Mariam tampak berdiri di ambang pintu ruang rawat. Ia mencengkeram gamis panjangnya saat menatap Lani yang tengah duduk bersandar di kepala brankar, sedang Ainun terlihat tengah membujuknya untuk makan. Sudah tiga hari sejak kuretase itu, Lani belum diperbolehkan pulang. Kondisi perempuan itu memburuk. Dia bahkan sempat demam. Tak jarang orang-orang yang besuk mendapati perempuan itu tengah melamun atau menangis tanpa alasan yang jelas. Bahkan seharian ini tak ada makanan yang masuk ke mulutnya hingga mengharuskan ia diinfus. Setelah bergelut dengan pikiran akhirnya Mariam memberanikan diri. Ia berjalan ragu memasuki ruang rawat Lani. Perempuan itu tampak memilin tangannya yang berkeringat dan berdiri di samping Ainun. "Maaf, Bu. Bisa tinggalkan kami berdua sebentar!" Ainun mendongak, menatap perempuan bercadar itu. Ia mengangguk sekali, lalu menyimpan mangkuk bubur di meja samping brankar. "Tapi kayaknya Lani nggak bisa diajak bicara!" Mariam tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu Ainu
"Setelah kami periksa ternyata nyonya Alani mengalami depresi pasca traumatis, hingga menyebabkan rasa sedih berkepanjangan. Kami tak bisa menyimpulkan seperti apa trauma yang dialaminya. Mungkin saja itu terjadi setelah kuretase karena dia belum siap menerima kenyataan telah kehilangan janinnya atau ada faktor lain. Kabar yang terdengar dari orang terdekat yang selalu menjaganya, gejala ini baru timbul lima hari belakangan. Dia kehilangan selera makan, sering melamun, atau menangis tanpa alasan yang jelas. Beruntung depresi yang nyonya Alani alami masih dalam tahap sedang, kita akan segera menanganinya dengan obat-obatan dan psikoterapi. Jadi untuk itu kami sarankan nyonya Alani dirawat inap sampai kondisinya benar-benar membaik."Semua orang yang mendengar ucapan dokter Hendrik tampak tercegat. Ainun yang berdiri paling depan setelah dokter memeriksa Lani membekap mulut terkejut. Ia tak menyangka gadis yang ceria, putri kecilnya yang cantik dan anggun harus mengalami nasib yang be
Senja telah digantikan sang malam yang kian pekat. Jarum jam tampak sejajar di angka sepuluh. Sudah selarut ini. Namun, Erick masih terjaga. Erick yang selalu mengedepankan penampilannya kini tak lagi terlihat. Setelan tadi pagi masih tampak melekat membalut tubuh kekar itu. Bau keringat bercampur parfum tampak menguar dari tubuhnya. Kesibukan mengurus Lani untuk segera menjalani psikoterapi cukup banyak menguras waktu hingga ia tak lagi ambil pusing dengan penampilannya. Terlihat jambang tipis menghiasi rahang kokohnya yang biasa terpangkas bersih. Erick tak peduli lagi akan hal itu.Di ruangan bebas asap rokok itu, tampak kabut pekat menyelimutinya. Berbungkus-bungkus benda yang memberi efek candu itu habis disesapnya dalam tiga malam terakhir."Rick!" Sebuah sentuhan di pundak, menariknya dari lamunan. Erick menoleh dan mendapati pria paruh baya yang masih ia benci. Duduk di sampingnya.Pria itu hanya meliriknya sekilas, lalu memalingkan pandangan. Menatap wajah seorang Hendra Ad
"Allahuakbar .... Allahuakbar ...." Suara azan subuh terdengar berkumandang. Erick yang tampak duduk di kursi sisi brankar mulai beranjak bangkit. Semalaman ia terjaga menemani Lani yang terbaring di brankar. Perempuan itu masih tidur lelap efek terapi dan obat-obatan yang dikonsumsinya seminggu terakhir ini.Pelan langkahnya berayun, sembari meraih sarung yang ditinggalkan diam-diam Opick dalam ruangan ini beberapa hari yang lalu. Kemudian berjalan ke luar ruangan. Desau angin mulai terasa menusuk kulit, menggoyang pohon-pohon rindang di sekitar koridor rumah sakit sepanjang jalannya mencari asal dari suara azan tersebut.Liar matanya memperhatikan keadaan sekitar yang masih tampak sepi subuh ini. Sesekali ia terhenti, menatap langit lepas yang seolah menertawakan kondisinya kini, menertawakan seorang pendosa yang akhirnya tak berdaya di hadapan wanita.Takluk dengan rasa empati yang nyaris membuatnya mati, disebabkan seorang istri yang mulanya tak pernah ia anggap berarti.Seora
“Lo hendel aja semua proyek gue, ya, Jul! Untuk sementara gue nggak akan bisa kerja lapangan, paling cuma desain via online aja,”terang Erick pada Panji, saat mereka tengah survei lapangan di daerah Cililitan.Panji tampak menghela napas sejenak, lalu menepuk pundak Erick, menatap prihatin. “Gue ikut simpati denger kondisi Lani, Rick. Semoga dia cepet sembuh. Yang tabah, ya!” ujar Panji menyemangati. Ia cukup maklum dengan kondisi Erick saat ini hingga berpengaruh dengan cara kerjanya. Tak ada yang tahu kapan ujian akan menimpa, saat senang maupun sulit. Terkadang manusia yang telalu dibutakan dunia lupa mengingatnya. Hanya membiarkan diri tenggelam dalam kubangan dosa dan tak memikirkan dampaknya. Bahwa murka Tuhan itu nyata. Dalam kehidupan ini, ataupun setelahnya.“Ya, udah gue balik rumah sakit dulu. Sorry, ya, Jul! Akhir-akhir ini gue sering ngerepotin."“Siap, tenang, Rick. Kek ke siapa aja, lu!” Setelah pamit pada Panji dan tim proyeknya di daerah Cililitan, Erick berjal
Erick sampai di rumah sakit rehabilitasi. Langkahnya berjalan lebar mengitari koridor hingga sampai di ruangan Lani. Di persimpangan jalan ia sempat bertemu dengan Ainun yang lagi-lagi tampak kacau. Selalu seperti itu sejak sebulan terakhir ini. Kriet. Suara pintu berderit pelan. Kepala Erick menyembul masuk. Namun, sebelum sempat ia mengucap salam sesuatu mengejutkan terjadi. "LANI JANGAN!"Di sana, di sudut ruangan, Lani duduk memojok. Sebuah pisau ia genggam erat bersiap untuk menggores nadi di lengannya. Perempuan itu tampak gelisah, peluh membasahi pelipisnya dengan kepala bergerak-gerak kaku seperti robot. BRUK. Barang bawaannya Erick robohkan begitu saja, pria itu lari menghampiri istrinya. Ia menggenggam ujung tajam besi itu hingga tampak darah mengalir deras hingga mengenai pakaian Lani. Tring. Benda mungil berujung tajam yang diketahui pengupas buah itu tergeletak di lantai. Erick meringis merasakan perih di telapak tangannya. Sedangkan Lani mulai menjerit histeris
Mariam diam terpaku di tempat, liar matanya menatap lengan Opick yang Lani genggam erat. Kuat cengkeraman di gamis panjangnya hingga menyebabkan kain berbahan lembut itu kusut bergumpal. Tanpa sadar sebulir bening jatuh dari pelupuk mata membasahi cadarnya. Sadar dengan situasi canggung ini seketika Opick menarik diri, lelaki itu mundur selangkah, lalu menatap Erick yang berdiri termangu seolah kehilangan kata untuk diutarakan."Mas, aku mau pulang. Di sini terlalu banyak orang, berisik. Aku nggak suka. Lagian aku udah nggak apa-apa, kok. Kata dokter janin kita juga sehat!" Sontak mata Opick membelalak mendengarnya saat Lani menyebut kata janin, lalu mengelus perut datarnya. Erick yang juga mendengar itu, tampak memejamkan mata, beberapa kali ia menahan diri agar tak berakhir dengan menarik paksa tangan istrinya untuk menjauh dari saudara kembarnya.Pada akhirnya Erick mengambil langkah. Ia berjalan menghampiri keduanya, lalu menepuk pundak Opick. "Nggak apa-apa, Pick. Dia ... saki
Opick tampak menghela napas panjang. Ia beranjak dari ranjang, lalu menghampiri istrinya yang termangu di ambang pintu. "Mariam." Pelan ia tarik lengan perempuan itu masuk ke dalam, lalu menutup pintu perlahan. Walau bagaimana pun ini rumah kakeknya. Opick tak mau bila pertengkaran mereka menyebabkan keributan di sini. "Tenangin diri kamu, Dek!" Dituntunnya Mariam untuk duduk di tepi ranjang, lalu melepas cadarnya. Ia seka air mata perempuan itu yang mulai bergulir membasahi pipi mulusnya."Jadi, bener, 'kan Mas masih suka sama Alani?" Lagi--Opick menghela napas. Sejenak, ia terdiam. Kemudian mulai duduk di samping istrinya. