Sarah baru akan membuka mulut untuk mengalihkan percakapan tentang kue, pelayan lain datang dan berkata bahwa Ibu Irma ingin pamit pada Sarah.Lucy meletakkan piring kurnya yang telah kosong. “Kalau begitu, Mama pamit juga ya, Sarah.”“Eh, Mama tidak makan malam di sini saja?”Senyum terukir di wajah Lucy. “Masih beberapa jam lagi untuk makan malam. Dan sepertinya, Marc sebentar lagi juga selesai bekerja. Kamu harus menemaninya, bukan?”Tidak bisa lagi menahan Mama mertuanya, Sarah mengangguk pelan. Keduanya keluar dari kamar dan menuju foyer di mana Ibu Irma sudah menunggu.“Ibu Irma.” Sarah menyapa dan memberikan senyumnya.Sarah dan Ibu Irma berpelukan. Setelah mencium kedua pipu masing-masing, Ibu Irma berpamitan akan ke toko kue.“Maaf, Sarah belum bisa ke sana ya, Bu.”“Lho, memang belum boleh. Santai saja. Banyak bantuan, kok.” Ibu Irma berkata dengan anda menenangkan.Kepala Sarah mengangguk dan melihat ke sekitar. “Ibu pulang dengan siapa?”“Supir Papa yang akan mengantar Irm
Sarah berpamitan pada orang-orang yang mengantarnya. Ia memeluk Ibu Irma, Mama Lucy, dan Papa Frank. Setelah itu megangguk santun pada Adrian dan Irwan.Semua orang-orang yang menyayanginya hadir di rumah sakit. Hari ini adalah jadwal Sarah akan melahirkan melalui operasi caesar.“Maafkan Sarah, ya, semua. Mohon doanya.” Sarah melirih di depan semua orang yang mengantarnya ke depan pintu ruang operasi.Setelahnya, Sarah melambai ketika Marc mendorong kursi rodanya ke dalam ruang operasi.“Kenapa Sarah sampai terus-menerus meminta maaf? Ya ampun, kok aku jadi deg-degan?” Lucy menekan dadanya yang berdebar kencang.Ibu Irma memeluk pinggang Lucy dan mengajaknya duduk di kursi. Sementara para lelaki mengobrol di depan pintu ruang operasi yang tertutup rapat.“Dulu kamu melahirkan normal atau caesar?” Lucy bertanya pada Ibu Irma.“Normal.” Ibu Irma menjawab singkat.Lucy mengangguk. “Aku juga. Ya Tuhan, semoga Sarah baik-baik saja.”“Kenapa kamu sangat khawatir?”“Dokter bilang Sarah akan
“Mmm.”Setelah beberapa jam, Sarah siuman. Ia mengerang pelan dan merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. Perlahan, wanita itu membuka mata.“Hai, Mama Sarah.” Marc menyapa istrinya.“Hai.”Lalu, netra Sarah berputar mengamati sekeliling. Ia masih berada di ruang bersalin dengan monitor yang mengawasi keadaannya.“Bagaimana bayi kita?”“Sehat. Perempuan. Sangat cantik.” Marc menjawab sambil mencium buku-buku jari istrinya.“Syukurlah.”Tak lama kemudian, dokter dan suster masuk. Mereka memeriksa keadaan Sarah lalu mengizinkan Sarah pindah ke ruang perawatan. Marc sangat senang karena artinya keadaan sang istri baik-baik saja.“Apa aku boleh melihat bayiku?” Sarah bertanya dengan mata memohon.Dokter mengangguk. “Tentu saja. Bayi anda nanti akan dibawa suster ke ruang perawatan untuk belajar menyusui.”Wajah Sarah tampak berbinar. Marc mengecup dahi Sarah.“Kamu akan takjub pada putri kita. Aku saja langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.”Sarah menatap Marc dengan wajah membe
Sarah harus bersabar karena dokter menolak permintaan Sarah. Menurut dokter, selama di rumah sakit, Sarah harus memanfaatkan waktu istirahat dibanding mengurus bayi.Marc setuju. Ia menenangkan Sarah bahwa mereka bisa saja mengunjungi putri mereka di ruang bayi kapan saja. Sarah akhirnya menyerahkan bayinya pada suster.Ranjang hidrolik Sarah memang tidak besar. Namun begitu, Marc masih bisa tidur di samping istrinya.“Aku pikir nama Vierra Maiza Carrington cocok.” Sarah menoleh menatap suaminya.“Apa saja yang menurutmu bagus, Sayang. Nama pilihanmu bagus. Artinya putri Carrington yang cantik, bijaksana dan cerdas.”“Oke. Kita bisa panggil dia dengan nama kecil, Vivi.”“Setuju.”Sarah tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di dada Marc. Bahagia membuncah dadanya.“Apa jahitannya sakit, Sayang?” Marc bertanya sambil mengelus kepala sang istri.“Suster bilang sekarang aku masih minum anti nyeri. Mungkin besok setelah obat itu dikurangi dosisnya baru akan terasa sakit.”“Bagaimana perasa
Empat bulan kemudian, Arzan resmi menjadi anggota keluarga Carrington. Marc membawa pulang Arzan dari yayasan yatim piatu, sementara Sarah dan anggota keluarga lainnya menunggu di rumah.“Jadi mulai sekarang, kamu panggil aku, Papa. Dan Tante Sarah adalah Mamamu. Kamu punya adik perempuan cantik bernama Vivi.” Marc menjelaskan panjang lebar tentang silsilah keluarga mereka.Arzan mengangguk-angguk. Sebelumnya ia juga telah diberitahu pihak yayasan dan sudah menghapal nama-nama serta wajah keluarga Carrington.Marc juga memperlihatkan secarik kertas pada Arzan. “Namamu adalah Arzan Philip Carrington.”“Baik, Pa.”Tangan Marc terjulur mengusap sayang kepala Arzan. Dalam perjalanan, Marc banyak bercerita tentang Vivi dan harapannya agar Arzan dapat menyayangi Vivi layaknya adiknya sendiri.“Vivi pasti cantik seperti Tante Sarah, ya?” tanya Arzan.“Tante?” Marc mengerutkan kening.“Oh maaf. Cantik seperti Mama.”Marc terkekeh. “Biasakan panggilan itu. Iya, Vivi cantik seperti Mama.”Kemud
Marc menjelaskan pelan-pelan maksud perkataannya pada Arzan hingga anak tersebut mengangguk. Ia memang belum terbiasa menjadi seorang anak yang dilayani karena di panti harus mandiri.Setelah itu, Sarah menunjukkan lemari Arzan yang berisi pakaian. Juga meja belajar serta buku-buku lengkap dengan alat tulis. Arzan terlihat senang.“Nanti setelah dokumenmu siap, kamu juga akan sekolah.”“Aku sudah sekolah, Pa.” Arzan menyahut.“Maksud Papa, kamu akan pindah sekolah. Sekolah yang biasa kamu datangi merupakan sekolah khusus untuk anak-anak panti. Karena sekarang kamu telah memiliki orang tua, maka pendidikanmu akan menjadi tanggung jawab kami.” Marc menjelaskan panjang lebar.“Aku tidak bisa bertemu dengan teman-temanku lagi di sekolah lama?”Terdengar nada khawatir dari suara Arzan. Sepertinya ia telah nyaman berada di sekolahnya yang lama. Namun tentu saja Sarah dan Marc ingin putra angkat mereka belajar di sekolah terbaik.“Kamu akan memiliki teman-teman baru.” Sarah menenangkan Arzan
Sarah dan Marc mengantar Arzan sekolah untuk pertama kalinya. Arzan tampak gugup saat memasuki sekolah besar bertaraf internasional di hadapannya. Tangannya menggenggam erat tangan Marc.“Tenang saja. Ada guru khusus yang akan mendampingimu.” Marc mengusak kepala Arzan untuk menenangkan putranya.Sarah yang berjalan sambil menggendong Vivi tersenyum lembut pada Marc. Ia lalu membungkukkan tubuhnya menghadap Arzan.“Pamit dulu sama adikmu sebelum masuk kelas.” Sarah berkata pada Arzan.Anak lelaki itu mengangguk. Ia mengusap rambut Vivi lalu mencium pipi bayi perempuan tersebut.“Kakak sekolah dulu, ya.”Setelah berpamitan, Arzan masuk bersama seorang guru. Kepalanya sesekali masih menoleh ke belakang saat berjalan seolah tidak ingin ditinggalkan. Hingga kemudian, ia masuk dan tidak terlihat lagi.Sarah dan Marc lalu menyempatkan diri bertemu dengan kepala sekolah. Mereka saling menyapa dan bertukar kabar. Wanita berkacamata dengan rambut disanggul cepol itu menatap kagum pada bayi dal
“Ternyata menyenangkan memiliki anak lelaki.” Marc berkata pada Larry.Dua lelaki mapan sedang mengadakan pertemuan di ruang kerja. Larry datang untuk memberikan laporan perusahaan Marc yang ia pimpin di luar kota. Ia juga memberikan banyak bingkisan untuk Vivi dan Arzan.“Mungkin karena Arzan sudah lebih besar hingga kamu dapat lebih banyak melakukan kegiatan?” Larry menyimpulkan.“Mungkin. Sementara aku masih bingung apa yang aku lakukan jika bersama Vivi.”“Arzan juga terlihat sangat penurut, ya?”“Iya.” Marc mengangguk keras.Cerita tentang kegiatan yang dilakukan bersama Arzan, mengalir lancar dari bibir Marc. Ia berkata, Arzan mulai mengerti bahasa Inggris walau masih sulit membalas. Marc memiliki jadwal khusus untuk melatih sendiri komunikasi putranya dalam bahasa internasional tersebut.“Selain bahasa, aku juga memberikan kegiatan di luar sekolah yang cukup banyak.”“Apa Arzan terlihat lelah?”“Tidak. Dia malah terlihat antusias dan senang belajar.”“Baguslah.”“Aku tidak akan
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca