Bagaimana Azura tidak bisa mengatakan itu,ketika Arumi yang dulu juga kesusahan dalam mendapatkan keturunan tapi masih bisa diselesaikan dengan cara prosedur bayi tabung. Sementara Laura juga yang kesulitan hamil karena sebuah riwayat penyakit pun masih bisa diatasi dengan jalan program hamil dan ramuan dari Bu Mila yang bisa menyebabkan kandungan Laura kembali subur dan bahkan telah mendapatkan seorang putra dalam pernikahan mereka.Tapi kenapa untuk Azura semua jalan rasanya telah tertutup? Dokter tidak dapat membantunya, Bu Mila juga tidak dapat membantunya saat ketika waktu itu pernah dimintai tolong langsung oleh Wulan sekalipun.Bu Mila bukan tidak pernah datang ke kota, diantar langsung oleh Rehan dan Laura pada saat itu. Bu Mila dengan segala kemampuan dan pengetahuannya mengenai ramuan herbal penyubur kandungan telah dikerahkan. Tapi tetap, hasil tidak menunjukkan tingkat keberhasilan barang satu persen pun.“Apa tidak ada peningkatan sedikitpun, Bu Mila?” Suatu hari Wulan b
“Azura, maafkan aku. Aku,” Amar mengulurkan tangannya, ingin mengusap air mata Azura, namun tangannya ditepis kasar oleh Azura.“Kamu mematahkan hadapanku, Amar. Apa kamu tahu, jika aku sangat ingin hamil? Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa hamil, dan kita bisa punya anak. Tapi kamu menolak? Kenapa, Amar? Kenapa?”Amar menunduk, beberapa saat lamanya kemudian dia mendongak, air matanya jatuh ke pipi. Dia menjatuhkan dirinya. Berlutut di hadapan Azura. Meraih dua tangan Azura dan menciumnya beberapa kali.“Aku sangat mencintaimu. Aku rela memberikan seluruh hidupku untuk kamu. Apapun yang terjadi, tanpa anak selamanya pun bagiku tidak masalah. Karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku hanya denganmu. Sampai aku tua, sampai ajal yang memisahkan kita.”“Azura, mana bisa aku setuju kamu hamil dengan cara seperti itu. Mana bisa aku membiarkanmu mengandung dan melahirkan anakku dengan wanita lain? Itu sama saja aku mengkhianati kamu. Aku tidak mau. Aku memilih hidup tanpa anak dari
Orang-orang kelihatan sangat panik. Tidak ada yang dimintai pertolongan karena kebetulan jalanan memang sangat sepi hanya ada mobil Mereka yang kebetulan lewat dan distop oleh mereka.“Bagaimana ini?” satu orang berteriak. Dua orang korban itu telah terkapar tak sadarkan diri, sedangkan sang bayi yang mungkin belum genap berusia 1 bulan dalam dekapan ibunya yang juga sudah tak sadarkan diri dengan luka yang lumayan parah.“Pakai mobil kami saja, Pak! Tolong Pak, kalian bantu masukin ke jok belakang, biar kami yang bawa ke rumah sakit.”“Iya benar. Iya benar! Tolong ya Mas, tolong ya mbak ya, tolong. Kasihan mereka Mbak, Mas. Ada adik bayinya ini.” satu orang berkata dengan panik.Lalu orang-orang menggotong pasangan suami istri itu ke dalam mobil Amar, sementara bayi yang masih merah itu diambil oleh Azura. Tangan Azura gemetaran menatap wajah bayi mungil itu yang berlumuran darah .Ada rasa yang sangat sakit menusuk ulu hatinya melihat keadaan bayi merah yang sepertinya juga terluka
Azura mengangguk, “Katakan saja, kami pasti akan membantunya selagi bisa. Yang terpenting mbaknya jangan banyak pikiran dulu agar cepat bisa sembuh. Kasihan ada k bayinya.”Wanita itu terlihat kepayahan mengatur nafas, kemudian kembali berbicara dengan masih terputus-putus.“Titip anak saya ya mbak. Dia tidak punya sanak saudara. Dia hanya punya saya dan ayahnya. Tolong titip anak saya, Mbak. Biar dia bisa merasakan kehidupan di dunia ini lebih lama lagi.”****"Baiklah, kami akan segera mengurusnya. Kami hanya meminta data dari Saudara Amar dan istri, untuk memasukkan data bayi itu ke dalamnya. Tolong siapkan nama untuk bayi itu," ucap kepala rumah sakit."Apakah kami perlu ke pengadilan untuk mengurus surat adopsi bayi itu?" tanya Ega."Sepertinya itu tidak perlu. Memang benar, seseorang yang akan mengadopsi bayi biasanya perlu melalui pengadilan untuk mengurus surat adopsi. Namun, syaratnya adalah adanya keluarga kandung sang anak yang menjadi saksi dan penyerahan. Akan tetapi, dal
"Arumi, biarkan saja. Rayyan masih kecil. Belum mengerti apa itu istri.""Justru karena dia masih kecil seharusnya belum berpikir sejauh itu!""Rayyan hanya melihat kita, melihat Paman dan Bibinya. Lalu dia menganggap jika Istri itu adalah orang yang paling dekat dengan kita. Wajar jika dia berpikiran tidak mau beristrikan orang lain. Jangan diambil hati ucapan anak kecil.” ucap Azam pada istrinya.Arumi merasa aneh dan tentu khawatir."Kalau ucapan Rayyan kelak benar-benar melakukannya bagaimana?""Ya ampun, Arumi. Kenapa jadi baper sih? Rayyan masih kecil. Nanti kalau dia sudah besar belum tentu juga masih berpikir seperti itu. Ayo kita pergi. Aku sudah tidak sabar ingin melihat bayi Azura.”Arumi setuju dengan pendapat Azam tidak lagi memikirkan ucapan Rayyan tadi pada akhirnya mereka pun berangkat ke rumah orang tua mereka.Sampai di sana Mereka pun tercengang bukan main melihat bayi mungil perempuan yang begitu manis dan cantik.Jika dilihat-lihat wajah bayi itu begitu mirip deng
Azura menatap bayi mungil di pelukannya dengan campuran perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasa syukur, bahagia, dan juga sedikit ketakutan bersarang dalam hatinya. Bayi perempuan yang diberi nama Amara itu kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Meskipun tidak pernah ia sangka, bayi ini datang ke dalam hidupnya di saat-saat yang penuh cobaan dan rasa putus asa.Bayi Amara adalah bayi hasil adopsi, namun Azura merasa seperti bayi itu memang takdirnya. Sejak pertemuan tak terduga saat kecelakaan tragis yang merenggut nyawa orang tua kandung bayi tersebut, Amara kini menjadi putrinya. Kehadiran Amara, meski penuh misteri, memberi warna baru dalam hidup Azura dan Amar. Sebuah kehidupan baru yang datang tanpa diduga, seolah takdir Tuhan yang tidak bisa mereka hindari.Saat Amar memarkir mobil di halaman rumah mereka, Azura masih memeluk erat bayi Amara. Tangis bayi itu sudah berhenti sejak mereka meninggalkan rumah sakit, seolah bayi itu tahu bahwa kini ia berada di t
Pagi itu, Azura sedang duduk di kursi goyang di samping boks bayi Amara. Dia menatap wajah bayi itu dengan perasaan yang campur aduk. Amara tertidur nyenyak, wajahnya tenang seolah dunia di sekitarnya tidak ada masalah. Azura menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Amar yang baru selesai dari kamar mandi, datang dan duduk di sebelah Azura.“Kamu sudah bangun lebih awal lagi hari ini?” tanya Amar dengan senyum lembut di wajahnya.Azura mengangguk pelan. “Amara terbangun tadi malam. Aku tidak bisa kembali tidur setelah itu,” jawabnya. “Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”Amar memandang wajah istrinya dengan cermat. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Azura sejak mereka membawa pulang Amara. Dia bisa merasakan kecemasan istrinya, meskipun Azura jarang mengungkapkannya. Amar mendekat dan mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Azura. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya, penuh perhatian.Azura terdiam sejenak, menatap tan
Azura mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada rasa bersalah yang masih menghantui. Dia ingin jujur kepada ibunya, tetapi kebohongan ini sudah terlalu jauh untuk diungkapkan sekarang. Lagipula, Wulan tampak sangat bahagia dengan kehadiran Amara, dan Azura tidak ingin menghancurkan kebahagiaan itu.Ega yang duduk di kursi seberang ikut tersenyum. "Azura, kamu terlihat semakin bersinar sejak jadi ibu. Papa bangga melihat bagaimana kamu merawat Amara," katanya dengan nada lembut. Amar yang duduk di sampingnya menepuk bahunya."Kita semua tahu betapa sulitnya perjalanan ini bagi Azura," tambah Amar. "Tapi dia selalu kuat. Aku sangat bangga pada istriku."Azura merasa hatinya hangat mendengar dukungan dari keluarganya. Meski kebohongan itu masih ada, dukungan tanpa syarat dari orang-orang yang ia cintai membuatnya merasa sedikit lebih ringan.Sambil berbicara, Wulan mulai bercerita tentang rencananya untuk Amara. “Ma, Pa, aku ingin mengadakan syukuran untuk Amara. Kita tidak sempat mengad
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s