Hujan turun semakin deras. Menyingkirkan semua pengendara di jalan. Raut wajah putus asa terlihat jelas dari wajah Prabu. Kakinya terus berjalan hingga menuntunnya ke ujung sungai. Saat hujan besar seperti ini, arus sungai dan air semakin meninggi.
“Ck, aku kira siapa. Ternyata hanya seorang bocah,” ucap sesosok lelaki yang berdiri tegap dengan pakaian serba hitam dari balik semak-semak. “Si-siapa disana?” tanya Prabu yang penasaran dengan sumber suara.“Tenanglah bocah. Kalau berisik, akan kubunuh kau!” ancamnya. Prabu mulai memicingkan matanya. Mungkin karena lama terkena air hujan, darah di sekitar penglihatannya ikut tersapu. Walau samar, kini ia bisa melihat sekilas pria dewasa itu. Dengan memakai penutup wajah, hanya sorot matanya saja yang terlihat. “Kamu juga terluka. Apa anda baik-baik saja?” Prabu segera bertanya begitu melihat luka di bagian perut pria itu yang terbuka.“Hah, bocah sial ini. Hei, kau yang paling babak belur disini. Tidak usah hiraukan aku,” jawabnya ketus. Tidak mengindahkan perkataan laki-laki itu, Prabu segera membuka tasnya. Ia segera mengambil baju olahraga yang masih terlipat. “Ini. Anda bisa pakai ini. Walau basah, tapi setidaknya bisa menghentikan pendarahan,” kata Prabu menawarkan.“Kau pakai untuk luka-luka di badanmu saja. Cepat pergilah dari sini,” usir pria misterius itu. Mendengar jawaban dari pria itu, Prabu tampak lesu. “Sa-saya tidak bisa pergi dan pulang ke rumah Paman.” “Hei enak saja! Siapa yang kau panggil paman!” teriak laki-laki itu.“Semuanya, orang itu ada disini. Cepat berkumpul!” Ajakan asing itu terdengar menggema di sekitar sungai sesaat setelah laki-laki jangkung itu berteriak.“Ah, sialan! Apa yang sekarang kamu perbuat bocah?!” katanya kesal.“Ta-tapi, aku tidak melakukan apapun Paman,” kata Prabu kebingungan. Hanya perlu beberapa detik, seketika Prabu dan laki-laki itu dikepung. Mereka melingkar sehingga menutup jalan. Mereka semua memakai pakaian serba hitam sama dengan pria itu. “Hah? A-ada apa ini Paman? Siapa mereka?” tanya Prabu.“Wah, wah, kalian masih mau menyerang secara beramai-ramai nih padahal aku sedang terluka sekarang?!” kata pria itu tanpa menjawab pertanyaan Prabu.“Mudah bagi kami memaafkan kamu. Ikut kami sekarang!” perintah seorang asing itu. “Bagaimana aku bisa percaya kalian mau memaafkan aku? Masa seluruh muridmu dibawa kesini hanya untuk menangkapku,” jawabnya.“Jelas sekali bukan kalau kamu ingin menghabisi ku,Pak Tua,” ejeknya.“Sudah terluka saja, masih berlagak kau!” teriak salah satu murid dari orang itu.Orang yang di panggil Pak Tua itu segera mengangkat tangannya dan memberi aba-aba untuk segera menyerangnya. Mereka tampak tidak peduli dengan kehadiran Prabu. “Ck! Bocah ini. Sudah kubilang untuk segera pergi,” keluhnya.Tangan pria itu segera mengambil bagian kerah belalang baju Prabu dan mengangkatnya. Ia nampak mengumpulkan tenaga di tangan kanannya dan melempar Prabu dengan sangat kuat sehingga berada jauh dari arena pertarungan. “Aduh!” teriak Prabu kesakitan begitu badannya menyentuh tanah.Karena berada diluar arena, Prabu bisa dengan leluasa melihat kepungan dari orang-orang tersebut. Matanya nampak menghitung satu per satu orang yang tadi mengelilinginya.“Hah! Gila, ada sekitar dua puluh orang. Paman itu tidak akan bisa menang. Dia bisa mati mengenaskan,” pikirnya.“Paman bertahanlah. Aku akan segera memanggil polisi,” ucapnya seraya mencari ponsel.DUAGH! Belum sempat Prabu menekan layar handphonenya, sekilas badan terbang tepat berada didepan wajahnya.“Hua, apa ini?” Matanya segera terpusat pada tubuh salah satu orang asing tersebut yang sudah tergeletak kesakitan.Rasa ingin tahunya segera memuncak, ia langsung berdiri dan mulai tidak percaya dengan penglihatannya. Berkali-kali Prabu menggosokkan kedua matanya. “Tidak mungkin! Ini bohong kan?” tanyanya heran.Pupilnya bergetar. Pandangannya tidak bisa teralihkan dari sosok pria yang ia panggil paman.'Paman itu sedang terluka, tapi bagaimana bisa ia masih bergerak dengan gesit dan lincah seperti itu? Dia bahkan sudah menumbangkan beberapa orang sekaligus.’'Dia menggunakan tubuh orang lain sebagai tameng dan menyerang balik dengan sangat cepat di titik vital mereka.’ BUGH! DUAK! BRAK! DESH!Dengan sangat gesit, pria itu menghindar dan melemparkan tinjunya pada kumpulan orang asing itu. Cara bertarungnya cepat berubah. Sekilas ia memakai kuda-kuda seperti bela diri karate. Tapi tak ayal, dia menggunakan tendangan yang tinggi seperti muay thai.DUAGH!“Aghh!” teriak laki-laki mengerang kesakitan. Kepalanya tampak mengeluarkan darah, ketika tumit pria itu mendarat tepat di dahinya. Dari dua puluh orang, kini hanya tersisa setengahnya. Mereka tampak ragu-ragu dan ketakutan untuk maju menyerang begitu melihat sosok teman-teman seperguruannya berserakan dan terkapar tak berdaya.“Orang ini benar-benar gila. Kita tidak akan bisa menang,” bisik para penyerang yang tersisa. “Hei apa yang sedang kalian lakukan?! Cepat keluarkan senjata yang dibawa!” perintah Pak Tua dengan kesalnya. Mendengar perintah gurunya, semua murid yang tersisa mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Mereka membawa macam-macam senjata. Ada yang berupa keris, golok, pedang, double stik dan pemukul baseball.“Hahaha, bisa-bisanya pakai senjata hanya untuk mengalahkan satu orang yang terluka. Itulah kenapa perguruanmu tidak pernah berkembang Pak Tua,” ejeknya.“Bocah ingusan sialan kau!” teriak Pak tua itu.“Semuanya serang dia bersamaan!” perintahnya lagi.“Maju!”“Ayo habisi dia!”Teriakan dari murid-muridnya saling sahut menyahut memecah suara hujan yang turun dengan deras. Mereka menggebu-gebu lari menghampiri pria itu. Mereka yakin betul kali ini pria itu akan berhasil mereka bunuh. Siapa yang bisa mengalahkan sepuluh orang bersenjata dari perguruan beladiri? Apalagi yang mereka lawan saat ini hanyalah seorang pria yang sedang terluka dan bertangan kosong. “Hah, dasar Pak Tua licik!” keluhnya.'Hahaha, sehebat apapun kamu, memangnya bisa mengalahkan murid-murid ku yang membawa senjata? Hancur sudah kesombonganmu sekarang,' pikir Pak Tua itu. Dia tampak tersenyum senang.SYUT! SET! SYUUNG!Tubuh pria itu menghindari setiap arahan pisau yang menuju dirinya. Tanah yang licin akibat air hujan memang membuat dirinya kesulitan bergerak. Namun, sekarang ia mampu memanfaatkannya agar bisa meloncat dengan lebih tinggi dan menjadikan daya untuk melontarkan tubuhnya dengan lebih cepat.BUAK!“Aduh!” teriak seorang murid yang terpental karena tendangan di udara dari pria itu. Tanpa perlu diberi tahu, pria itu mengambil kesempatan dengan mengambil senjata berupa double stik dari murid tersebut. “Sial! Bagaimana bisa dia mempunyai tubuh seperti belut begitu. Sulit sekali hanya untuk menyentuhnya,” ucap salah satu murid yang wajahnya sudah babak belur. “He, jangan lengah! Ingat sebelumnya kita sudah membuat dia terluka!” teriak Pak Tua itu menyemangati.“Ta-tapi guru, kita berhasil melukainya karena jumlah kita sebelumnya ada tiga puluh orang,” keluh muridnya.Mendengar keluhan dari murid Pak Tua tersebut, muncul sesuatu yang seperti menggelitik badan pria tinggi itu. “Hahaha! Kalian begitu bangga karena bisa melukai aku dengan jumlah kalian yang tiga puluh?” ejeknya lagi.“Dasar bocah tengik!” maki Pak Tua.'Apa? Jadi sebelumnya dia melawan mereka sendirian yang berjumlah tiga puluh?' pikir Prabu heran. Sedari tadi Prabu yang hanya menonton jalannya pertandingan selalu dibuat terkejut olehnya. Meski luka pria itu masih terbuka, tapi ia tidak mendapat luka tambahan. Dan sangat cepat bagi laki-laki tersebut untuk membereskan lebih dari sepuluh orang 'Siapa paman itu sebenarnya?' tanyanya.Langit yang sedang turun hujan seolah menjadi atap di arena pertarungan tersebut. Wajah-wajah kelelahan dari para murid yang berusaha menyerang pria itu tidak bisa ditutupi. Mereka tampak terengah-engah dengan badan yang penuh luka.“Ba-bagaimana ini guru?” tanya muridnya putus asa.“Saat ini hanya kita bertiga yang tersisa,” imbuh murid lainnya.Tubuh murid-murid Pak Tua itu sudah banyak yang terkapar di tanah. Membuat mereka yang masih berdiri menjadi pesimis.“Tenang saja, aku tidak membunuh muridmu Pak Tua,” kata pria itu dengan setengah meledek.Mendengar perkataan tersebut, wajahnya semakin merah padam. Dahinya mengernyit dan matanya melotot ke arah pria yang masih bisa berdiri tegap di hadapannya.SREK!Pria Tua itu merobek bajunya dan memperlihatkan badan yang tidak terlihat berumur. Tonjolan otot-ototnya menghiasi seluruh b
Prolog “Aku ingin menyerah!” "Aku ingin mati!” Kalimat tersebut pernah terlintas dalam benakku. Menyerah pada kehidupan yang tidak pernah berpihak padaku. Karena sekeras apapun aku bersabar, tidak ada sedikitpun yang berubah. Tapi, itu adalah diriku saat tiga tahun yang lalu. Aku yang lemah dan menempati kasta terendah, kini akan merangkak naik menuju rantai makanan teratas. Mereka yang membuat aku sengsara, akan aku buat membayar semuanya. Tidak peduli pandangan orang lain yang mengatakan aku pendendam atau aku gila. Karenayang berkata demikian, mereka hanya belum pernah merasakan hidup yang seperti neraka! *** Bab 1 Dalam ruangan kelas yang tenang, guru sedang asyik menjelaskan sambil menulis semuanya di papan tulis. Semua siswa belajar dengan baik dan tekun hingga lalat saja tidak berani terbang mengganggu. Sekolah elite ya
Malam ini tidak berbeda dari sebelumnya bagi Prabu. Kontrakan sempit sepetak yang dingin menambah perihnya luka yang ia terima siang tadi. Matanya sesekali melihat ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia berharap saat ibunya pulang nanti tidak memergoki luka yang saat ini ia sembunyikan.Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat. 'Mungkin ibu akan pulang lima belas menit lagi,' pikirnya sembari menarik selimut yang sudah lapuk.Tangan Prabu kembali memegang plester yang tertempel di pipinya sambil tersenyum lebar. Ia begitu terhanyut membayangkan sosok Santi. Wajah gadis itu menguasai pikiran Prabu sekarang ini.'Seandainya Santi tadi tidak datang, mungkin aku akan bener-bener menyerah dan memutuskan untuk berhenti sekolah disana,' pikirannya kembali melayang hingga ia tidak menyadari jika ibunya sudah pulang.“Prabu, kamu su
Langkahnya semakin cepat. Prabu sama sekali tidak memperdulikan tatapan siswa dan omelan guru piket yang memarahinya karena berlari di koridor. Dalam pikirannya hanya ada satu hal. Setelah ia pendam semuanya selama satu tahun, ia merasa jika saat ini harus segera melaporkan segala kejadian penindasan yang ia terima ke pihak sekolah.Entah kenapa sosok Santi tadi terbesit begitu saja. Ia ingat betul jika gadis pujaan hatinya itu pernah menyarankan agar Prabu mengadukan nasibnya ke pihak sekolah. Karena sekalipun orang tua Adi berpengaruh, jika kebanyakan guru memihak Prabu maka masih ada harapan untuknya lepas dari perundungan mereka.“Permisi Pak, saya ingin menyampaikan bahwa saya..”, belum sempat Prabu melanjutkan kalimatnya, ia merasa senang bertemu dengan Santi di ruang guru BK. Santi yang sedang menaruh lembaran kertas di meja guru membuat pikirannya buyar sejenak.Gadis berambut panjang itu tersenyum melihat Prab
Langit yang sedang turun hujan seolah menjadi atap di arena pertarungan tersebut. Wajah-wajah kelelahan dari para murid yang berusaha menyerang pria itu tidak bisa ditutupi. Mereka tampak terengah-engah dengan badan yang penuh luka.“Ba-bagaimana ini guru?” tanya muridnya putus asa.“Saat ini hanya kita bertiga yang tersisa,” imbuh murid lainnya.Tubuh murid-murid Pak Tua itu sudah banyak yang terkapar di tanah. Membuat mereka yang masih berdiri menjadi pesimis.“Tenang saja, aku tidak membunuh muridmu Pak Tua,” kata pria itu dengan setengah meledek.Mendengar perkataan tersebut, wajahnya semakin merah padam. Dahinya mengernyit dan matanya melotot ke arah pria yang masih bisa berdiri tegap di hadapannya.SREK!Pria Tua itu merobek bajunya dan memperlihatkan badan yang tidak terlihat berumur. Tonjolan otot-ototnya menghiasi seluruh b
Hujan turun semakin deras. Menyingkirkan semua pengendara di jalan. Raut wajah putus asa terlihat jelas dari wajah Prabu. Kakinya terus berjalan hingga menuntunnya ke ujung sungai. Saat hujan besar seperti ini, arus sungai dan air semakin meninggi.“Ck, aku kira siapa. Ternyata hanya seorang bocah,” ucap sesosok lelaki yang berdiri tegap dengan pakaian serba hitam dari balik semak-semak.“Si-siapa disana?” tanya Prabu yang penasaran dengan sumber suara.“Tenanglah bocah. Kalau berisik, akan kubunuh kau!” ancamnya.Prabu mulai memicingkan matanya. Mungkin karena lama terkena air hujan, darah di sekitar penglihatannya ikut tersapu. Walau samar, kini ia bisa melihat sekilas pria dewasa itu. Dengan memakai penutup wajah, hanya sorot matanya saja yang terlihat.“Kamu juga terluka. Apa anda baik-baik saja?” Prabu segera bertanya begitu meli
Langkahnya semakin cepat. Prabu sama sekali tidak memperdulikan tatapan siswa dan omelan guru piket yang memarahinya karena berlari di koridor. Dalam pikirannya hanya ada satu hal. Setelah ia pendam semuanya selama satu tahun, ia merasa jika saat ini harus segera melaporkan segala kejadian penindasan yang ia terima ke pihak sekolah.Entah kenapa sosok Santi tadi terbesit begitu saja. Ia ingat betul jika gadis pujaan hatinya itu pernah menyarankan agar Prabu mengadukan nasibnya ke pihak sekolah. Karena sekalipun orang tua Adi berpengaruh, jika kebanyakan guru memihak Prabu maka masih ada harapan untuknya lepas dari perundungan mereka.“Permisi Pak, saya ingin menyampaikan bahwa saya..”, belum sempat Prabu melanjutkan kalimatnya, ia merasa senang bertemu dengan Santi di ruang guru BK. Santi yang sedang menaruh lembaran kertas di meja guru membuat pikirannya buyar sejenak.Gadis berambut panjang itu tersenyum melihat Prab
Malam ini tidak berbeda dari sebelumnya bagi Prabu. Kontrakan sempit sepetak yang dingin menambah perihnya luka yang ia terima siang tadi. Matanya sesekali melihat ke arah pintu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia berharap saat ibunya pulang nanti tidak memergoki luka yang saat ini ia sembunyikan.Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam tepat. 'Mungkin ibu akan pulang lima belas menit lagi,' pikirnya sembari menarik selimut yang sudah lapuk.Tangan Prabu kembali memegang plester yang tertempel di pipinya sambil tersenyum lebar. Ia begitu terhanyut membayangkan sosok Santi. Wajah gadis itu menguasai pikiran Prabu sekarang ini.'Seandainya Santi tadi tidak datang, mungkin aku akan bener-bener menyerah dan memutuskan untuk berhenti sekolah disana,' pikirannya kembali melayang hingga ia tidak menyadari jika ibunya sudah pulang.“Prabu, kamu su
Prolog “Aku ingin menyerah!” "Aku ingin mati!” Kalimat tersebut pernah terlintas dalam benakku. Menyerah pada kehidupan yang tidak pernah berpihak padaku. Karena sekeras apapun aku bersabar, tidak ada sedikitpun yang berubah. Tapi, itu adalah diriku saat tiga tahun yang lalu. Aku yang lemah dan menempati kasta terendah, kini akan merangkak naik menuju rantai makanan teratas. Mereka yang membuat aku sengsara, akan aku buat membayar semuanya. Tidak peduli pandangan orang lain yang mengatakan aku pendendam atau aku gila. Karenayang berkata demikian, mereka hanya belum pernah merasakan hidup yang seperti neraka! *** Bab 1 Dalam ruangan kelas yang tenang, guru sedang asyik menjelaskan sambil menulis semuanya di papan tulis. Semua siswa belajar dengan baik dan tekun hingga lalat saja tidak berani terbang mengganggu. Sekolah elite ya