Prolog
“Aku ingin menyerah!”
"Aku ingin mati!”
Kalimat tersebut pernah terlintas dalam benakku. Menyerah pada kehidupan yang tidak pernah berpihak padaku. Karena sekeras apapun aku bersabar, tidak ada sedikitpun yang berubah.
Tapi, itu adalah diriku saat tiga tahun yang lalu. Aku yang lemah dan menempati kasta terendah, kini akan merangkak naik menuju rantai makanan teratas. Mereka yang membuat aku sengsara, akan aku buat membayar semuanya. Tidak peduli pandangan orang lain yang mengatakan aku pendendam atau aku gila. Karena yang berkata demikian, mereka hanya belum pernah merasakan hidup yang seperti neraka!***
Bab 1
Dalam ruangan kelas yang tenang, guru sedang asyik menjelaskan sambil menulis semuanya di papan tulis. Semua siswa belajar dengan baik dan tekun hingga lalat saja tidak berani terbang mengganggu.
Sekolah elite yang menjadi kebanggaan di negara ini. Peringkat teratas yang selalu menjadi sekolah impian bagi siapa saja yang ingin mempunyai masa depan yang cerah. Diisi oleh anak para pejabat kerajaan dan anak para konglomerat membuat status SMA Negeri 01 Nusantara menjadi rebutan bagi para rakyat biasa. Mereka merasa bisa diakui atau naik statusnya jika berhasil masuk. Setelah lulus maka dengan mudah akan diterima di berbagai perguruan tinggi negeri lainnya. Setidaknya itulah harapan dari mereka termasuk Prabu Sanjaya yang sudah menjadi siswa di SMA ini. Namun, sayangnya semua tidak terlihat sempurna di kehidupan sekolah elite ini.PLAK! PLAK! PLAK!Suara tamparan keras memecah keheningan kelas yang telah usai. Kini anak-anak bersorak gembira mengelilingi seorang siswa yang duduk di bangku belakang. Wajahnya yang merah karena tamparan itu kini sedikit mengeluarkan darah.
“Hei, tadi kenapa tetap menulis apa yang guru jelaskan? Aku kan sudah bilang agar kamu tidur saja,” kata Adi Nugroho sambil menjaga posisi ingin menamparnya lagi. “Wah, si pengecut ini sepertinya sudah berani Di. Dia sudah enggak takut lagi untuk melawan perintah kamu,” ucap Ryan teman satu geng Adi mengompori. “Hahaha, sial juga pecundang satu ini. Ayo kita ajarkan lagi kepada anak jelata ini cara bersopan santun,” ajak Adi kepada satu gengnya sambil menarik seragam Prabu. “Ma-maafkan aku Adi. Tolong jangan bawa aku kesana. Lain kali aku akan turuti semua yang kamu perintahkan. Aku mohon Adi.” Prabu terus-menerus memohon sambil terus merengek. Sedangkan teman sekelas lainnya hanya menjadi penonton sambil menertawakan dirinya seperti seorang badut. “Halah, bohong dia Di. Sekarang saja mohon-mohon minta maaf, nanti juga bakal rajin belajar lagi si pecundang ini,” sahut Jun yang juga anggota geng Adi.Sambil terus memohon, Adi dan teman-temannya seolah menikmati saat menyeret paksa Prabu di sepanjang lorong sekolah. Siswa kelas lain pun tidak akan ikut campur dalam urusan Adi dan geng. Mereka berempat tertawa kegirangan hingga sampai ke aula basket yang kosong.BRUK! Badan kecil Prabu dilempar ke lantai dengan sangat keras. Matanya segera terbuka dan mencari kaki Adi. Begitu menemukannya, ia segera memeluk dan melakukan posisi sujud agar kali ini bisa dilepaskan.“Wah lihat bahkan kecoa ini sudah bersujud padamu Adi,” seru Bagas begitu melihat sosok Prabu meringkuk gemetaran.DUK! DUK! DUK!Alih-alih mengampuni Prabu, Adi menendang berkali-kali kepalanya dengan keras.“Ugh!” Prabu menahan rasa sakit di kepalanya sambil terus memohon kepada Adi. “Adi, aku mohon Di. Aku tidak bisa terus-terusan menyembunyikan luka ini dari ibuku. Aku mohon kali ini tolong lepaskan aku,” pintanya.“Hei bodoh, sudah tahu akan berakhir begini lalu kenapa kamu tadi enggak nurut saja? Kamu yang cuma rakyat biasa ingin menyombongkan diri karena selalu dapat juara kelas? Mau unjuk gigi hah?! Ingat disini kamu adalah kasta terendah. Kamu hanya beruntung karena bisa masuk melalui beasiswa,” bentak Adi seraya mencengkram leher Prabu.“Akh-akhdi!”Prabu terbata-bata karena cengkraman kedua tangan Adi begitu keras dilehernya dan membuatnya hampir kehabisan nafas. “Adi, hentikan! Kamu bisa membunuhnya,” ucap Bagas sambil memegang tangan Adi.“Hah, sial! Memang menyusahkan sekali pecundang ini,” jawab Adi. Kakinya mulai melakukan ancang-ancang ingin menendang perut Prabu.DUAGH! BUK! PLAK! BUAGH!
Tendangan Adi seolah menjadi aba-aba agar teman satu gengnya meneruskan memukuli badan kecil yang ringkih itu.Pukulan demi pukulan terus dilayangkan ke seluruh tubuh Prabu. Seolah tidak mau kehilangan beberapa sentimeter, Adi mengangkat kepalanya dan mulai menghujaninya dengan kepalan tinju.
***
Sekolah usai seperti biasa. Seluruh anak-anak telah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya ada Prabu yang masih di kelas dan bertahan dibangkunya. Ia menundukkan kepalanya sambil menahan air matanya yang tidak juga terbendung. Mulutnya pun terkunci namun tampak giginya yang ingin keluar.Seragam sekolahnya telah kotor bekas jejak debu sepatu yang dilayangkan oleh Adi dan gengnya. Belum lagi noda coklat yang ikut mewarnai kemeja putihnya akibat bercak darah yang mengering dari luka-luka di sekujur tubuhnya.'Bagaimana aku akan pulang hari ini? Sial, kenapa terus mengangguku. Ini bahkan sudah hampir satu tahun,' tanya Prabu pada dirinya sambil memejamkan mata.'Hanya karena aku juara kelas? Hanya karena aku anak beasiswa? Tapi kalau aku tidak mampu mempertahankan nilai, maka aku akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu tidak akan sanggup membayar uang sekolah yang seperti biaya hidup kami selama satu tahun,' kata Prabu dalam hatinya. “Apa aku harus memang keluar dari sini? Apa sebaiknya aku menyerah saja?” tanya Prabu sambil bergumam.DREK!
Suara pintu kelas yang digeser, membuat Prabu mengangkat kepalanya dan melihat ke arah sumber suara. “Prabu, kau masih disini?” tanya gadis berambut panjang berwajah manis kepadanya. “I-iya Santi,” jawab Prabu gugup. “Apa kamu baik-baik saja? Maaf aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu juga tahu kan kalau ayahnya Adi adalah orang yang paling berpengaruh disekolah ini,” kata Santi menjelaskan. “Oh, iya. Tidak apa-apa San. Aku paham,” ucap Prabu sambil malu-malu.Santi, gadis manis itu tahu betul jika Prabu menaruh hati padanya. Terlihat jelas di wajah Prabu yang merona walau sudah babak belur. “Kamu belum pulang San?” tanya Prabu.“Ah, aku tadi ingin memberikan ini. Tapi aku tunggu kelas sepi dulu,” jawab Santi sambil mengeluarkan sekotak plester dari sakunya.“Kalau begitu aku pulang duluan ya Prabu,” ucap Santi sambil berlari meninggalkan Prabu yang masih tertegun dengan apa yang terjadi.“A-aku bukan sedang bermimpi kan? Santi memberikan aku plester ini?” tanya Prabu dengan matanya yang berbinar sambil melihat ke arah pintu kelas seolah sosok Santi masih disana. ‘Ya, benar ini kan masih dikelas X. Mungkin saat nanti kenaikan kelas XI aku tidak akan satu kelas lagi dengan Adi dan gengnya. Bukan kah setiap tahun kenaikan kelas, akan ditentukan dari prestasi?' pikirnya.Prabu pun mulai membulatkan tekad, ‘Baiklah ayo bertahan untuk beberapa bulan lagi hingga kenaikan kelas XI nanti. Aku pasti mampu melaluinya'.Malam ini tidak berbeda dari sebelumnya bagi Prabu. Kontrakan sempit sepetak yang dingin menambah perihnya luka yang ia terima siang tadi. Matanya sesekali melihat ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia berharap saat ibunya pulang nanti tidak memergoki luka yang saat ini ia sembunyikan.Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat. 'Mungkin ibu akan pulang lima belas menit lagi,' pikirnya sembari menarik selimut yang sudah lapuk.Tangan Prabu kembali memegang plester yang tertempel di pipinya sambil tersenyum lebar. Ia begitu terhanyut membayangkan sosok Santi. Wajah gadis itu menguasai pikiran Prabu sekarang ini.'Seandainya Santi tadi tidak datang, mungkin aku akan bener-bener menyerah dan memutuskan untuk berhenti sekolah disana,' pikirannya kembali melayang hingga ia tidak menyadari jika ibunya sudah pulang.“Prabu, kamu su
Langkahnya semakin cepat. Prabu sama sekali tidak memperdulikan tatapan siswa dan omelan guru piket yang memarahinya karena berlari di koridor. Dalam pikirannya hanya ada satu hal. Setelah ia pendam semuanya selama satu tahun, ia merasa jika saat ini harus segera melaporkan segala kejadian penindasan yang ia terima ke pihak sekolah.Entah kenapa sosok Santi tadi terbesit begitu saja. Ia ingat betul jika gadis pujaan hatinya itu pernah menyarankan agar Prabu mengadukan nasibnya ke pihak sekolah. Karena sekalipun orang tua Adi berpengaruh, jika kebanyakan guru memihak Prabu maka masih ada harapan untuknya lepas dari perundungan mereka.“Permisi Pak, saya ingin menyampaikan bahwa saya..”, belum sempat Prabu melanjutkan kalimatnya, ia merasa senang bertemu dengan Santi di ruang guru BK. Santi yang sedang menaruh lembaran kertas di meja guru membuat pikirannya buyar sejenak.Gadis berambut panjang itu tersenyum melihat Prab
Hujan turun semakin deras. Menyingkirkan semua pengendara di jalan. Raut wajah putus asa terlihat jelas dari wajah Prabu. Kakinya terus berjalan hingga menuntunnya ke ujung sungai. Saat hujan besar seperti ini, arus sungai dan air semakin meninggi.“Ck, aku kira siapa. Ternyata hanya seorang bocah,” ucap sesosok lelaki yang berdiri tegap dengan pakaian serba hitam dari balik semak-semak.“Si-siapa disana?” tanya Prabu yang penasaran dengan sumber suara.“Tenanglah bocah. Kalau berisik, akan kubunuh kau!” ancamnya.Prabu mulai memicingkan matanya. Mungkin karena lama terkena air hujan, darah di sekitar penglihatannya ikut tersapu. Walau samar, kini ia bisa melihat sekilas pria dewasa itu. Dengan memakai penutup wajah, hanya sorot matanya saja yang terlihat.“Kamu juga terluka. Apa anda baik-baik saja?” Prabu segera bertanya begitu meli
Langit yang sedang turun hujan seolah menjadi atap di arena pertarungan tersebut. Wajah-wajah kelelahan dari para murid yang berusaha menyerang pria itu tidak bisa ditutupi. Mereka tampak terengah-engah dengan badan yang penuh luka.“Ba-bagaimana ini guru?” tanya muridnya putus asa.“Saat ini hanya kita bertiga yang tersisa,” imbuh murid lainnya.Tubuh murid-murid Pak Tua itu sudah banyak yang terkapar di tanah. Membuat mereka yang masih berdiri menjadi pesimis.“Tenang saja, aku tidak membunuh muridmu Pak Tua,” kata pria itu dengan setengah meledek.Mendengar perkataan tersebut, wajahnya semakin merah padam. Dahinya mengernyit dan matanya melotot ke arah pria yang masih bisa berdiri tegap di hadapannya.SREK!Pria Tua itu merobek bajunya dan memperlihatkan badan yang tidak terlihat berumur. Tonjolan otot-ototnya menghiasi seluruh b
Langit yang sedang turun hujan seolah menjadi atap di arena pertarungan tersebut. Wajah-wajah kelelahan dari para murid yang berusaha menyerang pria itu tidak bisa ditutupi. Mereka tampak terengah-engah dengan badan yang penuh luka.“Ba-bagaimana ini guru?” tanya muridnya putus asa.“Saat ini hanya kita bertiga yang tersisa,” imbuh murid lainnya.Tubuh murid-murid Pak Tua itu sudah banyak yang terkapar di tanah. Membuat mereka yang masih berdiri menjadi pesimis.“Tenang saja, aku tidak membunuh muridmu Pak Tua,” kata pria itu dengan setengah meledek.Mendengar perkataan tersebut, wajahnya semakin merah padam. Dahinya mengernyit dan matanya melotot ke arah pria yang masih bisa berdiri tegap di hadapannya.SREK!Pria Tua itu merobek bajunya dan memperlihatkan badan yang tidak terlihat berumur. Tonjolan otot-ototnya menghiasi seluruh b
Hujan turun semakin deras. Menyingkirkan semua pengendara di jalan. Raut wajah putus asa terlihat jelas dari wajah Prabu. Kakinya terus berjalan hingga menuntunnya ke ujung sungai. Saat hujan besar seperti ini, arus sungai dan air semakin meninggi.“Ck, aku kira siapa. Ternyata hanya seorang bocah,” ucap sesosok lelaki yang berdiri tegap dengan pakaian serba hitam dari balik semak-semak.“Si-siapa disana?” tanya Prabu yang penasaran dengan sumber suara.“Tenanglah bocah. Kalau berisik, akan kubunuh kau!” ancamnya.Prabu mulai memicingkan matanya. Mungkin karena lama terkena air hujan, darah di sekitar penglihatannya ikut tersapu. Walau samar, kini ia bisa melihat sekilas pria dewasa itu. Dengan memakai penutup wajah, hanya sorot matanya saja yang terlihat.“Kamu juga terluka. Apa anda baik-baik saja?” Prabu segera bertanya begitu meli
Langkahnya semakin cepat. Prabu sama sekali tidak memperdulikan tatapan siswa dan omelan guru piket yang memarahinya karena berlari di koridor. Dalam pikirannya hanya ada satu hal. Setelah ia pendam semuanya selama satu tahun, ia merasa jika saat ini harus segera melaporkan segala kejadian penindasan yang ia terima ke pihak sekolah.Entah kenapa sosok Santi tadi terbesit begitu saja. Ia ingat betul jika gadis pujaan hatinya itu pernah menyarankan agar Prabu mengadukan nasibnya ke pihak sekolah. Karena sekalipun orang tua Adi berpengaruh, jika kebanyakan guru memihak Prabu maka masih ada harapan untuknya lepas dari perundungan mereka.“Permisi Pak, saya ingin menyampaikan bahwa saya..”, belum sempat Prabu melanjutkan kalimatnya, ia merasa senang bertemu dengan Santi di ruang guru BK. Santi yang sedang menaruh lembaran kertas di meja guru membuat pikirannya buyar sejenak.Gadis berambut panjang itu tersenyum melihat Prab
Malam ini tidak berbeda dari sebelumnya bagi Prabu. Kontrakan sempit sepetak yang dingin menambah perihnya luka yang ia terima siang tadi. Matanya sesekali melihat ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia berharap saat ibunya pulang nanti tidak memergoki luka yang saat ini ia sembunyikan.Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat. 'Mungkin ibu akan pulang lima belas menit lagi,' pikirnya sembari menarik selimut yang sudah lapuk.Tangan Prabu kembali memegang plester yang tertempel di pipinya sambil tersenyum lebar. Ia begitu terhanyut membayangkan sosok Santi. Wajah gadis itu menguasai pikiran Prabu sekarang ini.'Seandainya Santi tadi tidak datang, mungkin aku akan bener-bener menyerah dan memutuskan untuk berhenti sekolah disana,' pikirannya kembali melayang hingga ia tidak menyadari jika ibunya sudah pulang.“Prabu, kamu su
Prolog “Aku ingin menyerah!” "Aku ingin mati!” Kalimat tersebut pernah terlintas dalam benakku. Menyerah pada kehidupan yang tidak pernah berpihak padaku. Karena sekeras apapun aku bersabar, tidak ada sedikitpun yang berubah. Tapi, itu adalah diriku saat tiga tahun yang lalu. Aku yang lemah dan menempati kasta terendah, kini akan merangkak naik menuju rantai makanan teratas. Mereka yang membuat aku sengsara, akan aku buat membayar semuanya. Tidak peduli pandangan orang lain yang mengatakan aku pendendam atau aku gila. Karenayang berkata demikian, mereka hanya belum pernah merasakan hidup yang seperti neraka! *** Bab 1 Dalam ruangan kelas yang tenang, guru sedang asyik menjelaskan sambil menulis semuanya di papan tulis. Semua siswa belajar dengan baik dan tekun hingga lalat saja tidak berani terbang mengganggu. Sekolah elite ya