Leroy menanyakannya. Tom terlihat tak ingin mendengar apapun saat ini. Ekspresi penuh kekalahan terlukis jelas di raut wajahnya.“Mmm ... gimana sama data statistik dari tingkat kepuasan para kontraktor dan mitra bisnis kalian selama setahun terakhir? Tingkat kepuasan pasar? Bagaimana dengan—”“Ya! Cukup! Kamu menang!” Tom menghela napas panjang. Raul akhirnya tak menahan tawanya lagi.Leroy baru saja ingin bernapas lega, tapi kali ini giliran Guarin yang memberikan tatapan tajam penuh arti untuknya.Lelaki itu menatap lurus ke arah kedua bola mata Leroy, “Kamu pasti sadar kan situasi geopolitik di Asia Pasifik saat ini? Mulai dari tarif ekspor sampai pembatasan kuota produk. Belum lagi kebijakan hilirisasi.”Tom dan Raul kembali saling beradu pandang. Apa yang dikatakan oleh Guarin adalah permasalahan yang memang sedang terjadi saat ini.Terlebih, situasi ini sangat mirip dengan yang dihadapi oleh Niken di masa lalu, bahkan lebih parah karena kebijakan baru tentang hilirisasi.Semua
Leroy melanjutkan, suaranya penuh semangat."Aku udah pelajari setiap aspek dari rencana ini selama 2 tahun terakhir dan udah studi lapangan ke negara-negara target ekspor kita yang baru. Aku bahkan udah diskusi sama beberapa investor potensial yang tertarik dengan visi kita."Leroy mengeluarkan sebuah kartu nama dari sakunya dan meletakkannya di meja. "Ini adalah kontak dari salah satu investor terbesar di negara Briella. Mereka siap membiayai 40% dari proyek hilirisasi kita, dengan syarat kita bisa menunjukkan komitmen untuk berkolaborasi."Setelah pembicaraan yang intens antara mereka berempat, Leroy pamit pulang. Tak lupa dia mengucapkan salamnya pada Derra.“Kamu harus sering-sering makan bersama kami di sini, Roy.” Derra menepuk lembut lengan Leroy.“Oke, Nyonya.” Diiringi senyuman, Leroy menjawab istri Guarin.Tak sampai lama, akhirnya Leroy tiba di Calico Apartment. Dia melepaskan blazer dan menghempaskan diri ke sofa. Dia merasa lelah namun puas dengan hasil pertemuan tadi.
Hari Minggu pagi yang cerah di kota Moco. Rindy melangkah ke luar dari rumahnya di Dellas Village. Dia tersenyum ringan. Rindy menoleh ke arah pintu utama yang sedikit terbuka. “Nanik, aku mau ke toko roti di ujung jalan,” pamitnya ke pelayan.Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Rindy berjalan dengan bersemangat sambil sesekali mengusap perutnya. "Aku lagi pingin banget makan roti daging. Nggak tau kenapa, Matteo susah banget ditelepon." Rindy sedikit kesal mengingat semalam dia berkali-kali menghubungi Matteo. Sejak Leroy mengusirnya, Rindy kembali ke rumah lamanya. Dia tinggal di sana bersama anaknyaーFinn Opulent. Rumah itu tidak sebesar rumah keluarga Opulent, tetapi juga tidak sederhana. Namun, Rindy tetap saja merindukan kehidupan mewahnya di rumah keluarga Opulent.Sementara itu, di dalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari situ, seorang pria berbadan besar menunggu instruksi melalui ponselnya. Dia adalah anak buah Adipati."Sekarang!" Suara tega
Saat pintu tertutup, Rindy mengepalkan tangan. Dalam hatinya, dia bersumpah akan melawan Leroy dan Adipati, apa pun yang terjadi. Tidak lama setelah Adipati pergi, pintu ruang rawat inap kembali terbuka. Matteo muncul dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Dia berjalan cepat menuju ranjang rumah sakit. "Rindy, gimana kondisi kamu? Gimana perasaan kamu sekarang? Apa kamu udah baikan?" tanya Matteo dengan nada lembut, berusaha menyentuh tangan istrinya. Suaranya dipenuhi kegelisahan. Rindy lantas menarik tangannya, lalu menatap Matteo dengan kemarahan yang tidak terpendam. "Kamu berani bertanya tentang kondisi dan perasaanku?!" Rindy berseru marah. "Kamu ke mana aja semalaman?! Kenapa baru dateng sekarang?!"Suara Rindy dipenuhi kemarahan dan kesedihan. Deru napasnya memburu seolah ingin mencabik-cabik pria yang bersamanya.Rindy melotot. Dengan sisa energi yang dimiliki, dia berteriak, "Semua ini salah kamu dan anak sialanmu! Aku kehilangan bayiku karena kalian! Aku akan balas perl
Emosi Matteo meningkat. Tidak itu saja, dari raut wajahnya juga menunjukkan kekesalan yang sudah bertumpuk-tumpuk. Kesal karena putranya, kesal sudah mendapatkan omelan Rindy, dan kini ditambah dengan sikap dari satpam!Matteo berteriak, "Astaga! Kamu nggak kenal saya?! Di negara Nephila kayaknya cuma kamu yang berani menghalangi jalan masuk saya."Satpam menggeleng. Dia benar-benar kesulitan menghadapi Matteo yang emosional.Akhirnya, satpam pun kembali bicara. "Maaf, Pak. Cuma penghuni dan tamu yang udah buat janji diperbolehkan masuk ke apartemen ini. Tolong jangan mempersulit pekerjaan saya!"Satpam tersebut mulai mengabaikan Matteo. Dia hendak pergi, tetapi kata-kata Matteo menahannya."Oke, oke. Gini aja, periksa buku tamu sekarang! Nama saya pasti ada di sana."Mendengar saran Matteo, satpam menjadi penasaran. 'Tuan Muda aja nggak ninggalin pesan apa-apa. Udah pasti nama Pak Matteo nggak akan ada di catatan,' pikir satpam. Meskipun satpam itu sudah tahu jawabannya, tetapi dia
Matteo telah sampai di rumah keluarga Opulent. Kemarahan masih terpancar jelas dari wajahnya saat dia melangkah ke luar, membanting pintu mobil. Mansion megah di hadapannya berdiri angkuh, menyimpan banyak kenangan dan rahasia keluarga.“Brengsek semuanya! Roy brengsek, Rindy brengsek!” umpat Matteo pelan sambil berjalan. “Awas aja kalo aku ketemu kamu, Roy!”Dengan langkah berat, Matteo memasuki rumah. Suasana sepi menyambutnya, hanya deru lembut pendingin ruangan yang terdengar. Namun, samar-samar dia mendengar suara percakapan dari arah ruang makan. Penasaran, kakinya melangkah perlahan menuju sumber suara.“Hah? Jangan-jangan ….”Betapa terkejutnya Matteo ketika melihat pemandangan di ruang makan. Di sana, duduk di kepala meja, adalah Leroy—putranya yang baru saja dia coba temui di apartemen. "Leroy?! Kok dia di sini?!" Matteo bertanya-tanya kebingungan. Raut wajahnya berubah masam. Di sisi kanan Leroy duduk Jay, asistennya yang loyal, sementara di sisi kiri ada Adipati, asisten
Matteo menatap Leroy dengan mata penuh kebencian dan frustrasi. "Kamu nggak tau, apa yang aku alami untuk meraih di tahap ini!"Leroy berdiri perlahan, menatap ayahnya dengan dingin. "Aku tau lebih dari yang kamu kira, Pak Matteo. Dan aku nggak bakal biarin kamu hancurin semua yang udah aku bangun. Kalo kamu pikir, kamu bisa terus memanipulasi dan mengendalikan, maka kamu salah besar, Pak Matteo."Matteo menggertakkan gigi. Tangannya bergetar menahan kemarahan. "Kamu harus belajar menghormati Papa."Leroy mendekati Matteo, menatapnya langsung di mata. "Aku bakalan hormati Anda saat Anda memang pantas untuk dihormati. Tapi sampai sekarang, aku bakal mastiin kamu tau kalo aku bukan anak kecil yang bisa kamu kendalikan sesuka hati."Setelah itu, Leroy berbalik dan meninggalkan ruang makan. Dia membiarkan Matteo terdiam dengan kemarahan dan rasa malu yang mendidih di dalam dirinya.***Pagi ini, sinar mentari menembus jendela-jendela tinggi ruang makan keluarga Opulent, menyinari meja pan
Matteo akhirnya berkata dengan suaranya bergetar antara marah dan putus asa. "Gimanapun juga, saya ini tetap aja Papa kamu dan Sagari tetap perusahaan saya!" Harga diri seorang Matteo yang sudah terbiasa hidup mewah, tidak boleh luruh hanya gara-gara anak kurang ajar yang hendak mengatur ayahnya! Dia harus menunjukkan wibawa seorang ayah dan seorang kepala keluarga! Leroy tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Ternyata, Pak Matteo nggak sepintar dugaanku. Sebagai seorang Komisaris Utama dan pemegang saham mayoritas di Sagari, aku punya kuasa penuh untuk ngelakuin apapun." Mendadak saja Matteo bungkam, dia terdiam. Kini Matteo perlahan menyadari bahwa dia telah kehilangan kendali atas situasi. Putranya yang dulu selalu patuh dan bodoh, sekarang telah berubah menjadi sosok yang tidak dia kenali, bahkan gagal dia kendalikan. Apakah Matteo masih memiliki sisa harga diri jika sudah dalam tahap semacam ini? "Kasih aku waktu." Matteo akhirnya mengalah karena sa