Marc sebenarnya tidak setuju dengan pernyataan mamanya. Menurutnya, Sarah menikmati kegiatannya sebagai ibu baru. Namun untuk menenangkan hati Lucy, Marc mengangguk.“Jangan terlalu sibuk hingga kamu melalaikan Sarah.” Sebelum keluar, Lucy mengingatkan putranya.Kembali, Marc mengerutkan kening. Ia jadi bingung sendiri mengapa Mamanya merasa ia dan Sarah seperti sedang ada masalah. Marc berdiri lalu keluar dari ruang kerja.Saat masuk ke dalam kamar, ia tidak menemukan Sarah. Marc berrtanya pada pelayan yang kemudian mengatakan bahwa Sarah sedang menemani Vivi dan susternya.Marc masuk ke kamar bayi dan menemukan Sarah termenung sendiri di balkon. Ia menatap sekeliling dan tidak menemukan Vivi di kamar tersebut.“Sayang?” Marc menghampiri istrinya.Terkejut, Sarah membalik tubuhnya dan memaksakan senyum manis. Marc mengamati ekspresi Sarah lalu memeluknya.“Kamu kenapa?”Sarah hanya menggeleng. “Tidak apa-apa.”“Mana Vivi? Aku pikir kamu sedang menemani Vivi?”“Oh, tadi aku sedang mer
Bukannya Sarah kini membenci Arzan. Tidak. Ia tetap menyayangi putra angkatnya itu. Hanya saja, kali ini ia berharap bisa berduaan saja dengan sang suami.Mereka menunggu Arzan mengganti pakaian. Semangat Sarah sudah memudar. Ia sudah tau apa yang akan terjadi di mall nanti.“Aku sudah siap, Ma, Pa.” Arzan datang dengan stelan celana panjang dan kaos yang dilapisi kemeja yang dibiarkan terbuka kancingnya.“Tampan sekali.” Sarah menunduk dan memuji Arzan.“Mama juga cantik.”Sarah terkekeh. “Dari mana kamu belajar menggombal?”Arzan menoleh lalu menunjuk Marc. “Kata Papa, kalau ada yang memuji, kita harus balas memuji.”Tangan Sarah terjulur mengusap kepala Arzan. Mereka lalu bersiap dan melangkah ke pintu keluar. Arzan menggandengn tangan Marc.“Ma, kenapa adik Vivi tidak ikut? Tadi, aku lihat Adik belum tidur.” Arzan mendongak menatap Sarah.Karena tadinya memang hanya mama dan papa saja yang akan pergi untuk berkencan. Sarah membalas dalam hati. Ia memberikan senyum simpulnya pada Ar
Setelah beberapa hari, Sarah masih tampak lebih pendiam. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan Vivi. Sementara Marc yang merasa Sarah sedang fokus mengurus bayi memilih membimbing Arzan.Bahkan kini, setelah Arzan pulang sekolah, ia diantar ke kantor. Marc mengenalkan Arzan pada semua relasinya saat ia membawa sang putra meeting. Kedekatan Marc dengan Arzan dibanding Sarah dan Vivi tak luput dari perhatian Lucy.Apalagi, akhir-akhir ini, Sarah mengeluh ASI-nya berkurang. Vivi jadi lebih rewel. Sarah memutuskan membawa Vivi ke dokter.“Sudah bilang Marc?” Lucy yang ikut menemani bertanya pada Sarah saat mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.“Marc sedang rapat, Ma. Percuma aku telepon.”Lucy mendengar nada pasrah dari bibir Sarah. Wanita setengah baya itu hanya mengelus punggung sang menantu. Namun begitu, diam-diam, Lucy mengirimkan pesan pada putranya.Dokter anak yang memeriksa Vivi mengatakan bahwa bayi itu memang kurang minum. Sarah segera melakukan pengecekan ke dokter lakta
Sarah menahan napas sejenak sambil menatap suaminya. “Tunggu Vivi tidur. Aku harus mengajarinya minum susu dari botol lebih dulu.”Tanpa menunggu balasan Marc, Sarah pergi ke kamar bayi. Meski Vivi saat ini sedang bersama anggota keluarga lain di ruang keluarga, Sarah tetap menunggu suster membawa bayinya ke kamar bayi.Marc memperhatikan suster mengajari Sarah membuat susu formula untuk Vivi. Lalu keduanya mencoba meminumkan Vivi. Bayi perempuan itu menangis saat mulutnya dijejali benda asing.Sarah kembali terisak sedih melihat putrinya kesulitan minum. Marc terpaku dan bingung harus melakukan apa. Ia berpikir ini sesuatu yang sederhana, namun melihat Sarah terpuruk, ia jadi tau masalahnya tidak semudah perkiraannya.Saat melamun, Marc melihat suster memberi kode untuk membawa Sarah keluar. Marc mendekati istrinya dan memeluknya erat.“Biar suster yang mengajari, Vivi, ya. Suster tau apa yang harus dilakukan.” Marc berkata lembut pada Sarah.Meski Sarah terlihat tidak setuju, Marc te
Sarah terbangun pukul dua dini hari. Perlahan ia turun dari ranjang dan menyelinap keluar kamar. Sarah masuk ke kamar bayi dan mengamati putrinya.Vivi tidur lelap. Hatinya miris melihat perlengkapan susu formula dan botol berjejer di samping ranjang putrinya. Namun ia lega, Vivi bisa tidur yang artinya ia sudah kenyang meski tidak minum ASI.Sambil merapatkan kimononya, Sarah kembali ke kamar. Ia tidur miring menghadap Marc. Suami tampannya terlihat tidur dengan kening berkerut. Entah jam berapa Sarah tertidur kembali. Ia menggeliat saat merasa lehernya diciumi. Matanya memicing pada sosok di depannya.“Selamat pagi, Sayang.” Marc tersenyum sambil mengelus kepala Sarah.“Mmm .... “ Sarah bergumam pelan. “Jam berapa?”“Sudah jam tujuh pagi.”Seketika mata Sarah membulat. Ia kesiangan karena biasanya selalu bangun jam lima saat Vivi mau menyusu.“Vivi sedang berjemur. Setelah ini kamu bisa menyusui.” Marc menenangkan istrinya yang kaget.Sarah mengangguk lega. Ia duduk dan menatap sua
“Kenapa Papa tidak mengantarku sekolah?” Arzan bertanya saat mereka sarapan bersama.“Adik Vivi kan sedang demam. Papa ikut jaga Adik dulu, ya.” Marc mengusap sayang kepala Arzan.Arzan mengangguk. “Sebenarnya, aku juga mau jaga Adik Vivi.”“Nanti pulang sekolah kamu bisa jaga Adik. Oke?” Sarah menimpali.Sarah dan Marc mengantar Arzan hingga putra mereka naik ke mobil jemputan. Keduanya mengamati kendaraan sekolah hingga keluar dari pagar rumah. Lalu, Marc menggandeng Sarah masuk kembali ke dalam.“Kamu mau ke kamar Vivi?”“Iya. Sebentar lagi, Vivi mau mandi.”Sarah dan Marc berbincang sebentar dengan Frank dan Lucy yang menginap karena khawatir dengan keadaan cucu mereka. Frank yang saat sarapan telah rapi dengan pakaian kerja sekalian berpamitan untuk ke kantor.Sebelum berangkat, Frank mengajak Lucy dan Marc mengobrol di ruang kerja. Sarah mengerti ada pembicaraan antar keluarga Carrington. Dengan beralasan bahwa ia ingin melihat Vivi, Sarah segera pergi ke kamar bayi.Marc lalu m
“Marsha hamil, Tuan Marc.”Marc mengembuskan napas berat lalu menggeleng pelan mendengar pernyataan dokter jiwa. Akhirnya apa yang Marsha imaginasikan terwujud. Meski ia hamil akibat pemerk*s**n.“Apa hubungannya denganku?” Marc bertanya dengan sikap masa bodoh.“Marsha tidak memiliki siapa pun sekarang. Ayahnya masih di penjara. Beliau yang meminta kami menghubungi Anda, Tuan.”“Maaf, aku tidak lagi dalam kapasitas membantu Marsha.”“Bukan itu maksudnya.”Sekali lagi, Marc mengembuskan napas berat. Kesabarannya menipis mendapat teka-teki dalam dokter Marsha yang berdiri di depannya ini.“Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak akan membantu Marsha. Lagipula, Marsha sudah menjadi tanggung jawab rumah sakit, bukan?”Dokter terdiam. Ia seperti ragu mengungkapkan sesuatu. Tentu saja itu semakin membuat Marc kesal.“Aku tidak ada waktu lagi untuk ini.” Marc berdiri dan berjalan ke arah pintu.“Tuan, tunggu!” Dokter memanggil Marc. “Saya tau Tuan tidak lagi ada hubungannya dengan Marsha. Tetapi
“Kamu yakin ini bisa membuat Marsha dan Benny menjauh dari kehidupan keluarga Carrington?” Marc bertanya ragu pada pengacara pribadinya.Marc dan pengacara memegang berkas perjanjian yang akan diajukan kepada Benny. Tertulis bahwa Marc akan mencabut tuntutan pada Benny hingga lelaki itu bisa bebas bersyarat. Setelah bebas, Benny harus membawa Marsha ke rumah sakit jiwa di luar kota dan mengurusnya.“Salah satu pasal menyebutkan bahwa mereka tidak diperbolehkan mendekati keluarga Carrington secara langsung atau dengan bantuan orang lain.” Pengacara membaca salah satu butir perjanjian.Kembali Marc meneliti kata demi kata. Pengacara pribadinya ini memang bukan pengacara sembarangan. Prestasinya memenangkan berbagai kasus sudah tidak terhitung.Selain itu Frank merekomendasikan pengacara ini karena ia juga sangat dermawan. Beberapa kasus ia bantu tanpa memungut biaya sepeser pun. Terutama pada kaum tertindas.Untuk itu, sejujurnya Marc percaya pada rencana sang pengacara. Apalagi pengaca
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca