Karena Dyta tak kunjung melanjutkan kalimatnya, Cecep menjadi sedikit tidak sabar. Dia mencoba memancing pembicaraan, “Jadi, apa kamu akan terima lamaranku?”
Walau dia sendiri sebenarnya sama sekali tidak yakin. Namun kali ini dia berhasil membuat Dyta menanggapi segera. Sedangkan Aldo memilih memejamkan matanya saat itu, dia benar-benar takut mendengar jawaban Dyta, bahkan sampai menutup kupingnya.
“Maafkan aku, Cep … aku nggak bisa.”
Tepat seperti tebakan Cecep, pria itu terlihat kecewa tapi tetap berusaha tersenyum.
“Nggak apa-apa, Dyt. Mungkin belum sekarang, aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Kamu boleh kasih aku jawaban lagi kalau kamu berubah pikiran,” lirih Cecep.
Sedangkan di luar sana, Dave yang kegirangan.
“Saya bilang juga apa, nona tidak mungkin menerima pria itu!”
“Hah, apa maksudmu, Dave? Jadi Dyta menolak lamaran itu?”
Dave melengkungkan al
“Nggak, Cep. Aku sudah putuskan buat membesarkan anak ini sendirian. Aku tidak akan menikah jika bukan dengan ayahnya,” lirih Dyta mengusap-usap perutnya, buliran bening menetes membasahi pipi.Kali ini Aldo sudah tak tahan lagi, dia bergegas keluar dari tempat persembunyian, dia akan sungguh-sungguh menampakkan diri di hadapan pasangan itu. Dave juga tak lagi menahannya, membiarkan dia melakukan apa yang hendak dia lakukan.“Siapa bilang kau boleh membesarkan anak itu sendirian? Aku tidak akan membiarkanmu melakukan semua itu!” lontar Aldo lantang membuat Dyta terpelanggat.“Kau! Jadi yang tadi itu kau rupanya?!” Cecep tampak murka, wajahnya memerah padam sampai-sampai beranjak dari posisi duduknya.Aldo tak memedulikan pria itu, dia segera meloncat masuk kedalam sana melalui jendela. Kemudian mendekati Dyta yang masih terbengong.“Mau apa kau kesini? Kau lihat, kau membuat Dyta menangis! Cepat pergi dari
“Jangan dengarkan dia, Dyt. Kita kan udah saling kenal sejak lama, bahkan sebelum ada dia, kamu sama aku udah sahabatan duluan, kamu pasti lebih percaya sama aku, kan?”Bagi Dyta kalimat Cecep ini justru terdengar aneh, tapi dia tidak ingin menanggapinya, hanya tersenyum canggung saja.Padahal diam-diam otaknya bekerja keras merenungkan apa yang dikatakan Aldo. Jika memang itu foto lama, lalu bisa muncul lagi sekarang ini, apa sungguh ada hubugannya dengan Cecep?Namun yang paling menarik perhatian adalah Cecep memang penuh dengan misteri, bukannya dia pria miskin, tapi bagaimana bisa menyewa restoran semewah ini hanya untuk mereka berdua saja. Dyta semakin curiga saja. Mungkin dia perlu menyelidikinya.Apapun itu, Dyta tetap berlalu dari hadapan Aldo dan Dave yang kemudian ikut meloncat masuk ke dalam restoran. Dia belum akan memaafkan Aldo untuk saat ini, lebih memilih pergi bersama Cecep. Sebelum berlalu dia bahkan sempat menyangkal bahwa a
Tidak tahu kenapa, Aldo merasa sangat tidak nyaman usai kepergian Cecep dan Dyta. Ia tiba-tiba mencemaskan keselamatan Dyta, hingga dia pun mengajak Dave membuntuti mereka. Jika saja dia mengetahui apa yang sedang terjadi dengan mereka saat ini.Dyta masih memberontak di dalam mobil Cecep, “Apa-apaan ini, Cep? Kita bisa celaka! Pelankan mobilmu!”“Tidak masalah, mati bersamamu jauh lebih baik ketimbang melihatmu bersama orang lain.”“What? Kau sudah gila, Cep!”“Iya, aku memang sudah gila! Gila karena kau!”“Kau pasti tidak tau kan betapa menderitanya aku selama ini? Harus melihatmu bersama bajingan itu! Segala cara aku lakukan buat memisahkan kalian, tapi kalian tetap lengket bagaikan perangko dengan amplop.”Kalimat tersebut begitu menarik perhatian Dyta, lalu bergegas menyelidiki apa yang dimaksudkan Cecep. Pria itu kembali terbahak, kali ini sangat keras menggema memenuhi seisi
Jadilah malam itu Dave dan Aldo mengelilingi kota Jakarta untuk mencari keberadaan Cecep dan Dyta, tapi sayang cukup sulit menemukan mereka. Hingga menjelang subuh, tetap tak kunjung ketemu. Keduanya mulai kelelahan.“Tuan, lebih baik kita pulang saja, besok baru cari lagi.”“Ngomong apa kau ini, Dave? Kalau Dyta sampai kenapa-kenapa gimana? Kita harus tetap meneruskan pencarian!”“Tapi, Tuan … ini sudah subuh, lebih baik pulang beristirahat,” anjur Dave tak mengenal kata menyerah dalam membujuk Aldo.Apalagi melihat Aldo bersin-bersin begitu, majikannya ini memiliki alergi dingin, sering kumat jika harus berhadapan dengan cuaca ekstrem di waktu subuh. Dave semakin tidak tega.Namun bukan Aldo Aldo namanya jika tidak memberontak. Dave harus menggunakan trik buat menaklukannya.“Kita sudah berkeliling berjam-jam tetap tidak ketemu, kalau memaksakan diri jelas hanya sia-sia. Setelah terang pasti
“Buruan, Dave! Jangan sampai terlambat!” cecar Aldo. “Kita tidak boleh membiarkan pernikahan itu terjadi!”Di sisi lain Aldo justru memikirkan hal lainnya, sejujurnya begitu keheranan, bagaimana bisa Cecep dan Dyta menikah, padahal jelas-jelas Dyta menolak pria itu semalam.“Apa yang kamu lakukan, Dyt? Apa kau begitu membenciku?” batin Aldo lirih. Memikirkan ini juga membuatnya ragu hendak menggagalkan pernikahan tersebut.Sesaat lalu Dave menghubungi salah satu rekan mereka agar mendapatkan akses masuk ke dalam perumahan elit yang ditempati Cecep, kata orang itu waktu itu,“Wah, kok tidak bilang-bilang mau kemari? Padahal saya harus menghadiri acara pernikahann tetangga kami. Yah, dia juga undangnya mendadak sih.”“Mendadak?” Dave agak ambigu mendengar kata itu, dia pun mempertanyakan hal itu.“Apa orang yang mau menikah itu Cecep?”“Jadi Anda juga kenal sa
“Sekarang gimana?” Aldo meminta pendapat dari Dave.“Kita harus menyelinap, Tuan.”“Iya, tapi gimana caranya?”Mereka mengintip ke dalam gerbang rumah Cecep, pengawasan juga cukup ketat, ada beberapa pengawal berjaga-jaga di depan. Pandangan Aldo terus mengedar berusaha mencari akses masuk aman lainnya. Hingga beberapa menit kemudian, Dave bersuara,“Saya tau jalan mana yang aman!” seru sang asisten tiba-tiba.Aldo tampak menoleh bingung ke arahnya. Rasanya tidak ada cela, bagaimana bisa Dave justru seyakin berkata demikian, seakan dia memiliki cara terbaik dari yang terbaik.“Mari ikut saya, Tuan!” ajaknya kemudian.Bukannya mengarah kedalam rumah Cecep, Dave justru berbalik, jelas semakin membuat Aldo keheranan sekaligus penasaran. Namun Aldo tetap mengikuti Dave tapi mempertanyakan apapun. Hingga cukup menjauh dari rumah Cecep dia baru bertanya disertai aksi protes.
Kini mereka berdua telah berdiri di luar mobil, menatap sejenak bangunan tersebut sambil memikirkan cara menyusup kedalam rumah itu. Pagar di belakang tidak begitu tinggi, seharusnya bisa dengan mudah memasukinya. Dan ada sebuah kabar baik lainnya …."Dave, kita masuk dari jendela saja," saran Aldo yang pandangannya tiba-tiba menangkap sebuah jendela dalam keadaan terbuka.Dave ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Aldo, dia menyetujui. Apalagi jendela tersebut juga tidak ada pengaman lain, hanya dilapisi oleh sehelai tirai tipis saja."Ayo, Dave kita bergerak sekarang!" cecar Aldo kemudian.Mereka berdua lalu bergegas mendekati bangunan tersebut sambil mawas diri, mengedarkan pandangan masing-masing menelusuri segala menjuru. Merasa keadaan benar-benar aman, pertama-tama tentu bergegas melompat memasuki pagar, dan kemudian mendekati jendela."Hati-hati, Dave!" pesan Aldo saat asistennya ini mengintip ke dalam melalui cela jendela yang sedikit
Tap … tap ….Setiap tapak terdengar begitu menyeramkan bagi Aldo dan Dave. Bagaimana tidak, bahaya besar memang sedang mengintai. Seumpama berada satu ruangan dengan seekor binatang buas saja yang siap menerkam kapan saja.Suasana semakin mencekam saat Aldo tanpa sengaja menoleh ke arah kiri, dan dia menemukan kaki pembantu tersebut telah berdiri di samping meja makan.Berbeda dengan Dave yang lebih santai walau takut perembunyian mereka diketahui, Aldo justru begitu panik hingga reflek menahan napas seakan hembusan udara yang keluar dari hidungnya ini dapat didengar oleh sang pembantu.Selanjut suara perempuan pekerja masih mendominasi,“Nggak ada siapa-siapa … apa hanya perasaan aku aja ya?”“Atau jangan-jangan, hantu!” Dari nada bicaranya, perempuan ini sepertinya cukup takut dengan makhluk tak kasat mata. Sesaat memang terbukti. “Kok jadi merinding gini, ya. Ihh!” gumamnya le