Sedangkan di tempat lain. Masih di kamar yang sama, Mariam meraung meminta pengampunan Opick. Perempuan itu bersujud di kaki suaminya."Maafkan aku karena sempat tersanjung dengan perhatian Mas Erick padaku, Bang. Demi Allah aku tak pernah berniat untuk menghianatimu walaupun kau tak pernah benar-benar memberikan hatimu ... tolong beri aku kesempatan, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kita bisa pindah ke Mesir secepatnya dan melupakan apa yang telah terjadi!" Mariam berusaha menggapai tangan Opick. Namun, pria itu menepisnya.“Mudah saja bila kita pindah ke Mesir secepatnya dan melupakan apa yang telah terjadi. Tapi, bagaimana dengan Erick dan Alani? Masalah yang kalian perbuat tak semudah itu untuk diselesaikan. Tolong jangan egois. Kalian sama-sama perempuan, Mariam. Kamu pasti mengerti apa yang Lani rasakan? Dia pendarahan karena Erick tak sengaja mendorongnya, saat tengah berdebat denganku ketika dia mati-matian membelamu!”Mariam masih terisak, dia menghapus jejak b
Bletak! "Dasar anak kurang ajar! Begini caramu memperlakukan seorang perempuan, hah? Dua puluh tujuh tahun kakek besarkan kamu dalam lingkungan yang ketat, hanya untuk menyakiti istri dan membunuh calon anakmu? Di mana kau simpan otakmu yang kecil itu, Erick!" Di koridor rumah sakit yang sepi, Erick tampak bersimpuh di hadapan Sultan Wardhana, sesaat setelah belakang kepalanya menjadi sasaran tongkat kakeknya. Nyalang pria renta itu menatap cucunya dengan napas terengah-engah, karena emosi yang merebak tak terbendung, kala mengetahui kenyataan bahwa dokter memvonis cicitnya tak terselamatkan. "Aku tak menyangka kau terlahir dari rahim putriku, anak sial! AKU TAK MENYANGKA KAU ADALAH CUCU--" "Cukup, Ayah!" Bersimpuh Rima di kaki ayahnya, kala Sultan hendak melayangkan pukulan kedua pada punggung Erick yang hanya bergeming. Terbungkam mulut itu seolah tak mampu mengeluarkan suara bahkan hanya satu patah kata untuk membela diri akan semua ucapan menyakitkan kakeknya. Erick hanya me
Erick tersentak. Ucapan Lani bak sebuah petir menyambar di siang bolong. Tiba-tiba dan tak ia duga sebelumnya.Dari semua kemungkinan yang ada, kenapa jalan seperti ini yang harus Lani ambil untuk Erick tempuh? Jujur saja saat mengucapkannya waktu itu Erick tak benar-benar menginginkan hal itu terjadi.Memang sulit mengakuinya. Namun, Erick benar-benar tak mau menceraikan Lani. Entah apa pun alasannya, pria itu tak peduli. Karena baginya, tak ada alasan untuk berpisah dengan Lani.Lain ceritanya bila Lani mengatakan hal tersebut beberapa bulan yang lalu, di saat ia bahkan masih menatap perempuan itu tak lebih hanya dari status sebagai seorang istri ... mungkin Erick akan dengan mudah melayangkan talak.Meskipun ia masih belum bisa memastikan perasaan seperti apa yang ia rasakan pada istrinya. Tetap saja Erick tak bisa kehilangan Lani dalam waktu dekat ini. Ia membutuhkan perempuan itu!"Nggak akan, Lani ... apa maksud lo?!" tolak Erick keras.Dengan cepat ia berusaha menggapai jemari
"Rick!" Suara itu menarik Erick dari lamunan. Ia terlihat tengah menikmati pemandangan taman belakang rumah sakit dengan pikiran yang entah ke mana. Akhir-akhir ini banyak hal yang tak terduga terjadi. Itu semua cukup menguras tenaga dan pikirannya. Kalau saja ia bisa memutar waktu dan tak perlu pergi ke rumah Sultan. Mungkin hubungannya dan Lani masih baik-baik saja dan tak akan berakhir sepelik ini."Ada yang ingin kubicarakan denganmu sebentar," lanjutnya, seolah sudah memprediksi tatapan tak bersahabat Erick.Akhirnya pria itu menoleh, menatap saudara kembarnya yang tengah berdiri dengan dua gelas kopi instan di tangan."Duduk!" jawab Erick singkat.Opick tersenyum, lalu mengangsurkan satu gelas kopi itu ke hadapan Erick yang langsung pria itu sambut tanpa banyak bicara."Mau ngomong apa?" Erick menatap Opick yang tiba-tiba terdiam setelah duduk.Pria itu hanyut dalam lamunan. Entah apa yang tengah ia pikirkan sebenarnya. Opick pun tak mengerti kenapa ia merasakan lidah kelu saat
Mariam tampak berdiri di ambang pintu ruang rawat. Ia mencengkeram gamis panjangnya saat menatap Lani yang tengah duduk bersandar di kepala brankar, sedang Ainun terlihat tengah membujuknya untuk makan. Sudah tiga hari sejak kuretase itu, Lani belum diperbolehkan pulang. Kondisi perempuan itu memburuk. Dia bahkan sempat demam. Tak jarang orang-orang yang besuk mendapati perempuan itu tengah melamun atau menangis tanpa alasan yang jelas. Bahkan seharian ini tak ada makanan yang masuk ke mulutnya hingga mengharuskan ia diinfus. Setelah bergelut dengan pikiran akhirnya Mariam memberanikan diri. Ia berjalan ragu memasuki ruang rawat Lani. Perempuan itu tampak memilin tangannya yang berkeringat dan berdiri di samping Ainun. "Maaf, Bu. Bisa tinggalkan kami berdua sebentar!" Ainun mendongak, menatap perempuan bercadar itu. Ia mengangguk sekali, lalu menyimpan mangkuk bubur di meja samping brankar. "Tapi kayaknya Lani nggak bisa diajak bicara!" Mariam tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu Ainu
"Setelah kami periksa ternyata nyonya Alani mengalami depresi pasca traumatis, hingga menyebabkan rasa sedih berkepanjangan. Kami tak bisa menyimpulkan seperti apa trauma yang dialaminya. Mungkin saja itu terjadi setelah kuretase karena dia belum siap menerima kenyataan telah kehilangan janinnya atau ada faktor lain. Kabar yang terdengar dari orang terdekat yang selalu menjaganya, gejala ini baru timbul lima hari belakangan. Dia kehilangan selera makan, sering melamun, atau menangis tanpa alasan yang jelas. Beruntung depresi yang nyonya Alani alami masih dalam tahap sedang, kita akan segera menanganinya dengan obat-obatan dan psikoterapi. Jadi untuk itu kami sarankan nyonya Alani dirawat inap sampai kondisinya benar-benar membaik."Semua orang yang mendengar ucapan dokter Hendrik tampak tercegat. Ainun yang berdiri paling depan setelah dokter memeriksa Lani membekap mulut terkejut. Ia tak menyangka gadis yang ceria, putri kecilnya yang cantik dan anggun harus mengalami nasib yang be
Senja telah digantikan sang malam yang kian pekat. Jarum jam tampak sejajar di angka sepuluh. Sudah selarut ini. Namun, Erick masih terjaga. Erick yang selalu mengedepankan penampilannya kini tak lagi terlihat. Setelan tadi pagi masih tampak melekat membalut tubuh kekar itu. Bau keringat bercampur parfum tampak menguar dari tubuhnya. Kesibukan mengurus Lani untuk segera menjalani psikoterapi cukup banyak menguras waktu hingga ia tak lagi ambil pusing dengan penampilannya. Terlihat jambang tipis menghiasi rahang kokohnya yang biasa terpangkas bersih. Erick tak peduli lagi akan hal itu.Di ruangan bebas asap rokok itu, tampak kabut pekat menyelimutinya. Berbungkus-bungkus benda yang memberi efek candu itu habis disesapnya dalam tiga malam terakhir."Rick!" Sebuah sentuhan di pundak, menariknya dari lamunan. Erick menoleh dan mendapati pria paruh baya yang masih ia benci. Duduk di sampingnya.Pria itu hanya meliriknya sekilas, lalu memalingkan pandangan. Menatap wajah seorang Hendra Ad
"Allahuakbar .... Allahuakbar ...." Suara azan subuh terdengar berkumandang. Erick yang tampak duduk di kursi sisi brankar mulai beranjak bangkit. Semalaman ia terjaga menemani Lani yang terbaring di brankar. Perempuan itu masih tidur lelap efek terapi dan obat-obatan yang dikonsumsinya seminggu terakhir ini.Pelan langkahnya berayun, sembari meraih sarung yang ditinggalkan diam-diam Opick dalam ruangan ini beberapa hari yang lalu. Kemudian berjalan ke luar ruangan. Desau angin mulai terasa menusuk kulit, menggoyang pohon-pohon rindang di sekitar koridor rumah sakit sepanjang jalannya mencari asal dari suara azan tersebut.Liar matanya memperhatikan keadaan sekitar yang masih tampak sepi subuh ini. Sesekali ia terhenti, menatap langit lepas yang seolah menertawakan kondisinya kini, menertawakan seorang pendosa yang akhirnya tak berdaya di hadapan wanita.Takluk dengan rasa empati yang nyaris membuatnya mati, disebabkan seorang istri yang mulanya tak pernah ia anggap berarti.Seora
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m