Di ruangan yang penuh nuansa merah dan dalam keadaan temaram, seorang wanita bergaun malam hitam terbuka sedang mempersiapkan diri di depan meja rias sembari memoleskan bibirnya dengan lipstik berwarna senada juga.
Sunggingan senyum lalu ia tampakkan tatkala melihat tampilannya yang begitu berbeda. Lantas kemudian wanita berponi rata pendek dengan rambut hitam panjang layaknya Cleo Patra itu berdiri. Tubuh ramping dan berisi di bagian yang tepat jelas membentuk lekukan - lekukan dramatis bak pahatan karya Tuhan paling sempurna. Sorot matanya yang tajam disertai bulu mata lentik semakin mempertegas aura kecantikannya. Jangan lupakan kaki jenjang panjangnya yang masih telanjang, tampak eksotis dan juga mengkilat. Sungguh siapa saja pasti akan terpana melihatnya.
"Aku yakin kamu akan bertekuk lutut di bawah kakiku, Tuan Arogan," gumam wanita itu disela dirinya memakai sebuah stocking dan garter belt dengan warna sepadan.
Setelah itu ia kembali menegapkan tubuhnya seraya mengambil sesuatu di atas meja. Sebuah cambuk hitam yang kemudian salah satu ujungnya dipelintir ke tangan. Sekali lagi, sudut bibirnya terangkat dengan kilatan mata yang berbahaya. Lantas dengan percaya dirinya ia berkata, "Takkan kubiarkan kamu lari dari jeratanku. Let's play truth or dare, King."
Menyudahi aksinya yang nakal sambil berbalik arah dan kemudian pergi dengan langkah kaki panjangnya menggunakan hak tinggi berwarna merah.
Tak lama terdengar suara seorang pria berteriak ....
"CUT! Good Job, Lova!"
Suara ramai dan berisik pun kemudian terdengar seisi ruangan disertai hembusan napas lega juga riak gembira orang - orang yang ternyata sedari tadi memantau jalannya proses syuting.
Termasuk si pemeran wanita utama yang kemudian segera memakai mantel bulu pemberian sang asisten, sedangkan sang sutradara mengacungkan kedua jempol padanya tinggi. Tak lama tepuk tangan pun menggema di lokasi syuting tersebut.
Wanita bernama Lova tadi sedikit menundukkan kepalanya ke semua orang di ruangan. Senyuman tampak menghias wajahnya yang sungkan dan juga sopan. Sebelum akhirnya ia mengundurkan diri untuk kembali ke ruangan ganti bersama dua asistennya dan seorang manager.
Dealova Angela Rayadi
Actress Film
27 Years Old
Motto : Live With Passion.
Siapa tak kenal Dealova Angela? Aktris papan atas yang terkenal dengan sederet prestasi membanggakan. Kali ini Lova mendapatkan peran wanita utama yang cukup menantang dalam sebuah film bergenre dewasa, My Valentine Secret adalah kisah yang diangkat dari kejadian nyata. Beruntung dia telah menyelesaikan segala proses pengambilan film dengan lancar hingga selesai. Malam ini adalah adegan terakhir dari film yang akan tayang awal tahun depan nanti.
Lova, sebutan semua orang pada wanita itu, merupakan salah satu artis muda berbakat yang sedang naik daun. Namanya dikenal seantero negeri berkat akting-aktingnya yang memukau. Mulai dari peran protagonis, antagonis, tritagonis, sampai menjadi wanita psiko pernah dilakoninya. Semua itu berkat kerja kerasnya selama ini setelah berjuang menjadi trainee di sebuah rumah produksi ternama. Atas pencapaiannya itu juga, ia menjadi wajah baru dalam dunia industri perfilman.
Namun, seorang Lova bukanlah tipe artis yang mudah berbaur dengan orang - orang. Sifatnya yang tertutup cukup disegani semua orang. Walaupun begitu, ia tetap profesional menjalankan profesinya.
"Jill, habis ini kosongkan?" Lova bertanya begitu mereka keluar dari lokasi syuting dan melewati lorong panjang yang pencahayaannya berpendar warna kebiruan. Tak begitu terang, sama remangnya dengan dalam ruangan tadi.
