'Apa maksudnya? Apa maksud Arsan? Kenapa Arsan begitu meluap-luap seperti itu? Padahal itu adalah Arland, kakak kandungnya sendiri dan satu-satunya!' pekik Marren dalam benaknya. Marren mendekap mulutnya untuk menahan rasa terkejutnya. Dengan menahan gemetar di tubuhnya, ia mencoba untuk tetap tenang dan berpura-pura tidak mendengar apa pun. Walaupun kini otaknya bergerak dengan cepat mencoba merangkai semua yang ia dengar. Namun, Marren harus menyerah, karena ia tidak bisa menemukan relasinya dan hati kecilnya terus menolak untuk mencari tahu lebih jauh. Tiba-tiba terselip rasa takut yang terus melesak dan mendesaknya semakin kuat terlintas apa yang paling terburuk yang mungkin terjadi. "Aku tidak mengancammu, Arland. Kau yang memulai semuanya, aku hanya menjaga milikku dan seharusnya kau tahu batas!" Suara adzan mulai melunak walaupun begitu ia menggeram menandakan emosi yang terpendam. "Seingatku, sejak dulu aku tak pernah mengusikmu dalam hal sekecil apa pun. Lalu kenapa ka
Melihat langkah Arsan menjauhinya, Marren segera menghalangi pintu dan bersandar pada benda itu, "Jangan pergi seenaknya, pembicaraan kita belum selesai," ucap Marren dengan nada menantang. Marren berusaha mencairkan suasana dan menciptakan pengalihan pikiran Arsan tentang dirinya. Arsan bersedekap, "Apalagi? Bukankah semua sudah selesai? Dan bukankah Nyonya sedang sibuk mengurusi Mommy?" sindir Arsan mengangkat alisnya. "Hei, dengar ya, Tuan Muda, kamu sudah menuduh Saya seenaknya dan sekarang kamu mau pergi begitu saja? Enak saja! Kalau kamu ingin bukti saya berkencan dengan siapa, lihat sendiri dan buktikan Saya akan pergi ke mana dan berkencan dengan siapa!" ucap Marren dengan ketus seraya mendorong tubuh Arsan menjauh. Arsan menahan senyumnya, ''Jadi saya harus bagaimana untuk membuktikannya, Nyonya?" pancing Arsan menjebak Marren. "Ya... Tunggu saja, siapa yang akan menjemput Saya," elak Marren terlihat mulai panik, menjauh dari pintu dan menuju meja riasnya yang ada di t
Menjelang malam....Marren, Arsan dan Madya telah menyelesaikan makan malam bersama. Bertepatan kakek Ryzadrd datang bersama Arland dan beberapa pengawal yang berada di luar. Kakek Ryzadrd dan Arland menyapa dan berbincang-bincang dengan Madya yang terlihat makin sehat. Marren yang duduk bersebelahan dengan Madya dan diapit Arsan sangat senang tatkala Kakek Ryzasrd menyerahkan ponselnya yang sempat disita sebagai barang bukti. "Nah, Marren. Ini ponsel milikmu 'kan? Tadi Kakek mampir ke sana untuk mengambilnya," ucap Kakek Ryzadrd menyerahkan bungkusan yang berisi ponsel Marren. Marren menerima dengan senang, "Wah, akhirnya. Terima kasih, Kek," ucap Marren dengan senang. "Loh, Marren kenapa ponselmu ada pada Kakek?" tanya Madya yang spontan membuat suasana yang tadinya ramai dengan percakapan yang di selingi senda gurau itu langsung berubah hening. "Aaahh, itu...." Marren tergagap. "Ponsel Marren sempat rusak, Mom. Waktu itu terjatuh karena ada sedikit kecelakaan," sela Arsan s
Marren terlihat sangat bersemangat, apalagi rencananya telah berhasil dengan mengatakan Wira akan datang berkunjung. Dengan begitu Arsan berangkat lebih pagi dari biasanya, walau pun Marren tahu ada gelagat Arsan tidak ingin pergi ke kantor karena ia merasa kurang beristirahat.Marren melambaikan tangannya kepada Arsan yang melewatinya dan balas melambai dari dalam mobil mewahnya. la di temani sopir kantornya. Sementara Jack, sopir pribadi di rumah sekaligus merangkap keamanan saat itu menutup gerbang dan tersenyum pada Marren yang berjalan mendekat padanya. "Selamat pagi Pak, saya ingin sedikit berbicara dengan Pak Jack, apa kita bisa ke taman sebentar?" tanya Marren kepada Jack setelah ia menelisik letak CCTV rumah itu. Marren berpikir dengan berbicara di sekitar taman, Arsan tidak akan mencurigai arah pembicaraan mereka. Dengan mengangguk setuju Jack mengikuti ke mana langkah Marren. Lalu mereka berhenti di depan sebuah pot bunga yang mencoba di geser oleh Marren, yang akhirny
"lya, tidak. Oh, Saya bingung harus menjawab yang mana yang lebih dulu," keluh Marren yang terlihat lelah. ""Iya rencananya begitu, tapi sepertinya ia ada acara, makanya ia tidak jadi datang," lanjut Marren sembari menghempaskan dirinya ke sofa."Apa yang kamu lakukan, Marren? Suamimu baru pulang kerja, kenapa kau malah duduk di sini?" tegur Madya yang membuat Marren menepuk keningnya seraya mengernyit menandakan ia lupa. Marren bergegas bangkit dan menyusul langkah Arsan yang terburu-buru menuju kamar. Mau tidak mau Marren harus memulai bersikap baik pada Arsan. Marren bergelayut di lengan Arsan dan mengambil tas jinjing di tangan Arsan yang seraya mereka memasuki kamar. Marren mengecup pipi Arsan, "Selamat datang," ucapnya tersipu malu lalu bergegas meletakkan tas jinjing Arsan di atas meja lalu bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan air untuk Arsan mandi. Setelah memastikan semua siap, Marren kembali ke kamar dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Arsan telah melepaskan se
Marren menahan isak tangisnya agar tidak berkepanjangan, apalagi saat mendengar suara pintu yang diketuk seseorang dari luar. Marren segera membersihkan luluhan air mata di kedua pipinya. "Siapa?" tanyanya dengan cepat, la mencoba setenang mungkin dengan berdeham berkali-kali. "Saya, Nyonya, Naura." jawab Naura dengan setengah bertenak. "Masuklah, Nau," ucap Marren bergegas merapikan nasan wajahnya di cermin. Kedatangan Naura membuatnya tertegun, karena gadis itu membawa nampan yang berisi makanan dan minuman untuk dirinya. "Loh, Naura....?" tanya Marren dengan ucapan menggantung. Marren membelalak terkejut. "Ini, Nyonya. Tuan Muda menyuruh saya membawakan makan malam Nyonya ke kamar. Tadi kata Tuan Muda, Nyonya sedang ingin makan di kamar saja dan tidak ingin di ganggu karena kurang enak badan. Jadi kata Tuan Muda, Nyonya di suruh istirahat saja di kamar saja," ujar Naura seraya meletakkan nampan penuh makanan i
"Arsan, ini cantik sekali? Antingnya juga cantik sekali Arsan, terima kasih, Sayang," ungkap Marren menatap dirinya yang telah mengenakan pemberian Arsan di depan cermin. Arsan mengecup lembut leher Marren yang telah berhiaskan sebuah kalung berlian dan sepasang anting dengan hiasan berlian sebagai mata perhiasan yang di balut ukiran bunga yang cantik."Happy Birthday, Sayang. Terima kasih telah terlahir ke dunia lan hadir dalam hidup Saya," bisik Arsan seraya memeluk pinggang Marren dari belakang dan mengecup pundak Marren dengan sayang. Marren memalingkan wajahnya seraya membelai wajah Arsan yang rebah di pundaknya. "I love you, Arsan," bisik Marren pada Arsan yang menatapnya dalam sebelum akhirnya membenamkan bibirnya pada bibir candu Marren. Mereka menatap pantulan keduanya di cermin, "Kamu sangat cantik, sayang," desah Arsan dengan lembut. Marren berbalik dan menatap Arsan, "Jadi selama ini Saya tidak cantik?" tanya Marren dengan wajah berpura pura sedih. "Kamu sangat tahu
Malam...Semua berkumpul di sebuah restoran mewah pilihan Kakek Ryzadrd.Rombongan Arsan dan Marren memasuki ruangan yang telah di pesan di sebuah hotel mewah. Marren di sambut oleh Kakek Ryzadrd dan Arland. Serta beberapa tamu undangan Kakek Ryzadrd pun ikut menghadin acara keluarga tersebut. Beberapa tamu undangan yang merupakan dewan direksi dari XYNZ COMPAR OFFICE dan tamu luar itu memberikan ucapan selamat dan kado ulang tahun untuk Marren. Mereka yang telah bertemu Marren saat hari pernikahan dengan Arsan sangat mengagumi kecantikan Marren yang saat itu memang berhias diri untuk hari ini. Hal itu membuat Arsan makin bangga dan terlihat tidak ingin jauh-jauh dari Marren. Acara malam itu selain makan malam bersama, mereka juga menikmati musik yang dinyanyikan langsung oleh sebuah grup musik kesukaan Marren. Melihat grup itu memasuki ruangan dan sedang menyiapkan diri membuat Marren hampir saja histernis senang. Ia menatap Arsan dengan wajah syok, senang bercampur haru. "Ap
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau