Buanglah sampah pada tempatnya, seperti itu yang sedang Rachel pikirkan.
Dion terkesiap, lalu menjauhkan Nana darinya. Dia hendak berdiri, tetapi kakinya terasa sangat lemas dan kesemutan. Dion pun berjongkok kembali sambil memijat kaki."Kak Dion tidak apa-apa?" tanya Nana khawatir.Sementara itu, Rachel sudah digendong dan dibawa pergi oleh Mahendra. Untungnya, badan tegap Dion menutupi Nana dan tak terlihat dari arah pintu."Tidak apa-apa. Sebentar ... kakiku kesemutan."Setelah Dion berdiri, mereka berdua saling bertatapan dan sama-sama berpaling karena merasa canggung. Dion lantas menggandeng Nana ke arah pintu masuk tanpa kata.Sebelum masuk ke dalam, Dion bertanya, "apa yang kamu beli sampai aku tidak boleh tahu? Dan kenapa malah kamu minta tolong pada orang itu?""Besok Kakak tanya sama Kak Rangga atau Ibu Martha saja. Maaf Kak ...." Nana kembali menunduk penuh penyesalan.Dion tiba-tiba mengecup kening Nana seraya mengusap bibir merah muda itu. "Maaf kalau aku hampir menyentuhmu.""T-tidak, Kak. Kakak tidak salah ....""Aku akan melanjutkan nanti,
"Mas ... ini menakutkan ...." Vina menggeliat di ranjang dengan kedua tangan diborgol, juga mata tertutup kain hitam.Sebuah benda aneh dimasukkan ke dalam mulutnya, Vina semakin panik dan ingin mengakhiri ini semua. Dia sudah membayangkan Rangga akan melakukan sesuatu di luar batas. Nyatanya, Vina lah yang dibuat melayang tinggi oleh sentuhan-sentuhan lembut yang Rangga ciptakan."Kamu suka?" bisik Rangga.Vina menggelengkan kepala karena mulutnya masih tersumpal kencang. Sementara pria yang kini ada di atas tubuhnya, merasakan sebuah kemenangan karena bisa bebas mendominasi wanitanya.Rangga melepaskan semua atribut yang membelenggu istrinya. Vina mengerjap untuk menyesuaikan indra penglihatan. Napasnya menderu di saat mulut tak lagi tersumpal."Mas ... buang itu semua ...," pinta Vina sambil mengatur napas.Rangga berbaring dan memeluk istrinya. Vina menaikkan selimut untuk menutupi tubuh mereka, tetapi Rangga menendang selimut itu jauh-jauh.Melihat betapa indah wanita di bawah ku
"Kamu bisa saja, Juna. Justru kamu yang banyak berubah!" seru Vina.Vina menatap Juna dari kaki hingga kepala dan berulang-ulang. Pemuda yang dulu gemuk berkacamata tebal, berubah menjadi pria gagah dan tampan, yang sekarang tidak menggunakan kacamata lagi."Aku masih sama seperti dulu, Vina." Pipi Juna bersemu merah mendapatkan pujian dari mantan teman SMA-nya."Ehem." Rangga berusaha menarik perhatian istrinya karena merasa ditinggalkan dan kesal dengan reaksi Juna."Oh, iya, kenalkan ... dia suamiku." Vina menepuk lengan Rangga."Oh, kamu sudah punya suami ...." Juna terlihat sedikit kecewa.Juna dan Rangga berjabat tangan. Dua pria itu saling menatap tajam singkat. Lalu Juna kembali berpaling menghadap Vina. Bahkan, Juna tak bertanya nama suami Vina atau memperkenalkan dirinya."Iya, anakku juga sudah dua," pamer Vina. "Kamu sudah menikah?""Belum. Cintaku habis untuk gadis di masa lalu. Ternyata sudah terlambat ...," jawab Juna.Juna menatap Vina sarat makna, tetapi Vina tak sadar
"Yang benar saja, Mas! Masa aku pakai baju seperti ini?" Vina melemparkan diri ke atas ranjang dan membuang gaun yang dipilihkan Rangga ke atas kepalanya."Tidak suka warnanya?" tanya Rangga pura-pura tak mengerti."Ini kebesaran, Mas! Cocoknya untuk selimutan. Aku tidak jadi berangkat saja. Biar nanti aku minta nomor guruku kepada Juna. Dia pasti mau mengantarku ke sana," pancing Vina.Rangga membuka lemari kecil dan bersiap mengambil alat-alat mainan pemberian Martha seraya bertanya dengan nada mengancam, "kamu mau selingkuh dengan pria yang namanya Juna Juna itu?"Mata Vina membeliak. Dia hanya ingin supaya Rangga mau membebaskan dirinya berpakaian sesuka hati. Lagi pula, semua bajunya tak ada yang seksi."Tidak, Mas! Habisnya, Mas Rangga keterlaluan sekali! Aku 'kan mau bertemu teman-temanku. Aku dulu sering diejek teman-teman sekelasku karena tidak punya baju-baju bagus kalau ada acara sekolah. Masa sekarang pakai baju seperti ini." Sudut mulut Vina melengkung ke bawah, mirip Rac
