“Oh, iya. “ Nita baru sadar, biar bagaimanapun juga mereka berdua itu bukan mahram. Meskipun tidak mungkin berbuat hal yang aneh-aneh, tetap saja tak pantas jika harus tidur satu kamar.“Tidur sama Bibi saja, Calia. Paman bisa tidur di toko. Ada kasur kok disana. Tak usah khawatir.” Sekarang, Heru yang berkata.“Maaf, ini malah merepotkan semua.” Arwan berkata demikian.Calia langsung menoleh, segera paham dengan perasaan Arwan saat ini.“Tidak ada yang direpotkan. Jangan begitu, Arwan. Ingat kesepakatan kita sebelum berangkat kemari. Kamu tidak boleh banyak pikiran dan harus fokus saja pada kesembuhan kamu. Harus nurut sama aku.” Calia sedikit melototi Arwan.Arwan tersenyum kecil, “Iya. Maaf,”Nita juga tersenyum pada Arwan. “Iya, benar kata Calia. Tidak ada yang direpotkan. Sudah, sana kalian ke kamar.”Mereka kembali mengangguk, “Calia temani Arwan di kamar dulu ya, Bi.” Calia meraih tangan Arwan dan membawanya ke kamar tadi.Calia menata bantal, menyuruh Arwan untuk berbaring. Ar
“Tidak tahu juga Mbak Nita. Sebenarnya dari hati ibu juga, ibu merasa ragu. Kemampuan benalu itu hanya pernah diuji pada kanker jenis lain yang tidak seganas kanker otak. Apalagi kanker dalam otak nak Arwan itu sudah menyebar. Sebenarnya jujur saja, ibu juga merasa khawatir, tapi setidaknya kita memang perlu berusaha kan?”Nita terdiam, kemudian menarik nafas panjang. “Jangan katakan ini pada Calia ya, Bu. Aku khawatir Calia menjadi tidak tenang dan cemas.” Pinta Nita.“Iya, kita tidak perlu mengatakan apa-apa pada mereka kecuali hanya perlu memberi semangat dan dukungan.”Mereka pun setuju.Malam ini Bu Mila memutuskan untuk tidur di rumah Nita bersama Gita dan juga Anisa, karena besok Gita harus berangkat sekolah dan Bu Mila bermaksud ingin sekalian mengambil alih tugas Gita, membantu Nita yang mungkin akan sedikit lebih sibuk karena adanya Calia dan Arwan.Malam ini rumah Nita juga terlihat ramai. Ada Adi dan istri juga yang datang berkunjung. Mereka berkumpul di ruangan tengah sam
Calia kembali mengelus tangan Arwan,“Minggu depan kita akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaanmu. Dokter yang di kota juga sudah menghubungi dokter spesialis yang ada di sini dan sudah menerangkan semuanya. Jadi kita tinggal berangkat saja.” ujar Calia.“Kenapa mesti periksa? Seharusnya tidak usah. Nanti saja kalau kita sudah pulang.”Arwan menjawab demikian. Mungkin dia merasa tidak enak hati jika harus kembali merepotkan Heru untuk mengantar mereka ke rumah sakit yang lumayan jauh dari kampung ini.“Ya tidak bisa begitu dong, Arwan. Kalau tidak periksa, bagaimana kita bisa tahu perkembangan kesehatan kamu? Meskipun Mbak Laura dulu juga begitu, setiap seminggu sekali dia diperiksa. Apakah ada penurunan atau tidak.” Ujar Heru.Arwan akhirnya hanya bisa mengangguk, lagi-lagi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang dia datang ke sini dalam keadaan seperti ini. Mau bagaimana lagi, sekarang ini dia memang harus pasrah. Andai pun dia tidak selamat dan meninggal di sini pun
Dua orang itu pun kebingungan dan merasa sangat aneh. Setelah berkeliling sampai capek mencari-cari benalu yang dimaksud Teh Ainun, mereka tidak menemukannya akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong.Sampai di rumah mereka menjelaskan apa yang terjadi di sana pada Bu Mila. Bu Mila tidak heran lagi, hanya sedikit merasa kecewa saja kenapa tadi Teh Ainun tidak mengambil saja semuanya.“Aku tidak tahu, Bu. Ku pikir apa benalu di pohon bambu bermanfaat? Makanya aku hanya mengambil sebagian saja. Kalau misalnya memang bermanfaat, kan Mas Heru bisa datang kesana untuk mengambil sisanya, ternyata malah sudah tidak ada sama sekali.”“Percaya atau tidak, tapi ini memang salah satu keajaiban dari Yang Maha Kuasa.” ujar Bu Mila.“Sejak nenek moyang Ibu dahulu, pernah mengatakan jika benalu di pohon bambu itu adalah obat yang sangat mujarab. Tetapi itu sangat langka, 1 dari 1000 orang yang bisa menemukannya. Makanya pernah ada orang tua yang berpesan, jika kalian melihat benal
Arwan mengangguk saja, meskipun dalam hati dia merasa sangat senang bukan main. Beberapa hari ini dia memang merasa ada perubahan dalam dirinya.Biasanya dia sering mengeluarkan keringat dingin, sekarang sudah mulai berkurang dan perlahan kesemutan yang sering terjadi pada Kedua telapak tangan dan kakinya pun juga mulai berkurang. Selama ini Arwan paling malas yang namanya keramas dan menyisir karena rambutnya sangat rontok lebih dari normalnya rambut rontok. Tapi pagi ini setelah Calia memintanya untuk keramas , rambut rontoknya telah banyak berkurang.“Ya Allah, semoga ini adalah tanda-tanda kebaikan dariMu.” Gumam Arwan dalam hati.Satu minggu lagi setelah ini, Calia kembali mengajak Arwan untuk periksa ke rumah sakit.Pada saat itu tim dokter yang telah selesai memeriksa Arwan tercengang bukan main. Beberapa kali sang dokter menoleh kepada Arwan dan Calia yang sedang duduk menunggu penjelasan darinya, beberapa kali juga Dokter memastikan data pemeriksaan yang ada di tangannya.“Ad
Pertama-tama, Bu Mila mengambil delapan lembar daun salam segar yang baru dipetik oleh teh Ainun tadi lalu mencucinya dengan bersih.“Jadi, untuk delapan lembar daun salam ini, kita rebus dua gelas air sampai mendidih dahulu, dan masukkan daunnya.” Ujar Bu Mila sambil memasak dua gelas air pada panci kaca.“Boleh pakai panci kaca atau panci tanah liat seperti yang untuk merebus benalu itu.” Kata Bu Mila sambil menunjuk kuali tanah liat yang ada di ujung meja.Calia dan teh Ainun mengangguk-angguk.“Nah, setelah mendidih, delapan daun salam segar ini dimasukan.” Bu Mila memasukan Daun tersebut dalam Air yang telah mendidih dan menutup panci dengan tutupnya.“Biarkan sampai airnya tinggal separo, baru nanti berikan pada penderita. Dua kali sehari, pagi sebelum dia sarapan dan malam sebelum tidur.” Ujar Bu Mila pada Teh Ainun.“Daun salam ini bukan hanya untuk membantu menurunkan kadar gula darah juga dia bisa membantu pertahanan tubuh kita, tapi ada baiknya si penderita juga tetap harus
Sore ini Didi pulang dengan membawa satu kanpil timah. Tentu Siti begitu sangat senang melihat hasil suaminya hari ini. Malam itu juga mereka menjual hasil jerih payah Didi dan pulang dengan mendapatkan uang yang lumayan banyak.“Berarti, besok kita jadi pulang ke rumah ibu ya, Mas?” ujar Siti, sebab dari beberapa hari yang lalu ibu mertuanya sudah menyuruh mereka pulang. Tapi karena memang mereka belum mempunyai uang cukup maka mereka belum pulang dan menurut Siti uang hasil penjualan timah semalam sudah lebih dari cukup jika untuk pulang dan meninggalkan uang untuk ibunya Didi yang memang sudah tua dan sakit-sakitan dan masih enggan jika diajak tinggal dengan mereka saja.Tapi Didi malah menolak dengan alasan sayang lokasinya. Terdapat banyak timah disana, dia menyayangkan jika nanti ditinggal dan malah ditempati orang lain.“Tapi Ibu kamu itu sudah beberapa kali telepon loh mas, nyuruh kita pulang kalau ada rezeki. Nah kita kan sudah ada rezeki. Ayolah Mas pulang dulu, semalam saja
“Sepertinya begitu Mas. Kalau semisal nanti aku sudah dinyatakan sembuh, bolehkah aku tetap tinggal di sini? Cari pekerjaan di sini dan membawa ibuku kemarin? Kami akan mencari kontrakan kecil-kecilan.”Heru tertawa mendengar Arwan bicara seperti itu. “Memang kamu mau kerja apa disini? Orang kota, nggak cocok tinggal di desa. Kerja Ti, atau manen Sawit?”“Apa saja Mas, asal bisa kerja.”Heru mendongak menatap Arwan dengan tertawa kecil, “Kamu kira, Calia bakal menyetujuinya?”Sekarang Arwan tersipu, “Hehe, iya juga sih.”“Terlihat sekali kalau Calia itu sangat sayang dan peduli sama kamu, Arwan. Jadi kalau bisa, jangan sampai kamu menyakiti hatinya barang secuilpun.” Ujar Heru.Arwan sekarang terdiam, mana mungkin akan seperti itu. Arwan bahkan akan menyerahkan segenap jiwa raganya ini untuk membalas semua kebaikan Calia. Dengan cara apapun itu.“Tidak mungkin, mas. Aku tidak akan mungkin menyakiti hati Mbak Calia, sedikit pun itu. Mas Heru boleh memegang ucapanku ini.”Heru malah ter
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s