Dion punya alter ego ternyata 😆
"Ganti semua asisten rumah tangga dengan orang baru yang bisa dipercaya," titah Rangga."Baik, Pak. Orang yang memberikan obat bius itu sudah digiring ke kantor polisi bersama Seno dan komplotannya.""Belinda sudah ditangkap?""Mereka tidak mau mengaku saat ditanya polisi. Semua kesalahan dilimpahkan pada Seno yang mengaku butuh uang dan akan memeras para orang tua. Jika kita memberikan rekaman interogasi kemarin, Seno bisa menuduh kita yang memaksa dia untuk mengatakan hal tersebut.""Baiklah. Pergilah ke rumah."Dion diam-diam tersenyum saat menunduk. "Baik, Pak."Pekerjaan Dion kini berkurang karena Rangga menambah asisten lain untuk mengurusi masalah kantor dan sekretaris yang baru pun lumayan cekatan. Dion bisa bersantai sambil bermain bersama anak-anak dengan dalih menjaga keamanan mereka.Ketika Dion hampir meraih gagang pintu, Belinda membukanya lebih dulu. Pintu itu hampir saja menabrak Dion."Lihat-lihat kalau jalan!" bentak Dion sambil menatap nyalang Belinda. Tampang garan
"S-sesak ...."Debaran jantung dan getaran setiap tarikan napas Rangga terdengar jelas di telinga Vina. Dia kemudian teringat saat di tenda dan mendengar suara yang sama dari dalam dada Rangga.'Ternyata, yang waktu itu bukan suara jantungku,' batin Vina."Sebentar lagi," ucap Rangga pelan.Apakah Rangga hanya ingin memiliki Rachel dan Vina sehingga mengatakan cemburu? Atau karena Rangga memiliki perasaan padanya?Vina terlalu malu untuk bertanya dan memastikan. Seumur-umur, hanya Rangga yang pernah sedekat ini dengannya. Vina tak memiliki pengalaman ataupun keberanian untuk berbicara tentang asmara.Rangga mengendurkan pelukan, lalu mengangkat dagu Vina. Mata jernih pria itu terus menatap bibirnya. Vina pun memalingkan wajahnya. "J-jangan begini. Aku tidak mau dicium dan disentuh-sentuh lagi dengan pria yang tidak memiliki status apa pun denganku.""Siapa yang mau menciummu? Sepertinya, kamu yang mengharapkan itu. Bilang saja kalau kamu memintaku untuk menciummu. Aku akan mempertimb
"Apa Pak Mahendra sudah tahu tentang Rachel?" tanya Dion.Vina juga sempat berpikir yang sama karena Mahendra mengancam dengan menggunakan nama anaknya. Tetapi, seharusnya Rangga juga dipanggil ke sana, bukan?"Tidak mungkin. Kakek pasti akan menghajarku lebih dulu sebelum memanggil Vina," ucapan Rangga menguatkan pemikiran Vina."Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Vin? Bilang saja, kamu sedang sibuk atau di luar kota," usul Dion."Itu tidak mungkin. Pak Mahendra akan mencariku dan menemukan aku yang tinggal di rumah cucunya." Vina melirik Rangga."Ibu tidak mau kalau Mahendra sampai menyakiti Vina. Kamu antar Vina ke sana, Nak Rangga. Biar Ibu dan Dion yang mengurus anak-anak."Rangga bersiap bangun dari kursi dan meminta Dion kunci mobilnya."Tidak, aku akan pergi ke sana sendiri. Siapa tahu, Pak Mahendra hanya ingin membicarakan tentang masalah katering. Jangan khawatir, Bu. Aku akan baik-baik saja." Vina menepuk bahu Martha."Aku akan mengantarmu." Rangga memutuskan."Tidak. Pak Mah
"Ini tidak benar!" Vina mengibaskan kertas di tangannya.Mahendra memicingkan mata. Perempuan yang dianggap Mahendra ingin mengeruk harta itu seharusnya senang dengan penawaran darinya. Vina justru menyangkal tes DNA itu. Apakah Vina ingin menghancurkan Cakrawala Group menggunakan anaknya saat Mahendra sudah tak ada? Mahendra jadi semakin membenci Vina karena bayangannya sendiri."Kamu ternyata bukan cuma perempuan hina dan murahan. Kamu perempuan serakah yang ingin menjadi istri keturunan Cakrawala agar mendapat semua hartaku dengan memanfaatkan orang bodoh seperti Julian!" Mahendra tanpa henti terus menghina Vina.Vina mengabaikan apa pun yang keluar dari mulut Mahendra. Dia lebih ingin membantu Julian agar bisa segera keluar dari rumah ini."Kamu bisa berdiri? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." "Vin, Kakek sedang bicara dengan kamu. Kakek bisa lebih marah lagi kalau kamu mengabaikan kata-katanya," ujar Julian."Mau Pak Mahendra marah atau tidak, itu bukan urusanku. Aku tidak me
"Setelah kita menikah, Belinda tidak akan bisa menuntut untuk menikah denganku. Kakek juga, mau tak mau harus menerima kamu dan Rachel. Dan aku akan lebih mudah melindungimu saat kita sudah menikah," ungkap Rangga.Vina menoleh ke arah Rangga, tetapi Rangga mendorong kepala Vina agar tak bisa menatap dirinya. Vina sangat penasaran, ekspresi apa yang ditunjukkan Rangga sekarang?Vina sangat ingin melihat Rangga. Walau wajah Vina sendiri merah padam karena pernyataan Rangga barusan. Dan meskipun Rangga meminta Vina menikah hanya untuk menyelesaikan masalah dan demi masa depan Rachel juga tentunya."Kita tidak bisa menikah secepat itu, apalagi tanpa restu Pak Mahendra. Aku ... juga belum siap," jawab Vina kemudian. "Restu Kakek tidak dibutuhkan untuk syarat menikah. Dan aku tidak sedang minta pendapatmu. Tetapi, aku memberi tahu rencanaku," tegas tangga. "Apa maksudmu?""Kita tetap harus menikah secepatnya. Aku yang akan mengatur semua. Kamu cukup diam di rumah menjaga Rachel."Suasana
"Eh, ini mau dibawa ke mana Bos saya?!" bentak Ida. Teman-teman Vina mencoba membantu Vina tatkala empat pria itu menyeret Vina dan Rachel masuk ke dalam mobil.Tetapi, usaha mereka sia-sia. Pengawal Mahendra bertambah banyak untuk menghalau mereka."Apa yang Anda lakukan?! Jangan sentuh putri saya!" teriak Vina.Vina sangat ketakutan, juga marah luar biasa tatkala para pengawal itu memisahkan dirinya dengan Rachel. Vina dibawa ke mobil lain, sedangkan Rachel masuk bersama di mobil Mahendra.Rachel juga ketakutan sampai tak bisa berkata-kata, takut jika para pengawal itu akan menampar dirinya jika bicara atau menangis. Rachel pun teringat lagi pada para penculik yang menyakiti Nevan.Alhasil, Rachel hanya menurut. Rachel didudukkan di kursi penumpang belakang, bersebelahan dengan Mahendra."Rachel! Saya akan melaporkan kalian semua ke kantor polisi!" ancam Ida sambil menggedor-gedor kaca mobil, setelah para pengawal memasuki mobil masing-masing.Rachel menatap teman bundanya penuh har
"Ha ha ha! Akhirnya, semua masalahku berakhir!" pekik Belinda.Belinda berguling-guling di tempat tidur sambil tertawa-tawa bahagia. Dia senang sekali, akhirnya rencananya berhasil. Akan tetapi, masih ada satu masalah lagi yang harus Belinda selesaikan. Belinda melompat dari tempat tidur, lalu berjalan menuju salah satu kamar di lantai tiga. Di lorong yang menghubungkan kamar itu, para pengawal menjaga di kedua sisi dinding. Belinda berjalan melewati mereka seperti biasanya sambil tersenyum sopan. Lalu, mendekati salah satu pengawal. "Apakah anak Julian ada di sini? Bolehkah aku melihat calon keponakanku?" tanya Belinda dengan suara yang begitu lembut mendayu-dayu dan menggoda para pengawal itu.Para pengawal yang semua berjenis kelamin lelaki itu, takjub dan kagum saat bisa melihat dan bicara langsung dengan model internasional yang sangat cantik dan terkenal. Mereka terlihat sangat terpesona oleh Belinda."Iya, Nona. Nona Muda ada di dalam," jawab salah satu pengawal dengan wajah
"Apa katamu?" Mahendra membeliakkan mata sampai hampir keluar dari tempatnya.Vina juga tak kalah terkejut dari Mahendra. Dia sampai menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan. Rangga tak seharusnya membongkar rahasia mereka.'Rachel ... tidak ... Pak Mahendra pasti akan mengurung Rachel!' Vina ingin mengatakan itu pada Rangga, tetapi lidahnya sangat kelu dan tidak dapat berbicara apa-apa."Anak Vina adalah anakku! Aku akan menikahi Vi-"PLAK!Vina memekik tertahan ketika Mahendra menampar wajah Rangga sampai bibirnya terluka dan sedikit berdarah.Julian menghampiri Vina dan berbisik, "kamu keluar dulu, Vin."Vina masih membeku di tempat karena terkejut sekaligus khawatir. Dia hanya menurut saat Julian merangkul dan membimbing dirinya menuju pintu.Kepala Vina terus-menerus menoleh ke arah Rangga. Dia menghentikan langkah kala Rangga memandangi Julian yang ada di sampingnya.Vina pun tersadar dari keterkejutan, lalu menepis halus tangan Julian dari pundaknya. "Julian, aku tidak ap
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto