia.”
Sekalipun masih terbatuk-batuk, dokter tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Pangeran Gavin. Dia mengambil kembali jarum suntik kemudian menyuntikkan obat di dalamnya ke lengan kanan Putri Olivia.
Perlahan namun pasti darah yang keluar dari hidung dan mulut Putri Olivia mulai berkurang. Putri Olivia pun jatuh tidak sadarkan diri.
Melihat obat yang diberikannya bekerja, dokter pun mengemasi jarum suntiknya, “saya akan segera membuatkan obat untuk Tuan Putri. Malam nanti akan saya berikan kepada Anda. Dengan obat yang saya berikan, Tuan Putri akan mengalami demam dan kemungkinan malam ini yang paling tinggi.”
Pangeran Gavin menyimak sembari membersihkan darah dari hidung dan mulut Putri Olivia. Dia menatap nanar putri malang yang saat ini nyawanya sedang terancam. Apa yang dilakukan oleh pelayan tadi, menjadi petunjuk bagi Pangeran Gavin bahwa akan ada seseorang yang akan datang ke kerajaannya untuk mengambil kembali Putri Olivia.
“Aku akan mengantar dokter,” ucap Azura.
Pangeran Gavin berdehem, “setelah itu kembalilah ke sini.”
“Oke, siap,” Azura menghilang bersamaan dengan dokter.
Dengan hati-hati, Pangeran Gavin mengangkat tubuh Putri Olivia, membawanya ke tempat tidur, membaringkannya perlahan di atas kasur. Dia pun menarik selimut hingga leher Putri Olivia kemudian duduk di tepi tempat tidur.
“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian sekalipun ada pelayan. Maaf, Oliv,” Pangeran Gavin berujar pelan, sangat pelan. Dia tidak ingin Putri Olivia terbangun. Dia tidak habis pikir, pelayan yang biasanya bekerja di kerajaan ini melakukan hal keji seperti itu. Bahkan pelayan itu berniat membunuh Putri Olivia. Di samping lain, dia juga memberikan racun pada makanan yang dimakan oleh Putri Olivia.
“Aku kembali~” suara riang khas Azura memecah keheningan. Untuk pertama kalinya, dia melihat Pangeran Gavin dengan raut sedih bercampur marah. Satu hal yang membuatnya yakin adalah Putri Olivia merupakan orang yang berharga untuk Pangeran Gavin. Sebelumnya, pangeran tidak pernah seposesif ini pada seorang gadis.
Pangeran Gavin beranjak dari duduknya kemudian melangkah mendekati Azura, menatapnya dengan tatapan intimidasi, “lindungi dia dengan nyawamu. Jangan biarkan seseorang menyentuhnya. Juga, jangan membuatnya terbangun. Kau mengerti?”
Azura tersenyum lebar, “oke. Serahkan saja padaku.”
.
.
Pangeran Gavin pun melangkah keluar kamar meninggalkan Azura. Langkah lebarnya menuju ke ruang bawah tanah di mana Astra dan semua pelayan berkumpul. Di ruang bawah tanah, Astra memborgol pelayan yang berniat menikam Putri Olivia di hadapan semua pelayan. “Jangan ada yang pergi dari tempat ini,” ujar Astra penuh penekanan. Beberapa pelayan berbisik, saling bertanya kenapa mereka semua dikumpulkan. Pelayan yang diborgol mulai tersadar dan kembali memberontak. “Lepaskan saya! Tolong, siapapun!” pekiknya. Plak! Sebuah tamparan keras dengan cepat mendarat di pipi pelayan tersebut membuatnya seketika membeku. Astra baru saja melayangkan tamparannya pada pelayan di sampingnya. Tangannya yang sudah gatal ingin memukul wanita di sampingnya karena berniat menikam orang yang paling berharga untuk pangeran, “berisik! Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Hah?!” Suara bariton Astra membuat mereka yang berada di sana bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya mereka melihat Astra yang biasa
Di tempat lain, di dalam kamar Putri Olivia. Azura bersenandung pelan sembari bersandar di dinding menghadap Putri Olivia yang sedang terlelap. Detik berikutnya dia tersenyum lebar, “sepertinya malam ini akan menjadi malam dimana aku akan bersenang-senang.”Azura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat lantas berdiri di depan pintu. Orang yang ditunggunya dari tadi sudah datang, membuat senyumnya semakin lebar.“Sebaiknya kalian keluar saja. Percuma juga sembunyi,” ujar Azura.Sepuluh ... tidak, 20 orang menampakkan dirinya di seberang Azura. Mereka semua memakai pakaian serba hitam dengan penutup mulut yang juga berwarna senada. Dua diantara mereka memiliki badan kekar dan tinggi. Dari postur tubuhnya, bisa dilihat kalau mereka merupakan prajurit atau mungkin pengawal.“Menyingkirlah, jika tidak ingin kepalamu terpenggal,” ucap salah satu dari mereka.Mendengar ucapannya justru
“Apa yang kau lakukan di sini?” laki-laki yang membawa buku itu mengeluarkan suara, bertanya pada orang tidak dikenal di depannya. Sontak orang itu langsung menoleh. Dengan penuh keterkejutan, dia memutar kepalanya menatap laki-laki di belakangnya. Merasa dirinya yang tertangkap, dia beranjak kemudian melangkah cepat menjauh. Nahas, laki-laki itu lebih dulu menendang kakinya membuatnya tersungkur ke tanah. Dengan sigap, laki-laki itu mengunci tangan orang di bawahnya ke belakang tubuhnya kemudian memaksanya untuk berdiri. “Lepaskan aku. Lepas,” orang itu memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Namun laki-laki itu tidak mengendorkan tangannya sedikitpun. Dia menarik orang itu masuk ke area kerajaan. Astra yang baru keluar dari ruang perawatan, mengetahui kedatangan mereka lantas berjalan mendekatinya, “ada apa ini, Leo? Siapa yang kau bawa?” Laki-laki bernama Leo, menatap sekilas ke arah orang yang diseretnya, “aku juga tidak tahu. Sepertinya dia mata-mata.” “Hm? Mata-mata? D
Dengan langkah senyap, Astra keluar dari kamar Putri Olivia meninggalkan Pangeran Gavin. Dia berjalan santai menyusuri koridor, memasuki sebuah lorong yang gelap kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan.“Tidak biasanya kau datang terlambat, Astra,” seseorang yang duduk santai di kursi di paling ujung meja, menatap Astra yang berjalan ke tempat duduknya.Astra menarik kursi kemudian duduk. “Jangan samakan tugasku denganmu, Gabriel.”Laki-laki yang dipanggil Gabriel itu, tertawa kemudian menopang dagunya menatap Astra yang berseberangan dengannya, “aku dengar ada keributan tadi. Ditambah lagi, Azura menikmati semuanya sendirian.”Azura sudah duduk di kursinya dengan pakaian yang lebih bersih dibanding sebelumnya. “Pangeran yang memintanya. Jangan salahkan aku.”Gabriel beralih menatap Azura yang duduk di sampingnya. “Tapi, kau menikmatinya, kan?”Azura tersenyum lebar, “tentu saj
Jam 2 malam. Di dalam kamar Putri Olivia. Pangeran Gavin tidak mengistirahatkan tubuhnya sama sekali. Setelah dokter datang mengantarkan obat untuk Putri Olivia, dia senantiasa berjaga. Setiap satu jam sekali, dia akan mengganti kain kompres di dahi Putri Olivia. Dia selalu menjaga tubuh Putri Olivia untuk tetap hangat, sekalipun suhu tubuh Putri Olivia masih tinggi. Pangeran Gavin kembali duduk setelah mengganti kain kompres. Dia tidak kenal lelah untuk menjaga Putri Olivia. Pangeran Gavin menopang dagu, menatap lekat Putri Olivia. Tanpa sadar, matanya perlahan tertutup namun detik berikutnya dia tersadar dan kembali membuka matanya. Posisi duduk membuatnya sangat ngantuk. Pangeran Gavin berdiri sembari merenggangkan tubuhnya. Dia berjalan-jalan mengelilingi kamar, mencegahnya agar tidak tidur. Bahkan dia menyempatkan diri untuk melakukan push-up. Hingga pukul 4 pagi, Pangeran Gavin tertidur dengan posisi duduk. “Gavin... Pangeran Gavin.” Mendengar namanya disebut, Pangeran Gavin
Tok! Tok! Tok!Astra menoleh ke arah pintu, “masuk.”Pintu terbuka dengan Cora yang melangkah masuk, “permisi.”Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan Pangeran Gavin menghentikan tangannya. Tidak ada yang memberitahunya kalau Cora akan datang ke kamar Putri Olivia.“Ada apa, Cora?” Pangeran Gavin menegakkan tubuhnya, tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku yang memintanya ke sini,” Astra menjawab lantas mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada Cora.“Tolong siapkan gaun dan juga keperluan lainnya untuk Putri Olivia. Kau bisa membawa mereka berdua untuk membantumu,” sambung Astra sembari menunjuk Lucy dan Maya.Cora tersenyum sembari menerima uang tersebut, “oke. Serahkan saja padaku. Ayo berangkat, Lucy, Maya.”“Baik,” Lucy dan Maya menjawab serempak.Cora keluar dari kamar diikuti oleh Lucy dan Maya. Pintu pun kembali
Tidak jauh darinya melangkah, Azura berdiri bersandar di tiang sembari melipat tangannya. Senyumnya selalu secerah matahari, namun dia bagaikan bunga indah yang berduri.“Ada apa, Azura?” Pangeran Gavin menghentikan langkahnya, ketika beberapa langkah dari Azura.“Kau ingin ke kamar Nona, kan? Aku ikut,” ucap Azura penuh semangat.Pangeran Gavin menatap Azura cukup lama, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui, “boleh. Jangan lakukan hal aneh.”“Oke~” Azura bersorak senang kemudian berjalan mengikuti Pangeran Gavin.Di dalam kamar, Putri Olivia duduk santai menyesap teh di dalam cangkir yang dipegangnya. Lucy dan Maya masih senantiasa menemaninya. Sesekali mereka bercerita mengenai beberapa hal menarik yang terjadi di kerajaan. Baik Lucy maupun Maya tidak berani menyinggung ataupun bertanya mengenai kehidupan Putri Olivia ketika di kerajaannya. Mereka tidak ingin Putri Olivia kembali bersedih.
Astra menoleh dan mendapati Putri Olivia berjalan mendekat ditemani Maya dan Lucy. Astra memperbaiki posisi berdirinya kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya, “sore, Putri. Ada yang bisa saya bantu?”“Apa kau melihat Gavin?” Putri Olivia berdiri tidak jauh dari Astra.Astra kembali menegakkan tubuhnya, “Pangeran sedang ada di ruangannya. Apa anda ada perlu dengannya?”“Aku hanya ingin berbicara dengannya. Boleh aku masuk?” tanya Putri Olivia, meminta ijin.Astra terdiam. Putri Olivia jauh lebih ramah dibanding apa yang dibayangkannya. Suaranya begitu lembut seakan dengan suara itu tidak bisa melukai siapapun yang mendengarnya. Hal itu merubah pemikirannya mengenainya.Astra mengangguk, “silakan, Putri.” Astra melangkah mendekat ke pintu kemudian membukanya untuk Putri Olivia.Putri Olivia tersenyum, “terima kasih.”“Kami akan tunggu di sini, Nona,” uc
Hari silih berganti. Puteri Olivia dan Pangeran Gavin masih senantiasa menginap di Kerajaan Gambera. Hal yang berbeda hanyalah Norman yang sudah kembali ke Kerajaan Wisteria, membawa laporan terkait ucapan terima kasih dari Yang Mulia Geld yang ditujukan kepada Yang Mulia William. Panglima Murr pun sudah kembali, menyisakan Panglima Sam dengan beberapa pasukannya untuk mengamankan Kerajaan Mandelein. Berita kebenaran kejadian di dalam istana, sudah terdengar sampai ke telinga rakyat Kerajaan Mandelein. Di hari pertama, bahkan mereka berbondong-bondong mengunjungi istana untuk menanyakan kebenaran terkait berita tersebut. Beberapa dari mereka mengasihani keadaan Puteri Olivia, sedangkan yang lainnya menginginkan Pangeran Louis dihukum mati. Berakhirnya peperangan juga menjadikan akhir bagi Kelompok Mawar Hitam. Palte selaku pemimpin kelompok tersebut, diam-diam menemui Panglima Sam di Kerajaan Mandelein. Mencoba mengutarakan maksudnya. “Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang padaku?” tany
Crash!“Maaf terlambat. Kau baik-baik saja?” Gabriel muncul di samping Palte, memaksanya untuk kembali membuka mata.Siapa? Aku belum pernah bertemu dengannya.Gabriel berjongkok dan membantu Palte untuk berdiri. “Kita harus mengobati lukamu.” Sekalipun dia mendengar apa yang dipikirkan oleh Palte, namun Gabriel memilih untuk lebih dulu mengobati lukanya.Di seberang mereka, Azura pun sudah berhasil menyelamatkan Alex dan rekan-rekannya dengan memenggal kepala prajurit yang berada di sekitar mereka. Beruntung tidak ada luka parah pada mereka, jadi mereka bisa segera meninggalkan arena pertempuran.“Palte! Kau terluka! Astaga!” Noir panik ketika melihat Gabriel yang menyandarkan Palte di samping gudang.Gabriel melangkah mundur, membiarkan Noir mengobati Palte. Pandangannya pun beralih menatap Azura yang baru datang bersama Alex dan rekan-rekannya.“Tetaplah di sini. O
Teriakan memilukan, tanpa bisa melakukan apapun. Tangan kanan Dean terpotong hingga bahu. Masih dalam keadaan terikat, tangan itu terpisah dari tubuh pemiliknya. Dean meraung-raung melampiaskan rasa sakit yang dirasakan di tubuh bagian kanannya. Darah pun keluar tiada henti. Rasa sakit yang membuat siapapun ingin menangis.“Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Tapi kau malah tidak mau percaya padaku. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan? Apa yang kulakukan padamu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kalian lakukan pada orang tua Puteri Olivia. Kau sendiri sadar akan hal itu, kan?” Azura menyimpan belatinya seraya menjaga jarak dari Dean. Dia membiarkan Dean berteriak-teriak kesakitan. Sudah cukup baginya untuk saat ini menyiksa laki-laki di depannya, hanya sekedar untuk membuktikan dengan siapa dia berhadapan.Tak lama kemudian, Dean tidak sadarkan diri. Azura pun mengambil kain panjang yang selalu dibawanya untuk berjaga jika terluka. Kali ini dia akan menggunaka
“Astaga Gavin!” Yang Mulia William bergegas mendekat, membantu Astra meletakkan Pangeran Gavin di dalam kereta kuda.Astra bergegas mengambil kotak obat di kereta yang lainnya dan segera mengobati luka di punggung Pangeran Gavin. Sedangkan Gabriel meletakkan Puteri Olivia di kereta kuda yang lainnya. Dia masih belum sadar. Hampir saja, telat satu detik saja, Puteri Olivia mungkin akan mati tergantung. Gabriel melepaskan tali yang mengikat leher Puteri Olivia kemudian membuangnya asal.“Apa Puteri baik-baik saja?” Maya berdiri di samping kereta kuda, menatap cemas keadaan Puteri Olivia.Gabriel berdiri berseberangan dengan Maya, menatapnya kemudian beralih menatap Puteri Olivia. “Dia hanya tidak sadarkan diri. Temani di sini. Aku harus mengurus Azura.”Maya mengangguk mantap. “Dimengerti.”Gabriel melangkah cepat mendekat ke Azura yang dibaringkan di atas rumput di bawah pohon. Di sampingnya sudah ada
Dua ribu pasukan keluar dari hutan, membaur dan menebas pasukan dari Kerajaan Mandelein. Beberapa dari mereka bergerak cepat mengobati prajurit pimpinan Panglima Murr yang terluka, membawa mereka jauh dari peperangan.Ribuan pasukan yang datang membuat emosi Pangeran Louis seketika memuncak. Wajahnya merah padam. Tidak ada yang mengatakan padanya kalau akan ada pasukan bantuan. Sekalipun pasukannya terbilang banyak, namun yang dilihatnya saat ini adalah pasukannya yang semakin berkurang.“CEPAT HABISI MEREKA! KENAPA KALIAN MALAH KALAH? CEPAT MAJU!!!!”Prajurit yang merasa terpanggil bergegas melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mulai bergerak mengepung Pangeran Gavin dan yang lainnya. Hampir seperempat pasukan mengepung mereka, dengan senjata di tangan mereka.Astra yang semakin terpancing emosi sontak berdiri di depan teman-temannya. Jika dia memiliki kemampuan kutukan, mungkin dia akan mengutuk mereka yang berada di sekitarnya dengan kut
Pangeran Gavin yang berada di tengah-tengah peperangan, menyadari keberadaan Putri Olivia di atas benteng. Perhatiannya pun teralihkan. Pedang yang semula bergerak menebas sana-sini, kini berhenti bahkan perlahan turun. Sebentar lagi, seharusnya dia bisa menyusup dan menyelamatkan Putri Olivia, namun apa yang terjadi saat ini membuatnya terdiam.Oliv...“Gavin! Jangan melamun!” Astra yang semula berjarak darinya segera mendekat seraya menghunuskan pedangnya pada prajurit yang menghalangi jalannya. Pangeran Gavin yang sama sekali tidak bergeming di sampingnya dengan pandangan ke arah benteng, membuat Astra melihat ke arah yang sama.Terkejut, tergambar jelas di wajah Astra, apalagi Pangeran Gavin. Jarak mereka dengan benteng masih sangatlah jauh. Ditambah lagi dengan ribuan pasukan yang mengepung mereka, membuatnya sulit untuk menjangkau dalam waktu cepat ke tempat Putri Olivia.“KAU DI SANA, GAVIN? KAU INGIN MENYELAMATKAN OLIVIA
“Omong-omong, Gavin. Aku membawa pesan dari Yang Mulia William.” Astra berbalik menatap Pangeran Gavin yang tengah memijat pelipisnya.“Ap---”Bugh!Sebuah bogeman mentah mendarat di perut Pangeran Gavin dari Astra membuatnya meringis kesakitan. Siapa sangka Astra akan memukul perutnya dan itu terbilang cukup kuat.“Itu pesan dari ayahmu, Gavin. Dia menitipkan pukulannya padaku,” ucap Astra tanpa rasa bersalah sama sekali.“Uhuk! Uhuk! Sakit sekali. Kenapa ayah menitipkan hal yang tidak berguna padamu?” Pangeran Gavin mengambil duduk di atas jerami seraya menyandarkan punggungnya di tiang gudang.Astra pun ikut duduk bersila di samping Pangeran Gavin. “Karena kau dengan bodohnya sendirian di tempat tidak dikenal ini. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu sebelum aku sampai, hm?”“Aku tahu hal itu tidak akan terjadi, karena itu aku tidak masalah sendiria
Noir menoleh. “Oh, mereka akan menginap di sini untuk malam ini,” tuturnya. Alex yang ikut menoleh, terkejut dengan keberadaan Pangeran Gavin dan Leo di desanya. Spontan dia berdiri di depan Palte dan Noir dengan dua pedang kecil di tangannya. “Kenapa anggota kerajaan ada di sini?” Mata itu memicing, menatap tidak suka ke arah Pangeran Gavin. “Anggota kerajaan?!” Noir memekik tidak percaya. Lambang Kerajaan Wisteria tersemat di sarung pedang milik Pangeran Gavin. Kerajaan di mana tugas mereka dijalankan. Palte yang baru menyadarinya ikut menarik pedangnya berdiri bersampingan dengan Alex. “Kami ke sini hanya untuk me---” Brak! Leo yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba tersungkur lemas. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Kerajaan Wisteria dalam waktu yang lama. Jantungnya melemah. Pangeran Gavin berjongkok dan memeriksa kondisi Leo. Suhu badannya meninggi, keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. “Oi! Leo, bertahanlah!” Tanpa banyak berpikir, dia bergegas membawa Leo ke dalam gud
Di ruangan perawatan. Norman keluar dari ruangan dan dihampiri oleh beberapa pelayan. Sarung tangan yang dipakainya segera dilepas kemudian meletakkannya di nampan yang disodorkan oleh pelayan padanya.“Apa Yang Mulia baik-baik saja?” tanya pelayan tersebut.Dandi berdehem. “Beliau sudah melewati masa kritis. Sisanya tinggal menunggu beliau sadar. Omong-omong, kalian melihat rekanku?”“Ada bersama Tuan Dandi di kamar Yang Mulia Geld.”“Terima kasih.” Dandi pun melangkah menuju ke tempat Gabriel. Hingga kasus ini diketahui siapa pelakunya dan memastikan Yang Mulia Geld sudah sadar, mereka berdua tidak bisa pulang begitu saja.Gabriel berjongkok tepat di depan bercak darah Yang Mulia Geld yang berceceran di lantai kamar pribadinya. Masih belum ada bukti lain kecuali darah di lantai. Gabriel bahkan dibuat pusing karena bukti yang sangat sedikit.“Bagaimana?” Norman melangkah masuk, ber