Jill, perempuan berambut pendek yang sedang fokus pada tabletnya itu menjawab, "Free. Tapi-"
"Good. Aku mau kita langsung pulang sekarang," potong Lova cepat, sambil berbelok ke arah kanan dan menuruni anak tangga. Tampak beberapa orang melewati mereka dengan tatapan terpana. Sayangnya bau alkohol dari orang - orang itu membuat Lova tak suka.
Dua asisten Lova di belakang patuh mengikuti, hanya Jill yang merupakan sang manager mencoba menyeimbangi langkah si aktris.
"Tadi tim bilang, kalau selepas ini kita ada acara di sini, dan mereka mau kita-"
Langkah Lova mendadak berhenti dan kemudian memandang horor pada Jill. "Jill, kamu tahu, 'kan ...?" Iris coklatnya seakan memberi tahu perempuan berambut pendek itu akan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman. Apalagi tempat di mana mereka sekarang ini.
Jill menepuk keningnya begitu mengerti. "Oh my ... Kamu gak suka pub. Lupa!" serunya yang membuat sepasang asisten di belakang menggelengkan kepala. Lova memang tidak menyukai tempat hiburan malam yang menjadi lokasi syuting terakhir mereka malam ini. Apa boleh buat? Dia harus profesional.
Lova hanya bisa memutar matanya karena Jill lupa akan pesannya. Segera ia kembali melangkahkan kakinya menuruni tangga. Sayup - sayup mulai terdengar bunyi musik dari lantai bawah dan teriakan orang - orang memenuhi gedung.
Nahas, saat hampir saja sampai di ujung undakan, tiba -tiba hak sepatu yang dipakai Lova patah dan membuat dirinya hilang keseimbangan. Dirinya yang pasrah bila akan terjatuh dengan mendarat di permukaan yang keras, nyatanya dalam rentang waktu tersebut tak juga merasakan sakit. Justru dekapan hangat dan cengkraman kuat, yang seketika membuat degupan jantungnya berhenti.
"Lova!"
Pekikan dua wanita dan pria kemayu yang melihat Lova hampir mencium ubin terdengar panik. Hal tersebut membuat Lova tersadar dan beralih menatap ketiganya yang berlari ke arahnya.
"Astaga, are you okay, Dear?" Jims yang merupakan asisten pria di belakangnya tadi memberondong ke arah Lova cepat. Memeriksa keadaan wanita cantik itu yang masih dalam gendongan dengan panik.
Sedangkan Terry, asisten kedua hanya bisa bernapas lega dan Jill wajahnya seketika pucat di tempat.
"It's okay, Girls," jawab Lova yang sebenarnya masih jantungan. Sedetik kemudian ia tersadar bahwa dirinya sedang mengambang. Lantas ia menurut untuk melihat sosok yang menyelamatkannya.
Iris coklatnya melebar begitu melihat siapa yang telah menolongnya. Sosok tak asing yang dulu kerap sekali menyapanya. Senyum pria itu bahkan seperti virus yang menyebar. Lova dibuat terpesona dan tak ingin berkedip barang sedetik pun.
"Ka- kamu ...."
"Hai, Lova. Long time no see."
oOo
"Lova, tadi itu benar teman kamu?"
Hell! Rasanya Lova ingin pura - pura tidak mendengar pertanyaan dari Terry, Jill dan Jims. Nyatanya kini mereka berada dalam Van yang sama, setelah pertemuan singkatnya dengan si pria yang ia katakan 'teman' tadi. Ketiga orang tersebut terus memberondongnya tiada henti. Bahkan saat mereka tiba di ruangan khusus Lova untuk berganti pakaian dan berkemas pulang.
"Hm, maybe doi mantan Lova yes. Secara so manly as hell. Tipe Lova banget menurut aku." Kini Jims ikut berasumsi yang tidak - tidak. Percuma Lova menjelaskan bahwa pria itu tak lebih dari sekedar teman.
"Hey, gossip girls. Stop hitting me. Jared itu beneran cuma teman. Kebetulan kita pernah satu kampus dulu dan saling kenal. That's it." Lova menegaskan dengan santai.
Namun, sepertinya asisten juga managernya itu tak percaya. Mereka justru melayangkan tatapan penuh sangsi.
"Kita beneran gak bisa nih menilai ekspresi seorang best actress of the year ini beneran jujur atau enggak. Percaya aja deh." Akhirnya Jims menyerah dan memilih sibuk dengan ponselnya. Terry dan Jill pun hanya bisa pasrah.
Rasa legah pun dirasakan Lova yang setelahnya memilih untuk bersandar dengan santai di tempatnya sambil memejamkan mata, sekaligus mengingat - ingat pertemuannya dengan pria bernama Jared tadi, yang membawanya akan kejadian sepuluh tahun yang lalu saat mereka masih berkuliah.
Jared. Ia tak menyangka kini pria dengan eyes smile itu menjadi seorang fotografer pro terkenal. Sosok yang begitu ramah dan juga baik sejauh yang Lova ingat. Tak ada yang berubah sepertinya. Hanya saja secara fisik Jared semakin prima, tubuh atletisnya sungguh membuat Lova ... terpukau?
"No, justru aku yang pangling sama kamu, Angel. Secara kamu sekarang udah jadi artis terkenal." Begitu Jared menolak dirinya dipuji saat tadi mereka berbincang sesaat. Pria itu masih memanggilnya dengan sebutan lama dirinya, Angel.
"Oh, come on, Red." Lova juga memanggil julukan Jared waktu kuliah dulu. "Seneng banget bisa ketemu kamu lagi."
Lantas mereka pun setelahnya saling bertukar nomor kontak. Dirinya pun tersenyum sendiri mengingat kembali rangkaian kejadian tadi. Hanya pertemuan singkat, tetapi berkesan. Entah bagaimana kelanjutan esoknya. Lova tak menetapkan ekspetasi apa pun, karena jam terbangnya yang tinggi membuatnya sibuk.
Tak lama kendaraan yang membawa Lova memelan dan berhenti. Ternyata mereka terkena lampu merah di bundaran besar dengan tugu air mancur di tengahnya. Lova pun lantas membuka matanya. Dilihatnya Jill yang berseberangan dengannya seperti mengintip dari kaca. Hal yang jarang Jill lakukan sebelumnya.
"Jill, ada apaan sih?" Lova bertanya sembari melirik ke arah Jims dan Terry yang sepertinya juga ikut penasaran.
"Itu di depan," jawab Jill. "Masih ada aksi 1000 lilin untuk Dewi Rossa."
Siapa yang tidak tahu Dewi Rossa? Salah satu aktris terbaik negeri ini. Sayangnya kecelakaan dua puluh tahun yang lalu telah menewaskannya, tepat di bundaran di mana kini mereka berada. Maka dari itu para penggemar Dewi Rossa masih mengenang sosok itu dengan setiap tahun melakukan aksi 1000 lilin di tempat sang idola mengembuskan napas terakhir, dan Lova adalah salah satu pengagumnya juga.
"Udah hari ke- dua by the way. Lihat deh, kumpulan mawar merahnya makin banyak aja," sambung Jill memberi tahu. Lantas Terry dan Jims ikut menyembulkan kepala untuk mengintip, sedangkan Lova masih diam di tempatnya.
Berbicara soal mawar merah, Lova pun sempat mengirim bunga tersebut juga melalui kurir. Itu karena dirinya sangat mengidolakan sosok Dewi Rossa. Beliau adalah panutan dan sosok yang membuatnya berani mengejar mimpi. Pernah sekali Lova bersapa dengan sang idola, walau dirinya masih kecil saat itu, tetapi kata - kata semangat dari beliau begitu membelas di hatinya.
Pikiran Lova seketika jauh melayang ke masa dirinya bersama Dewi Rossa. Di belakang panggung teater ia menangis. Waktu itu Lova kecil lupa dialog yang diperankannya. Hanya Dewi Rossa yang datang memeluknya dan menenangkannya, dan berujar padanya, "Suatu hari kamu pasti bisa bersinar seperti matahari, yang walaupun sendiri tetapi menerangi. Jangan menyerah, little white. You can do it."
Dada Lova rasanya menghangat mengingat kejadian tersebut. Sampai kapanpun ia berterima kasih akan sosok panutannya. Berkat motivasi dari beliau, kini ia tumbuh menjadi sosok yang penuh akan percaya diri. Bahkan mimpinya pun terwujud.
Tak lama mobil van pun berjalan melewati tugu memori itu. Bisa Lova lihat masih banyak kerumunan di sana. Sekilas figura besar Dewi Rossa terpampang. Sosok cantik yang akan selalu dalam ingatan semua orang.
Di sisi lain, dari sebuah mobil sedan di belakang van Lova, ada sepasang mata kelam mengintip dari balik kaca pembatas— mengintai ke arah yang sama seperti Lova. Kilat matanya tampak penuh kebencian. Sosok tersebut bahkan bergumam kasar begitu melihat figura besar Dewi Rossa.
"Dasar jalang! Kau tidak pantas dikenang!"
"Brengsek!" Bersamaan dengan suara pecahan kaca terdengar di ruangan bernuansa monokrom itu berada. Gala, orang yang telah membuat kekacauan tampak sedang marah besar. Guratan wajahnya yang mengeras dengan urat-urat di sekitar pelipis dan rambut hitam acaknya menandakan bahwa ia tak baik - baik saja. Sedangkan dua orang lainnya: Nicole dan Frans yang merupakan sekretaris hanya berdiri diam seraya menunduk tak jauh dari sofa- tak berani menyela sama sekali. "Apa kalian berdua saya bayar hanya untuk bersantai?! Hal sekecil itu bahkan kalian tidak bisa membereskannya. Kalian kupecat!" Gala yang sudah muak, tak ingin melihat kedua orang tersebut. Emosinya bisa semakin menjadi dan tak terkontrol. Cukup meja kaca yang berada di ruangannya itu menjadi pelampiasannya. Lantas i
Rasanya kepala Gala hampir pecah menghadapi situasi saat ini. Semua orang seakan memburunya ke mana pun ia pergi. Sebenarnya dia ini siapa? Selebriti atau pejabat Negara? Setiap gerak – geriknya seolah diintai dan tak lepas dari kilatan kamera. Tak hanya karena satu berita saja, melainkan ada dua yang kini menghantuinya. Seperti yang terjadi saat ini begitu ia baru saja keluar keluar dari mobil. Para wartawan hiburan itu kembali memberondongnya dengan pertanyaan lainnya. “Pak Galantara, bagaimana tanggapan anda tentang kerusakan yang terjadi di tugu tempat peringatan mendiang ibu anda? Apakah anda akan membiarkannya saja seperti tahun – tahun sebelumnya? Mengapa tidak ada tindakan dari pihak bapak? Apakah anda belum juga tahu siapa pelaku kerusakan?” Gala seketika berhenti dan berbalik untuk melihat siapa w
Title Story : Playing With Fire (100 Days in Madness)Genre : RomanceRate : Mature (21+)Author : Lady AndreaC o p y r i g h tThis is a work of fiction. Names, characters, businesses, places, events, locales, and incidents are either the products of the author’s imagination or used in a fictitious manner. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.Copyright © 2021 by Lady Andrea__________SNEAK PEEKBerhenti menatapku dengan pandangan sombongmu itu!Jangan kira hanya karena ka
Bukan hal yang menyenangkan sebenarnya menjadi pusat perhatian. Sayangnya, seorang pemimpin besar dari sebuah rumah produksi ternama tak bisa menghindar dari itu semua. Para wartawan, kilatan kamera, berondong pertanyaan, bahkan suara keributan juga desakan harus senantiasa dihadapi. Itu adalah dari sekian banyak hal menjengkelkan yang harus ditanggungnya mulai kini. Lebih tepatnya sejak sebulan yang lalu, saat tahta sang ayah sebagai raja industri hiburan jatuh kepadanya. Tak ada lagi kehidupan bebas tiada aturan, berkeliaran ke sana ke sini, pesta sampai pagi, juga mabuk-mabukan melebihi toleransi, karena sekarang semua tindak-tanduknya akan disorot secara tajam. Bahkan Jejak digital lebih kejam dari apapun di era ini. Namun, itu semua sebenarnya tak sulit untuk dilenyapkan. Baginya semudah membalikkan sebuah telapak tangan. Jika tidak jangan panggil dirinya ….
Rasanya kepala Gala hampir pecah menghadapi situasi saat ini. Semua orang seakan memburunya ke mana pun ia pergi. Sebenarnya dia ini siapa? Selebriti atau pejabat Negara? Setiap gerak – geriknya seolah diintai dan tak lepas dari kilatan kamera. Tak hanya karena satu berita saja, melainkan ada dua yang kini menghantuinya. Seperti yang terjadi saat ini begitu ia baru saja keluar keluar dari mobil. Para wartawan hiburan itu kembali memberondongnya dengan pertanyaan lainnya. “Pak Galantara, bagaimana tanggapan anda tentang kerusakan yang terjadi di tugu tempat peringatan mendiang ibu anda? Apakah anda akan membiarkannya saja seperti tahun – tahun sebelumnya? Mengapa tidak ada tindakan dari pihak bapak? Apakah anda belum juga tahu siapa pelaku kerusakan?” Gala seketika berhenti dan berbalik untuk melihat siapa w
"Brengsek!" Bersamaan dengan suara pecahan kaca terdengar di ruangan bernuansa monokrom itu berada. Gala, orang yang telah membuat kekacauan tampak sedang marah besar. Guratan wajahnya yang mengeras dengan urat-urat di sekitar pelipis dan rambut hitam acaknya menandakan bahwa ia tak baik - baik saja. Sedangkan dua orang lainnya: Nicole dan Frans yang merupakan sekretaris hanya berdiri diam seraya menunduk tak jauh dari sofa- tak berani menyela sama sekali. "Apa kalian berdua saya bayar hanya untuk bersantai?! Hal sekecil itu bahkan kalian tidak bisa membereskannya. Kalian kupecat!" Gala yang sudah muak, tak ingin melihat kedua orang tersebut. Emosinya bisa semakin menjadi dan tak terkontrol. Cukup meja kaca yang berada di ruangannya itu menjadi pelampiasannya. Lantas i
Di ruangan yang penuh nuansa merah dan dalam keadaan temaram, seorang wanita bergaun malam hitam terbuka sedang mempersiapkan diri di depan meja rias sembari memoleskan bibirnya dengan lipstik berwarna senada juga. Sunggingan senyum lalu ia tampakkan tatkala melihat tampilannya yang begitu berbeda. Lantas kemudian wanita berponi rata pendek dengan rambut hitam panjang layaknya Cleo Patra itu berdiri. Tubuh ramping dan berisi di bagian yang tepat jelas membentuk lekukan - lekukan dramatis bak pahatan karya Tuhan paling sempurna. Sorot matanya yang tajam disertai bulu mata lentik semakin mempertegas aura kecantikannya. Jangan lupakan kaki jenjang panjangnya yang masih telanjang, tampak eksotis dan juga mengkilat. Sungguh siapa saja pasti akan terpana melihatnya. "Aku yakin kamu akan bertekuk lutut di bawah kakiku, Tuan Arogan," gum
Bukan hal yang menyenangkan sebenarnya menjadi pusat perhatian. Sayangnya, seorang pemimpin besar dari sebuah rumah produksi ternama tak bisa menghindar dari itu semua. Para wartawan, kilatan kamera, berondong pertanyaan, bahkan suara keributan juga desakan harus senantiasa dihadapi. Itu adalah dari sekian banyak hal menjengkelkan yang harus ditanggungnya mulai kini. Lebih tepatnya sejak sebulan yang lalu, saat tahta sang ayah sebagai raja industri hiburan jatuh kepadanya. Tak ada lagi kehidupan bebas tiada aturan, berkeliaran ke sana ke sini, pesta sampai pagi, juga mabuk-mabukan melebihi toleransi, karena sekarang semua tindak-tanduknya akan disorot secara tajam. Bahkan Jejak digital lebih kejam dari apapun di era ini. Namun, itu semua sebenarnya tak sulit untuk dilenyapkan. Baginya semudah membalikkan sebuah telapak tangan. Jika tidak jangan panggil dirinya ….
Title Story : Playing With Fire (100 Days in Madness)Genre : RomanceRate : Mature (21+)Author : Lady AndreaC o p y r i g h tThis is a work of fiction. Names, characters, businesses, places, events, locales, and incidents are either the products of the author’s imagination or used in a fictitious manner. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.Copyright © 2021 by Lady Andrea__________SNEAK PEEKBerhenti menatapku dengan pandangan sombongmu itu!Jangan kira hanya karena ka