"Arrgh! Kenapa jadi kacau begini, sih?" erang David seraya mengacak rambutnya sendiri, beberapa saat setelah kepergian Elfara dari apartemennya.
Dia tidak menyangka jika sang kekasih akan datang di waktu yang tidak tepat, ketika dirinya meminta Aleena untuk mencoba memakai kalung berlian yang akan dia berikan untuk Elfara di hari ulang tahun wanita itu.
Entah kesialan apa ini. Baru kali ini dia bertengkar dengan Elfara hanya karena kesalahpahaman tentang orang ketiga. Sialnya, dugaan sang kekasih tidaklah benar. Sedikit pun dia tidak memiliki niat untuk menduakan Elfara, terlebih berselingkuh dengan Aleena, sahabat yang selama ini sangat dekat dengannya dan juga sang kekasih.
Ya, tentu saja. Elfara adalah satu-satunya wanita yang sangat dia cintai selama ini. Meskipun hubungan mereka masih belum mendapatkan restu dari orang tua Elfara, tetap saja dia tidak menyerah. Merasa yakin bahwa suatu saat hubungannya akan mendapatkan restu dari kedua orang tua Elfara.
Bahkan, setelah dia bekerja keras dan berhasil menyandang status sebagai pengusaha kuliner terbesar pun, kedua orang tua Elfara masih saja belum memberikan lampu hijau untuk hubungan mereka.
"Kenapa kamu nggak mau dengar penjelasan aku dulu sih, El? Aku nggak mungkin ... Arghh!"
Lagi-lagi David mengerang frustrasi, lalu mengusap kasar wajahnya yang tampak memerah menahan amarah. Sesaat kemudian dia berdiri sambil berkacak pinggang, menatap ke arah Aleena yang sedang berjalan pelan ke arahnya.
Mendapatkan cinta Elfara bukanlah hal yang mudah baginya. Dia butuh waktu satu tahun untuk meyakinkan Elfara yang memiliki trauma akan percintaan.
Dua tahun bersama sang kekasih terasa sangat membahagiakan baginya. Rasanya tidak mungkin jika dia menyia-nyiakan waktu yang sudah dia nantikan sejak lama, hanya karena wanita lain. Sampai detik ini hatinya masih milik Elfara. Namun, entah apa yang harus dia lakukan sekarang untuk mengembalikan kepercayaan Elfara padanya.
"Jangan khawatir, gue akan bicara dengan Elfa. Lo tenang saja, everything's gonna be okay, Dav," ucap Aleena sambil berusaha membuka kalung yang masih menggantung di lehernya, lalu memberikan benda itu kepada David. Dia menatap iba wajah pria di depannya, saat tidak sengaja saling beradu pandang.
"Gue nggak yakin dia akan luluh begitu saja. Lo tahu gimana dia 'kan, Al?" balas David menatap Aleena tidak percaya.
Aleena diam sejenak, lalu menghela napas pendek seolah-olah mengiakan perkataan David.
Tentu saja wanita itu sangat paham dengan apa yang dikatakan David. Seperti yang mereka tahu bahwa Elfara bukanlah wanita yang mudah percaya, terlebih lagi jika kepercayaannya sudah dihancurkan. Mengingat Elfara pernah memiliki pengalaman buruk dengan sang mantan kekasih terdahulu yang berkhianat, tentu tidak mudah bagi Aleena untuk meyakinkan kembali sahabatnya setelah kejadian hari ini.
Meski demikian, Aleena akan tetap berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka bertiga dan membuat Elfara kembali bersama David. Itu adalah janjinya saat ini.
Senyum tipis terukir di wajah Aleena sesaat. Bersikap tenang adalah caranya untuk meredam emosi David, meski sebenarnya dia juga sangat khawatir.
"Keep calm, Dav! Gue yakin kita akan bisa melewati masalah ini dengan baik," ucap Aleena sambil menepuk pekan bahu David. "Gue balik dulu dan secepatnya akan menemui El," imbuhnya seraya mengembangkan kembali senyumannya, sesaat sebelum dia beranjak dari tempat itu.
Sementara itu, David tidak berkata apa pun lagi, selain hanya mengangguk pelan. Dia seolah-olah telah memberikan kepercayaan penuh pada sahabatnya untuk mengatasi masalah yang melibatkan dirinya dengan sang kekasih.
***
Di tempat lain, Elfara masih terlibat perdebatan dengan pria tidak asing di depan lift. Sampai detik ini pria itu masih saja menahannya untuk pergi. Lihat saja! Sejak tadi tangan kanannya tidak dilepaskan begitu saja. Menuntut pertanggungjawaban atas ponsel yang rusak karena ulahnya, meski tidak sengaja.
"Mas, tolong lepasin tangan saya!" geram Elfara seraya mengentakkan tangannya berulang kali. Sialnya, tenaga pria itu begitu kuat untuk dikalahkan.
Air mata yang sedari tadi menetes pun, mendadak surut karena amarahnya terhadap pria tersebut. Namun, tetap saja. Raut wajah dan jejak air mata itu tidak bisa bohong bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Oh, nggak bisa. Setidaknya Mbak harus tanggung jawab, setelah itu saya akan membiarkan Mbak untuk pergi!" tegas pria itu tidak ingin kalah. Tatapannya penuh penekanan, berharap Elfara akan memenuhi keinginannya.
Ya, bukankah seharusnya memang seperti itu? Siapa yang salah, dialah yang bertanggung jawab. Tidak peduli wanita di depannya tengah memiliki masalah apa, yang jelas baginya tanggung jawab adalah harga mati.
Bukannya tidak melihat kekalutan di wajah Elfara. Tentu dia menyadari hal itu. Namun, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak bertanggung jawab. Masalah apa pun yang tengah dihadapi wanita itu, jelas bukan urusannya.
"Mas, saya sudah minta maaf berulang kali. Apa itu nggak cukup?" bentak Elfara semakin geram.
"Masalahnya handphone saya nggak akan kembali hanya dengan kata maaf, Mbak! Mbak pikir saya belinya pakai daun?"
"Oh ... oke! Memangnya berapa harga handphone itu, saya bayar sekarang juga!" lantang Elfara seraya membusungkan dada.
Alih-alih menjawab, pria itu malah tersenyum meremehkan. Entah apa maksudnya. Yang jelas dia terlihat tidak menyukai sikap Elfara yang menurutnya terkesan angkuh.
"Sombong sekali kamu!" nyinyir pria itu seraya tersenyum getir sambil menatap nanar wajah Elfara.
"Loh, bukannya itu yang kamu inginkan? Kamu mau saya mengganti rugi atas kerusakan handphone itu, kan? Ya sudah, akan saya ganti sekarang juga!" sarkas Elfara seraya membeliakkan mata lantaran sudah menahan emosi yang sudah semakin memuncak.
Bukan menanggapi positif, pria itu justru memalingkan wajahnya sejenak ke sembarang arah, sebelum menanggapi ucapan Elfara.
Hal itu sontak membuat Elfara semakin berapi-api lantaran merasa serba salah. Bahkan, disaat dirinya sudah berniat untuk bertanggung jawab pun, pria itu justru seolah-olah tidak menghargai niat baiknya.
Dengan perlahan pria itu melepaskan tangan Elfara, lalu melipatkan kedua tangannya di depan dada tanpa memalingkan tatapan dari wajah Elfara. Melihat amarah yang tersirat di wajah wanita itu, seperti menjadi tontonan yang menyenangkan baginya.
"Hebat sekali kamu!"
Bukan pujian, tetapi apa yang diucapkan pria itu terdengar seperti kalimat sindiran, sehingga membuat Elfara menjadi merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu?
"Kamu pikir semuanya bisa dibeli dengan uang?" ucap pria itu lagi yang semakin sulit untuk dimengerti.
Elfara menggeleng pelan sambil menatap nanar wajah pria itu. "Dasar cowok sinting! Buang-buang waktu saja!" umpatnya seraya beranjak dari hadapan pria itu.
"Hey! Urusan kita belum selesai!" teriak pria itu seraya mengejar Elfara yang sudah berlari kecil menuju jalan raya.
Elfara hanya bergeming. Dia tetap berlari tanpa mempedulikan teriakan pria di belakangnya yang terus memanggil. Dia pikir hanya membuang-buang waktu jika terus-menerus menghadapi pria gila itu, itulah mengapa dia memilih untuk menghindar.
"Hey, tunggu!"
"Aargh!"
"Sudah bangun kamu?" Elfara sedikit terlonjak mendengar suara bariton, saat dirinya baru saja siuman setelah tidak sadarkan diri selama satu jam. Insiden yang terjadi saat dia mencoba melarikan diri, nyaris membuatnya kehilangan nyawa. Elfara tertabrak mobil, ketika hendak menyeberang jalan. Itulah yang membuatnya pingsan dan terluka di bagian kaki, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. "Kenapa saya ada di sini?" Elfara mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Apa kejadian tadi membuatmu amnesia, Nona?" celetuk pria asing yang berdiri di sampingnya dengan tatapan serius, lalu tersenyum getir seolah-olah tidak merasa iba. Elfara bergeming sambil menundukkan kepala. Mengingat kembali kejadian yang terjadi sebelumnya. Sesaat kemudian, dia menatap kembali pria yang tengah mengamati wajahnya, seolah-olah sedang menunggu jawaban. Ya, wajar saja. Kecelakaan yang menimpa Elfara memang berhasil membuat pria itu ketar-ketir. Walau bagaimanapun dia memiliki andil atas kejadian ters
"Bagaimana? Apa kamu sudah menemui wanita itu, Er?" Pria jangkung yang baru saja masuk ke sebuah rumah bergaya eropa itu tampak menghela napas pendek, begitu mendapat sambutan tidak menyenangkan dari mamanya. Ya, bagaimana tidak? Setiap kali bertatap muka dengan kedua orang tuanya, sudah pasti mereka akan membahas wanita yang akan dijodohkan dengannya. Entah siapa wanita itu. Dia menatap kesal wajah sang mama yang tengah menatapnya balik sambil menunggu jawaban. Namun, sesaat kemudian tatapannya berubah sayu. Selalu saja merasa tidak tega jika harus membuat wanita yang melahirkannya itu bersedih. Suara helaan napas pendek kembali terdengar, sesaat sebelum pria itu menjawab pertanyaan dari wanita paruh baya yang berdiri di depannya. "Maafkan aku, Ma. Aku belum sempat menemui wanita itu. Tadi ada insiden kecil. Handphone-ku terjatuh dan mati total. Aku belum sempat melihat foto wanita yang Mama kirim tadi," jelas pria itu seraya memegang kedua bahu mamanya. "Kamu tidak sedang menca
Elfara terkejut saat tiba-tiba pintu ruang rawatnya terbuka dan muncul sosok tidak asing menghampirinya. "Kamu?" Wanita itu menatap geram ke arah pria yang tak lain adalah David. Entah dari mana pria itu tahu jika dirinya sedang dirawat di rumah sakit. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Elfara dengan tatapan sinis. "El, apa yang terjadi sama kamu? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya David penuh kecemasan. "Jangan mendekat!" Secepat kilat Elfara menghalau David dengan tangannya saat akan mendekati dan memeluknya. Langkah David refleks terhenti, tepat di samping ranjang tempat Elfara duduk saat ini. Dia menatap sendu wajah wanita yang berhasil mencuri hatinya sejak lama. Raut yang biasanya terlihat senang saat bertemu dengannya, kini hilang entah ke mana. Hanya kemarahan dan kekecewaan yang dia dapati dari wajah itu. "Sayang, kamu salah paham. Aku sama Aleena nggak ada hubungan apa pun. Kita cuma—" "Mau apa lagi kamu ke sini?" Belum berhasil David melanjutkan perkataannya, tiba-tiba suar
"Jadi kamu yang mau dijodohin sama saya?" tanya Erlan seraya menatap sinis Elfara yang duduk di hadapannya. Kini, mereka berdua tampak menempati meja lain. Sengaja memisahkan diri dari kedua orang tua mereka, atas permintaan Erlan yang beralasan ingin mengenal Elfara lebih dekat tanpa campur tangan siapa pun. Bahkan, Erlan memilih meja yang cukup jauh dengan yang ditempati oleh orang tua mereka. Elfara menghela napas berat, sebelum menanggapi pertanyaan Erlan. Pertemuan ini tentu membuatnya sedikit syok. Dia masih belum percaya jika yang dijodohkan dengannya adalah Erlan, pria menyebalkan yang bertemu secara tidak sengaja dengannya tempo hari. "To the point saja. Saya nggak setuju dijodohin sama wanita sombong kayak kamu!" celetuk Erlan yang berhasil membuat Elfara membeliak kesal. Bagaimana tidak? Sudah dicap sebagai wanita sombong, merasa direndahkan pula. Seolah-olah dirinya setuju dengan adanya perjodohan itu. "Heh, tolong ya jaga omonganmu! Kamu pikir saya setuju dijodohin sa
“Bagaimana wanita pilihan papa? Cantik, kan?” Erlan langsung menghentikan kegiatannya, begitu mendengar pertanyaan dari sang papa yang jelas mengganggu konsentrasinya dalam hitungan detik. Dia tampak menggantung sendok berisi makanan di depan mulutnya, lalu memfokuskan pandangan ke arah pria paruh baya yang duduk berhadapan dengannya. Sebenarnya, dia masih enggan untuk berbicara dengan sang papa lantaran perdebatan tadi malam yang membuat mood-nya berantakan. Bagaimana tidak? Setelah berbagai alasan dia keluarkan, nyatanya keputusan sang papa sudah bulat dan perjodohannya dengan Elfara benar-benar tidak bisa dibatalkan.Kini, lagi-lagi dia harus mendengarkan pembahasan tentang wanita itu, padahal waktu masih sangat pagi. Tidak adakah waktu lain? Atau tidak adakah pembahasan yang lebih penting daripada membahas wanita itu? begitu pikirnya. “Semua wanita cantik, nggak ada yang tampan, Pa,” jawab Erlan seraya melahap sendok makan itu dengan kesal. “Papa sedang serius, Erlan!” bentak H
Erlan tampak melangkah dengan pasti, memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Di belakangnya tampak pria berkemeja maroon yang tak lain adalah Ryan, sekretarisnya. "Kamu bisa cepetan dikit nggak?" Pria yang mengenakkan setelan kerja berwarna abu-abu itu, tampak memutar sebagian badannya ke belakang. Melirik Ryan yang berjalan terlalu santai dibandingkan dirinya. Padahal dia sedang terburu-buru karena klien yang akan meeting dengannya kali ini sudah menunggunya di salah satu resto di tempat itu. "Baik, Bos!" tegas Ryan segera mendekati Erlan yang berjarak beberapa langkah dengannya. Tampaknya dia telah siap melakukan permintaan sang atasan. Tak ada komentar apa pun lagi dari Erlan. Pria itu segera melanjutkan kembali kegiatannya yang sempat tertunda. Namun, baru tiga langkah tiba-tiba dia berhenti kembali, tepat saat mendapati seorang wanita tidak asing di depannya tengah berjalan berlawanan arah. "Kamu lagi?" Erlan membulatkan mata menatap wanita ya
"Gila! Sumpah demi apa pun tuh cowok gila banget!" umpat Elfara seraya memasuki sebuah kafe mewah. "Ngapain coba harus jauh-jauh ketemu di tempat ini? Di sana 'kan juga bisa? Kayaknya tuh orang sengaja mau ngerjain gue!" imbuhnya tak berhenti menggerutu. Sejak mendapat notifikasi pesan dari Erlan beberapa menit lalu, darah Elfara langsung naik dalam sekejap. Tidak habis pikir dengan Erlan yang memintanya untuk menunggu di kafe yang jelas cukup jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Padahal niat dia sangat baik, hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah dia lakukan. Namun, Erlan justru bersikap sangat menyebalkan, seolah-olah tidak bisa mentolelir kesalahan yang tidak sengaja dia lakukan. Andai bisa memutar waktu kembali, dia ingin sekali pertemuan dengan pria itu ditiadakan. Dia tidak ingin melihat pengkhianatan mantan kekasih dengan sahabatnya, sehingga hidupnya tidak menjadi kacau seperti sekarang ini. "Huh!" Elfara mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi dengan