Selagi Vina masih terkejut dengan hubungan antara Anggara dan Olivia, orang lain datang mendekat pada mereka. "Aduh, Liv, tolong aku ... ada barangku yang ketinggalan di ruang B1. Aku sedang sibuk mengurus yang lain bersama panitia lain.""Aku juga sibuk tahu!" tolak Olivia."Vina ... kamu bisa membantuku? Cuma mengambilkan kotak-kotak kado yang akan digunakan untuk salah satu hadiah kejutan nanti setelah permainan.Vina sebenarnya enggan karena niatnya datang hanya untuk bicara dengan mantan gurunya. Namun, Pak Romi juga belum datang. Tak ada salahnya membantu teman."Baiklah ...," jawab Vina.Oliva tentunya ingin merekam adegan di mana dirinya dapat mempermalukan Vina. Dia pun berinisiatif membantu agar dapat melihat secara langsung."Tunggulah di tempat para guru dulu, Vin. Aku ke tempat panitia sebentar, lalu membantumu karena kotak kadonya cukup banyak," ujar Olivia.***Di tempat parkiran, Rangga baru saja selesai menelepon rekan bisnisnya. Dia medengkus kesal dan keluar dari mo
Cairan putih kental membasahi kepala, lalu turun dengan cepat hingga menutupi tubuhnya. Rangga menggeram marah tatkala jas hitamnya terkena percikan noda.Di samping Rangga, Juna ternganga melihat temannya basah kuyup terkena cat putih. Kedua telapak tangannya terbuka dan mengambang di depan dada karena ikut terkena cat."Apa-apaan ini?!" bentak Rangga seraya melihat ketiga teman wanita Vina secara bergantian.Wajah Olivia dan Ayu terlihat pucat pasi. Sosok pria yang mereka idam-idamkan, berubah begitu menyeramkan dengan tatapan tajam yang seolah-olah melubangi jantung mereka."Siapa orang ceroboh yang menaruh cat di atas pintu?" Tangan Vina gemetaran karena sangat terkejut. Dia buru-buru mengambil tisu dari tasnya, lalu membantu Nadia bangun.Melihat tangan istrinya terkena cat dari lengan Nadia, Rangga segera menjauhkan Vina darinya. Dia mengusap telapak tangan Vina agar tak ternoda. Kemudian menggantikan Vina membantu Nadia berdiri.Juna mengambil kain dari dalam ruangan, lalu melin
"M-mas ... Vina Cakrawala itu siapa?" Mulut Vina ternganga, begitu juga dengan semua orang yang ada di sana. Bedanya, Vina terkejut oleh tindakan Rangga tanpa sepengetahuan dirinya. Sementara orang-orang itu terkejut oleh nominal yang disumbangkan Vina Cakrawala."K-kamu ... Siapa lagi?" Rangga menjadi gugup setiap kali tak sengaja membuat kesalahan kepada istrinya. Rangga tak ingin jika Vina sampai marah dan pergi meninggalkan dirinya. Terkadang, Rangga suka berpikir jauh karena terlalu mencintai Vina.Bayangan Vina hidup sendiri bersama Rachel tak jarang menghantui Rangga. Vina dapat hidup mandiri tanpa dirinya. Karena itu, Rangga selalu memikirkan segala sesuatunya secara berulang-ulang agar tak membuat Vina marah, kecewa, ataupun bersedih.Keringat Rangga bercucuran semakin deras tatkala melihat Vina melotot padanya. Ketika tahu ada acara donasi untuk panti asuhan, Rangga segera melihat catatan keuangannya. Biasanya Rangga menyumbang lebih dari itu. Dia tak merasa ada yang salah
"Maafkan saya karena gagal mendidik anak saya, Pak." Suara seorang pria paruh baya terdengar bergetar menahan kegugupan dan amarah kepada wanita di sampingnya.Gilang Haidar bersama anaknya, Nadia, kini duduk di hadapan Rangga sambil menundukkan kepala. Nadia telah menceritakan kepada Gilang atas perbuatan buruknya kepada istri Rangga, yang juga teman SMA-nya.Semalaman penuh Nadia dimarahi ayahnya. Sekarang, dia masih harus berurusan dengan Rangga lagi. Karena sikap buruk anaknya, Gilang yang selama ini selalu melakukan tugas dengan baik dan tanpa cela, namanya harus tercoreng oleh kebodohan anaknya sendiri."Kamu ingin mencelakakan istriku?" tuding Rangga kepada Nadia. Jelas sekali jika Nadia tahu apa yang terjadi malam kemarin."T-tidak, Pak.""Lalu siapa yang membuat ide gila menyiram istriku dengan cat itu?"Nadia lantas menceritakan semuanya tanpa terkecuali, termasuk keikutsertaan dirinya hendak mengejutkan Vina dan diam saja saat mendengar rencana kedua temannya. Informasi dar
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto