Beranda / Pernikahan / Pria Cacat Itu, Suamiku / Bab 67. Kabar baik dari Dokter

Share

Bab 67. Kabar baik dari Dokter

Penulis: Rea.F
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Arwan mengangguk saja, meskipun dalam hati dia merasa sangat senang bukan main. Beberapa hari ini dia memang merasa ada perubahan dalam dirinya.

Biasanya dia sering mengeluarkan keringat dingin, sekarang sudah mulai berkurang dan perlahan kesemutan yang sering terjadi pada Kedua telapak tangan dan kakinya pun juga mulai berkurang. Selama ini Arwan paling malas yang namanya keramas dan menyisir karena rambutnya sangat rontok lebih dari normalnya rambut rontok. Tapi pagi ini setelah Calia memintanya untuk keramas , rambut rontoknya telah banyak berkurang.

“Ya Allah, semoga ini adalah tanda-tanda kebaikan dariMu.” Gumam Arwan dalam hati.

Satu minggu lagi setelah ini, Calia kembali mengajak Arwan untuk periksa ke rumah sakit.

Pada saat itu tim dokter yang telah selesai memeriksa Arwan tercengang bukan main. Beberapa kali sang dokter menoleh kepada Arwan dan Calia yang sedang duduk menunggu penjelasan darinya, beberapa kali juga Dokter memastikan data pemeriksaan yang ada di tangannya.

“Ad
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 68. Sempat merasa aneh

    Pertama-tama, Bu Mila mengambil delapan lembar daun salam segar yang baru dipetik oleh teh Ainun tadi lalu mencucinya dengan bersih.“Jadi, untuk delapan lembar daun salam ini, kita rebus dua gelas air sampai mendidih dahulu, dan masukkan daunnya.” Ujar Bu Mila sambil memasak dua gelas air pada panci kaca.“Boleh pakai panci kaca atau panci tanah liat seperti yang untuk merebus benalu itu.” Kata Bu Mila sambil menunjuk kuali tanah liat yang ada di ujung meja.Calia dan teh Ainun mengangguk-angguk.“Nah, setelah mendidih, delapan daun salam segar ini dimasukan.” Bu Mila memasukan Daun tersebut dalam Air yang telah mendidih dan menutup panci dengan tutupnya.“Biarkan sampai airnya tinggal separo, baru nanti berikan pada penderita. Dua kali sehari, pagi sebelum dia sarapan dan malam sebelum tidur.” Ujar Bu Mila pada Teh Ainun.“Daun salam ini bukan hanya untuk membantu menurunkan kadar gula darah juga dia bisa membantu pertahanan tubuh kita, tapi ada baiknya si penderita juga tetap harus

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 69. Terkena Longsor

    Sore ini Didi pulang dengan membawa satu kanpil timah. Tentu Siti begitu sangat senang melihat hasil suaminya hari ini. Malam itu juga mereka menjual hasil jerih payah Didi dan pulang dengan mendapatkan uang yang lumayan banyak.“Berarti, besok kita jadi pulang ke rumah ibu ya, Mas?” ujar Siti, sebab dari beberapa hari yang lalu ibu mertuanya sudah menyuruh mereka pulang. Tapi karena memang mereka belum mempunyai uang cukup maka mereka belum pulang dan menurut Siti uang hasil penjualan timah semalam sudah lebih dari cukup jika untuk pulang dan meninggalkan uang untuk ibunya Didi yang memang sudah tua dan sakit-sakitan dan masih enggan jika diajak tinggal dengan mereka saja.Tapi Didi malah menolak dengan alasan sayang lokasinya. Terdapat banyak timah disana, dia menyayangkan jika nanti ditinggal dan malah ditempati orang lain.“Tapi Ibu kamu itu sudah beberapa kali telepon loh mas, nyuruh kita pulang kalau ada rezeki. Nah kita kan sudah ada rezeki. Ayolah Mas pulang dulu, semalam saja

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 70. Kabar sangat baik

    “Sepertinya begitu Mas. Kalau semisal nanti aku sudah dinyatakan sembuh, bolehkah aku tetap tinggal di sini? Cari pekerjaan di sini dan membawa ibuku kemarin? Kami akan mencari kontrakan kecil-kecilan.”Heru tertawa mendengar Arwan bicara seperti itu. “Memang kamu mau kerja apa disini? Orang kota, nggak cocok tinggal di desa. Kerja Ti, atau manen Sawit?”“Apa saja Mas, asal bisa kerja.”Heru mendongak menatap Arwan dengan tertawa kecil, “Kamu kira, Calia bakal menyetujuinya?”Sekarang Arwan tersipu, “Hehe, iya juga sih.”“Terlihat sekali kalau Calia itu sangat sayang dan peduli sama kamu, Arwan. Jadi kalau bisa, jangan sampai kamu menyakiti hatinya barang secuilpun.” Ujar Heru.Arwan sekarang terdiam, mana mungkin akan seperti itu. Arwan bahkan akan menyerahkan segenap jiwa raganya ini untuk membalas semua kebaikan Calia. Dengan cara apapun itu.“Tidak mungkin, mas. Aku tidak akan mungkin menyakiti hati Mbak Calia, sedikit pun itu. Mas Heru boleh memegang ucapanku ini.”Heru malah ter

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 71. Berunding

    Arwan menautkan kedua alisnya, “Sepertinya pertanyaan itu harusnya milikku. Aku tidak yakin jika kamu mau menikah denganku. Meskipun aku sudah sehat sekarang, tapi aku hanyalah pria yang tidak punya apa-apa sama sekali. Kamu yang tidak mau menikah denganku kan?”Calia tersenyum tipis, “Kamu salah Arwan. Aku mau menikah denganmu. Tapi aku takut kalau perasaanmu padaku itu hanya sementara. Bukan karena kamu benar-benar mencintaiku, sebab dari usia saja, kita ini..”Ucapan Calia tergantung saat jari Arwan menempel di bibirnya.“Kenapa mengatakan soal usia? Lagian tidak ada orang yang tahu ini. Meskipun tahu juga apa masalahnya? Bahkan banyak orang-orang yang istrinya lebih tua 15 tahun dari sang suami, tapi mereka baik-baik saja. Kita hanya selisih berapa tahun. Kurasa bukan itu masalahnya. Mbak Calia pasti ingin menolak aku secara halus kan? Aku paham kok, Mbak. Tidak apa-apa.”“Eh bukan begitu kok. Kamu salah paham.” Calia langsung menarik tangan Arwan.“Aku tidak menolakmu. Aku mau ko

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 72. Tenyata Rehan tidak setuju

    Namun ketika bu Lina menyampaikan segala unek-unek di hatinya pada Dinda dan Riko, mereka berdua justru tertawa kecil.“Bu Lina, jangan seperti itu. Sekarang ini tidak perlu memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan seperti itu, itu tidaklah penting. Yang terpenting sekarang adalah anak Ibu sudah sehat. Ibu pasti sudah tahu kan hubungan mereka? Ibu juga pasti sudah tahu bagaimana Calia mencintai anak Ibu dan bagaimana anak Ibu mencintai Calia. Mereka sama-sama saling mencintai, sekarang hanya kita tinggal menikahkan mereka. Soal urusan masa depan dan urusan lainnya itu adalah urusan mereka kelak. Mereka sudah sama-sama dewasa mereka bisa mandiri tanpa menyusahkan kita lagi.” Tutur Dinda.Bu Lina menunduk, dia benar-benar malu dengan keadaannya. Tapi dia merasa sangat bahagia sekali. Bu Lina mengangguk samar, kembali mengucapkan terima kasih berulang kali. Juga meminta maaf atas segala kekurangan anaknya.Jadi keputusan dua kedua orang tua ini adalah, menyetujui soal pernikahan Cali

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 73. Menikah di kota saja.

    Riko berdehem kecil, kembali berbicara lagi“Sebenarnya jujur saja, aku juga merasa sedikit keberatan jika Calia menikah di sana, karena aku juga punya keinginan bisa menikahkan putriku di sini. Kamu juga tahu kan, kalau orang-orang di sini tidak ada yang tahu jika Calia itu bukan Putri kandungku. Mereka semua pasti bertanya-tanya kenapa aku menikahkan putriku di kampung, bukannya di sini. Padahal aku belum pernah mengadakan pesta apapun.”Dinda benar-benar tertegun. Dia sangat merasakan bersyukur Rehan memberi pendapat demikian, jika tidak, dia pasti telah membuat Riko kecewa.“Iya Mas. Aku juga berpikiran seperti itu.” ujar Dinda untuk menutupi kesalahannya kembali.“Tadi, Calia juga mengatakan hal yang sama. Rehan pun berpendapat seperti itu Jadi pada akhirnya, Calia memutuskan untuk pulang. Mereka akan menikah di sini saja Mas. Bagaimana?”“Bagaimana apanya? Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Calia, tentu aku sangat senang sekali. Aku merasa bangga bisa menikahkan putriku di

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 74. Jodoh dari kakek

    Mereka tertawa sekaligus sedih melihat keadaan bu Marni yang benar-benar teler di tengah pernikahan Calia. Bu Marni hanya sempat berdiri sebentar di tengah pesta kemudian kembali ke kamar hotel diantar oleh Fiah.“Aduh ya ampun, Fiah. Kepala ibu benar-benar berat dan perut ibu terus-terusan mual.” rengek Bu Marni.Fiah tersenyum kecil, memijat-mijat pelipis ibunya.“Tidak apa-apa Bu, mabuk perjalanan memang seperti itu. Tapi nanti juga sembuh sendiri kok. Yang penting Ibu sudah ada di sini, itu pasti membuat Calia bahagia. Kasihan kan Bu, Calia. Dia menikah tanpa hadirnya Ayah kandungnya, kalau Ibu tidak datang, pasti dia makin bersedih.”“Iya, ibu memikirkan itu, makanya di bela-belain ibu teler ibu tetap datang karena Ibu memikirkan itu. Tapi sepertinya tidak seperti itu, Fiah. Meskipun ayah kandungnya Calia tidak ada, Riko benar-benar bisa mewakili Alex dengan sangat baik.”“Iya benar Bu, sejak Mbak Dinda bertemu dengan Mas Riko, tidak ada lagi kata penderitaan untuk mereka berdua.

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 75. Ternyata Gadis penebus hutang.

    "Eh, ya iya. Kan sudah jadi perjanjian kita. Kamu harus mau, apa akan aku tendang dari rumah ini."Al terbengong. Ini bukan masalah perjodohan. Tapi bisa-bisanya Kakek menjodohkan dia dengan wanita seperti ninja begitu? Mana namanya udik Banget. Ya ampun, Patonah?Al mendesah kesal."Dia baru saja datang dari kampung tadi pagi lho, Karena permintaan kakek."Ya ampun!! Jadi dia dari kampung? Oh my God!Al sampai hampir sesak memikirkan keputusan kakeknya."Dan kamu Pantonah, ini lah Al, cucu Kakek yang Kakek ceritakan padamu. Semoga setelah kalian menikah, kamu bisa membimbing Al agar bisa menjadi imam yang baik."Al makin geleng kepala. Kakek malah mengatakan kalau wanita itu disuruh membimbingnya. Bukankah itu terbalik? Benar-benar menjatuhkan harga dirinya.Belum juga Al membuka suara, Kakek sudah meminta gadis itu untuk kembali ke kamarnya saja Karena Kakek ingin berbicara empat mata padanya.Setelah Gadis itu pergi, Kakek menatap Al. "Bagaimana menurutmu pilihan kakek, Al? Dia itu

Bab terbaru

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab. Keluarga Yang Sempura

    Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 134. Masa depan mungkin penuh dengan ketidak pastian

    Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 133. Sangat bangga padanya

    Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 132. Masa depan yang cerah

    “Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 131. Keyakinan Baru

    Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 130. Kenapa belum bisa bicara?

    Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 129. Keterlambatan Motorik

    Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 128. Gangguan lain

    Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 127. Latihan

    Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s

DMCA.com Protection Status