"Sa-saya—" "Kenapa? Kamu nggak bisa, kan?" pungkas Erlan memotong ucapan Elfara yang sedikit terputus-putus. Alih-alih menjawab, Elfara justru memejamkan mata sambil mengeraskan rahangnya. Sungguh hari ini sangat menjengkelkan. Entah apa yang salah dengan dirinya, seingga dipertemukan dengan pria modelan Erlan. "Aku—""Kalau mau minta maaf nggak usah sambil marah-marah." Lagi-lagi Erlan memotong pembicaraan Elfara. Tentu Elfara semakin murka. Hal itu terbukti dari tatapannya yang tajam dan membulat sempurna. Belum lagi bibirnya yang terlihat mengerucut dan sedikit bergetar seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi terpaksa ditahan. Wanita itu hanya bisa mendengkus, berusaha menetralkan perasaannya. Dalam hati ingin sekali mencaci maki pria di depannya, tetapi itu hanya akan membuat masalahnya semakin panjang. Percuma saja. Sementara itu, Erlan kembali tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya tidak sulit untuk menaklukkan hati wanita seperti Elfara. Buktinya hari ini dia bisa me
"Sa-saya—" "Kenapa? Kamu nggak bisa, kan?" pungkas Erlan memotong ucapan Elfara yang sedikit terputus-putus. Alih-alih menjawab, Elfara justru memejamkan mata sambil mengeraskan rahangnya. Sungguh hari ini sangat menjengkelkan. Entah apa yang salah dengan dirinya, seingga dipertemukan dengan pria modelan Erlan. "Aku—""Kalau mau minta maaf nggak usah sambil marah-marah." Lagi-lagi Erlan memotong pembicaraan Elfara. Tentu Elfara semakin murka. Hal itu terbukti dari tatapannya yang tajam dan membulat sempurna. Belum lagi bibirnya yang terlihat mengerucut dan sedikit bergetar seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi terpaksa ditahan. Wanita itu hanya bisa mendengkus, berusaha menetralkan perasaannya. Dalam hati ingin sekali mencaci maki pria di depannya, tetapi itu hanya akan membuat masalahnya semakin panjang. Percuma saja. Sementara itu, Erlan kembali tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya tidak sulit untuk menaklukkan hati wanita seperti Elfara. Buktinya hari ini dia bisa me
"Gila! Sumpah demi apa pun tuh cowok gila banget!" umpat Elfara seraya memasuki sebuah kafe mewah. "Ngapain coba harus jauh-jauh ketemu di tempat ini? Di sana 'kan juga bisa? Kayaknya tuh orang sengaja mau ngerjain gue!" imbuhnya tak berhenti menggerutu. Sejak mendapat notifikasi pesan dari Erlan beberapa menit lalu, darah Elfara langsung naik dalam sekejap. Tidak habis pikir dengan Erlan yang memintanya untuk menunggu di kafe yang jelas cukup jauh dari tempat mereka bertemu tadi. Padahal niat dia sangat baik, hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah dia lakukan. Namun, Erlan justru bersikap sangat menyebalkan, seolah-olah tidak bisa mentolelir kesalahan yang tidak sengaja dia lakukan. Andai bisa memutar waktu kembali, dia ingin sekali pertemuan dengan pria itu ditiadakan. Dia tidak ingin melihat pengkhianatan mantan kekasih dengan sahabatnya, sehingga hidupnya tidak menjadi kacau seperti sekarang ini. "Huh!" Elfara mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi dengan
Erlan tampak melangkah dengan pasti, memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Di belakangnya tampak pria berkemeja maroon yang tak lain adalah Ryan, sekretarisnya. "Kamu bisa cepetan dikit nggak?" Pria yang mengenakkan setelan kerja berwarna abu-abu itu, tampak memutar sebagian badannya ke belakang. Melirik Ryan yang berjalan terlalu santai dibandingkan dirinya. Padahal dia sedang terburu-buru karena klien yang akan meeting dengannya kali ini sudah menunggunya di salah satu resto di tempat itu. "Baik, Bos!" tegas Ryan segera mendekati Erlan yang berjarak beberapa langkah dengannya. Tampaknya dia telah siap melakukan permintaan sang atasan. Tak ada komentar apa pun lagi dari Erlan. Pria itu segera melanjutkan kembali kegiatannya yang sempat tertunda. Namun, baru tiga langkah tiba-tiba dia berhenti kembali, tepat saat mendapati seorang wanita tidak asing di depannya tengah berjalan berlawanan arah. "Kamu lagi?" Erlan membulatkan mata menatap wanita ya
“Bagaimana wanita pilihan papa? Cantik, kan?” Erlan langsung menghentikan kegiatannya, begitu mendengar pertanyaan dari sang papa yang jelas mengganggu konsentrasinya dalam hitungan detik. Dia tampak menggantung sendok berisi makanan di depan mulutnya, lalu memfokuskan pandangan ke arah pria paruh baya yang duduk berhadapan dengannya. Sebenarnya, dia masih enggan untuk berbicara dengan sang papa lantaran perdebatan tadi malam yang membuat mood-nya berantakan. Bagaimana tidak? Setelah berbagai alasan dia keluarkan, nyatanya keputusan sang papa sudah bulat dan perjodohannya dengan Elfara benar-benar tidak bisa dibatalkan.Kini, lagi-lagi dia harus mendengarkan pembahasan tentang wanita itu, padahal waktu masih sangat pagi. Tidak adakah waktu lain? Atau tidak adakah pembahasan yang lebih penting daripada membahas wanita itu? begitu pikirnya. “Semua wanita cantik, nggak ada yang tampan, Pa,” jawab Erlan seraya melahap sendok makan itu dengan kesal. “Papa sedang serius, Erlan!” bentak H
"Jadi kamu yang mau dijodohin sama saya?" tanya Erlan seraya menatap sinis Elfara yang duduk di hadapannya. Kini, mereka berdua tampak menempati meja lain. Sengaja memisahkan diri dari kedua orang tua mereka, atas permintaan Erlan yang beralasan ingin mengenal Elfara lebih dekat tanpa campur tangan siapa pun. Bahkan, Erlan memilih meja yang cukup jauh dengan yang ditempati oleh orang tua mereka. Elfara menghela napas berat, sebelum menanggapi pertanyaan Erlan. Pertemuan ini tentu membuatnya sedikit syok. Dia masih belum percaya jika yang dijodohkan dengannya adalah Erlan, pria menyebalkan yang bertemu secara tidak sengaja dengannya tempo hari. "To the point saja. Saya nggak setuju dijodohin sama wanita sombong kayak kamu!" celetuk Erlan yang berhasil membuat Elfara membeliak kesal. Bagaimana tidak? Sudah dicap sebagai wanita sombong, merasa direndahkan pula. Seolah-olah dirinya setuju dengan adanya perjodohan itu. "Heh, tolong ya jaga omonganmu! Kamu pikir saya setuju dijodohin sa
Elfara terkejut saat tiba-tiba pintu ruang rawatnya terbuka dan muncul sosok tidak asing menghampirinya. "Kamu?" Wanita itu menatap geram ke arah pria yang tak lain adalah David. Entah dari mana pria itu tahu jika dirinya sedang dirawat di rumah sakit. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Elfara dengan tatapan sinis. "El, apa yang terjadi sama kamu? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya David penuh kecemasan. "Jangan mendekat!" Secepat kilat Elfara menghalau David dengan tangannya saat akan mendekati dan memeluknya. Langkah David refleks terhenti, tepat di samping ranjang tempat Elfara duduk saat ini. Dia menatap sendu wajah wanita yang berhasil mencuri hatinya sejak lama. Raut yang biasanya terlihat senang saat bertemu dengannya, kini hilang entah ke mana. Hanya kemarahan dan kekecewaan yang dia dapati dari wajah itu. "Sayang, kamu salah paham. Aku sama Aleena nggak ada hubungan apa pun. Kita cuma—" "Mau apa lagi kamu ke sini?" Belum berhasil David melanjutkan perkataannya, tiba-tiba suar
"Bagaimana? Apa kamu sudah menemui wanita itu, Er?" Pria jangkung yang baru saja masuk ke sebuah rumah bergaya eropa itu tampak menghela napas pendek, begitu mendapat sambutan tidak menyenangkan dari mamanya. Ya, bagaimana tidak? Setiap kali bertatap muka dengan kedua orang tuanya, sudah pasti mereka akan membahas wanita yang akan dijodohkan dengannya. Entah siapa wanita itu. Dia menatap kesal wajah sang mama yang tengah menatapnya balik sambil menunggu jawaban. Namun, sesaat kemudian tatapannya berubah sayu. Selalu saja merasa tidak tega jika harus membuat wanita yang melahirkannya itu bersedih. Suara helaan napas pendek kembali terdengar, sesaat sebelum pria itu menjawab pertanyaan dari wanita paruh baya yang berdiri di depannya. "Maafkan aku, Ma. Aku belum sempat menemui wanita itu. Tadi ada insiden kecil. Handphone-ku terjatuh dan mati total. Aku belum sempat melihat foto wanita yang Mama kirim tadi," jelas pria itu seraya memegang kedua bahu mamanya. "Kamu tidak sedang menca
"Sudah bangun kamu?" Elfara sedikit terlonjak mendengar suara bariton, saat dirinya baru saja siuman setelah tidak sadarkan diri selama satu jam. Insiden yang terjadi saat dia mencoba melarikan diri, nyaris membuatnya kehilangan nyawa. Elfara tertabrak mobil, ketika hendak menyeberang jalan. Itulah yang membuatnya pingsan dan terluka di bagian kaki, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. "Kenapa saya ada di sini?" Elfara mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Apa kejadian tadi membuatmu amnesia, Nona?" celetuk pria asing yang berdiri di sampingnya dengan tatapan serius, lalu tersenyum getir seolah-olah tidak merasa iba. Elfara bergeming sambil menundukkan kepala. Mengingat kembali kejadian yang terjadi sebelumnya. Sesaat kemudian, dia menatap kembali pria yang tengah mengamati wajahnya, seolah-olah sedang menunggu jawaban. Ya, wajar saja. Kecelakaan yang menimpa Elfara memang berhasil membuat pria itu ketar-ketir. Walau bagaimanapun dia memiliki andil atas kejadian ters
"Arrgh! Kenapa jadi kacau begini, sih?" erang David seraya mengacak rambutnya sendiri, beberapa saat setelah kepergian Elfara dari apartemennya. Dia tidak menyangka jika sang kekasih akan datang di waktu yang tidak tepat, ketika dirinya meminta Aleena untuk mencoba memakai kalung berlian yang akan dia berikan untuk Elfara di hari ulang tahun wanita itu. Entah kesialan apa ini. Baru kali ini dia bertengkar dengan Elfara hanya karena kesalahpahaman tentang orang ketiga. Sialnya, dugaan sang kekasih tidaklah benar. Sedikit pun dia tidak memiliki niat untuk menduakan Elfara, terlebih berselingkuh dengan Aleena, sahabat yang selama ini sangat dekat dengannya dan juga sang kekasih. Ya, tentu saja. Elfara adalah satu-satunya wanita yang sangat dia cintai selama ini. Meskipun hubungan mereka masih belum mendapatkan restu dari orang tua Elfara, tetap saja dia tidak menyerah. Merasa yakin bahwa suatu saat hubungannya akan mendapatkan restu dari kedua orang tua Elfara. Bahkan, setelah dia b