Sarah berpamitan pada orang-orang yang mengantarnya. Ia memeluk Ibu Irma, Mama Lucy, dan Papa Frank. Setelah itu megangguk santun pada Adrian dan Irwan.Semua orang-orang yang menyayanginya hadir di rumah sakit. Hari ini adalah jadwal Sarah akan melahirkan melalui operasi caesar.“Maafkan Sarah, ya, semua. Mohon doanya.” Sarah melirih di depan semua orang yang mengantarnya ke depan pintu ruang operasi.Setelahnya, Sarah melambai ketika Marc mendorong kursi rodanya ke dalam ruang operasi.“Kenapa Sarah sampai terus-menerus meminta maaf? Ya ampun, kok aku jadi deg-degan?” Lucy menekan dadanya yang berdebar kencang.Ibu Irma memeluk pinggang Lucy dan mengajaknya duduk di kursi. Sementara para lelaki mengobrol di depan pintu ruang operasi yang tertutup rapat.“Dulu kamu melahirkan normal atau caesar?” Lucy bertanya pada Ibu Irma.“Normal.” Ibu Irma menjawab singkat.Lucy mengangguk. “Aku juga. Ya Tuhan, semoga Sarah baik-baik saja.”“Kenapa kamu sangat khawatir?”“Dokter bilang Sarah akan
“Mmm.”Setelah beberapa jam, Sarah siuman. Ia mengerang pelan dan merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. Perlahan, wanita itu membuka mata.“Hai, Mama Sarah.” Marc menyapa istrinya.“Hai.”Lalu, netra Sarah berputar mengamati sekeliling. Ia masih berada di ruang bersalin dengan monitor yang mengawasi keadaannya.“Bagaimana bayi kita?”“Sehat. Perempuan. Sangat cantik.” Marc menjawab sambil mencium buku-buku jari istrinya.“Syukurlah.”Tak lama kemudian, dokter dan suster masuk. Mereka memeriksa keadaan Sarah lalu mengizinkan Sarah pindah ke ruang perawatan. Marc sangat senang karena artinya keadaan sang istri baik-baik saja.“Apa aku boleh melihat bayiku?” Sarah bertanya dengan mata memohon.Dokter mengangguk. “Tentu saja. Bayi anda nanti akan dibawa suster ke ruang perawatan untuk belajar menyusui.”Wajah Sarah tampak berbinar. Marc mengecup dahi Sarah.“Kamu akan takjub pada putri kita. Aku saja langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.”Sarah menatap Marc dengan wajah membe
Sarah harus bersabar karena dokter menolak permintaan Sarah. Menurut dokter, selama di rumah sakit, Sarah harus memanfaatkan waktu istirahat dibanding mengurus bayi.Marc setuju. Ia menenangkan Sarah bahwa mereka bisa saja mengunjungi putri mereka di ruang bayi kapan saja. Sarah akhirnya menyerahkan bayinya pada suster.Ranjang hidrolik Sarah memang tidak besar. Namun begitu, Marc masih bisa tidur di samping istrinya.“Aku pikir nama Vierra Maiza Carrington cocok.” Sarah menoleh menatap suaminya.“Apa saja yang menurutmu bagus, Sayang. Nama pilihanmu bagus. Artinya putri Carrington yang cantik, bijaksana dan cerdas.”“Oke. Kita bisa panggil dia dengan nama kecil, Vivi.”“Setuju.”Sarah tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di dada Marc. Bahagia membuncah dadanya.“Apa jahitannya sakit, Sayang?” Marc bertanya sambil mengelus kepala sang istri.“Suster bilang sekarang aku masih minum anti nyeri. Mungkin besok setelah obat itu dikurangi dosisnya baru akan terasa sakit.”“Bagaimana perasa
Empat bulan kemudian, Arzan resmi menjadi anggota keluarga Carrington. Marc membawa pulang Arzan dari yayasan yatim piatu, sementara Sarah dan anggota keluarga lainnya menunggu di rumah.“Jadi mulai sekarang, kamu panggil aku, Papa. Dan Tante Sarah adalah Mamamu. Kamu punya adik perempuan cantik bernama Vivi.” Marc menjelaskan panjang lebar tentang silsilah keluarga mereka.Arzan mengangguk-angguk. Sebelumnya ia juga telah diberitahu pihak yayasan dan sudah menghapal nama-nama serta wajah keluarga Carrington.Marc juga memperlihatkan secarik kertas pada Arzan. “Namamu adalah Arzan Philip Carrington.”“Baik, Pa.”Tangan Marc terjulur mengusap sayang kepala Arzan. Dalam perjalanan, Marc banyak bercerita tentang Vivi dan harapannya agar Arzan dapat menyayangi Vivi layaknya adiknya sendiri.“Vivi pasti cantik seperti Tante Sarah, ya?” tanya Arzan.“Tante?” Marc mengerutkan kening.“Oh maaf. Cantik seperti Mama.”Marc terkekeh. “Biasakan panggilan itu. Iya, Vivi cantik seperti Mama.”Kemud
Marc menjelaskan pelan-pelan maksud perkataannya pada Arzan hingga anak tersebut mengangguk. Ia memang belum terbiasa menjadi seorang anak yang dilayani karena di panti harus mandiri.Setelah itu, Sarah menunjukkan lemari Arzan yang berisi pakaian. Juga meja belajar serta buku-buku lengkap dengan alat tulis. Arzan terlihat senang.“Nanti setelah dokumenmu siap, kamu juga akan sekolah.”“Aku sudah sekolah, Pa.” Arzan menyahut.“Maksud Papa, kamu akan pindah sekolah. Sekolah yang biasa kamu datangi merupakan sekolah khusus untuk anak-anak panti. Karena sekarang kamu telah memiliki orang tua, maka pendidikanmu akan menjadi tanggung jawab kami.” Marc menjelaskan panjang lebar.“Aku tidak bisa bertemu dengan teman-temanku lagi di sekolah lama?”Terdengar nada khawatir dari suara Arzan. Sepertinya ia telah nyaman berada di sekolahnya yang lama. Namun tentu saja Sarah dan Marc ingin putra angkat mereka belajar di sekolah terbaik.“Kamu akan memiliki teman-teman baru.” Sarah menenangkan Arzan
Sarah dan Marc mengantar Arzan sekolah untuk pertama kalinya. Arzan tampak gugup saat memasuki sekolah besar bertaraf internasional di hadapannya. Tangannya menggenggam erat tangan Marc.“Tenang saja. Ada guru khusus yang akan mendampingimu.” Marc mengusak kepala Arzan untuk menenangkan putranya.Sarah yang berjalan sambil menggendong Vivi tersenyum lembut pada Marc. Ia lalu membungkukkan tubuhnya menghadap Arzan.“Pamit dulu sama adikmu sebelum masuk kelas.” Sarah berkata pada Arzan.Anak lelaki itu mengangguk. Ia mengusap rambut Vivi lalu mencium pipi bayi perempuan tersebut.“Kakak sekolah dulu, ya.”Setelah berpamitan, Arzan masuk bersama seorang guru. Kepalanya sesekali masih menoleh ke belakang saat berjalan seolah tidak ingin ditinggalkan. Hingga kemudian, ia masuk dan tidak terlihat lagi.Sarah dan Marc lalu menyempatkan diri bertemu dengan kepala sekolah. Mereka saling menyapa dan bertukar kabar. Wanita berkacamata dengan rambut disanggul cepol itu menatap kagum pada bayi dal
“Ternyata menyenangkan memiliki anak lelaki.” Marc berkata pada Larry.Dua lelaki mapan sedang mengadakan pertemuan di ruang kerja. Larry datang untuk memberikan laporan perusahaan Marc yang ia pimpin di luar kota. Ia juga memberikan banyak bingkisan untuk Vivi dan Arzan.“Mungkin karena Arzan sudah lebih besar hingga kamu dapat lebih banyak melakukan kegiatan?” Larry menyimpulkan.“Mungkin. Sementara aku masih bingung apa yang aku lakukan jika bersama Vivi.”“Arzan juga terlihat sangat penurut, ya?”“Iya.” Marc mengangguk keras.Cerita tentang kegiatan yang dilakukan bersama Arzan, mengalir lancar dari bibir Marc. Ia berkata, Arzan mulai mengerti bahasa Inggris walau masih sulit membalas. Marc memiliki jadwal khusus untuk melatih sendiri komunikasi putranya dalam bahasa internasional tersebut.“Selain bahasa, aku juga memberikan kegiatan di luar sekolah yang cukup banyak.”“Apa Arzan terlihat lelah?”“Tidak. Dia malah terlihat antusias dan senang belajar.”“Baguslah.”“Aku tidak akan
Marc sebenarnya tidak setuju dengan pernyataan mamanya. Menurutnya, Sarah menikmati kegiatannya sebagai ibu baru. Namun untuk menenangkan hati Lucy, Marc mengangguk.“Jangan terlalu sibuk hingga kamu melalaikan Sarah.” Sebelum keluar, Lucy mengingatkan putranya.Kembali, Marc mengerutkan kening. Ia jadi bingung sendiri mengapa Mamanya merasa ia dan Sarah seperti sedang ada masalah. Marc berdiri lalu keluar dari ruang kerja.Saat masuk ke dalam kamar, ia tidak menemukan Sarah. Marc berrtanya pada pelayan yang kemudian mengatakan bahwa Sarah sedang menemani Vivi dan susternya.Marc masuk ke kamar bayi dan menemukan Sarah termenung sendiri di balkon. Ia menatap sekeliling dan tidak menemukan Vivi di kamar tersebut.“Sayang?” Marc menghampiri istrinya.Terkejut, Sarah membalik tubuhnya dan memaksakan senyum manis. Marc mengamati ekspresi Sarah lalu memeluknya.“Kamu kenapa?”Sarah hanya menggeleng. “Tidak apa-apa.”“Mana Vivi? Aku pikir kamu sedang menemani Vivi?”“Oh, tadi aku sedang mer
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu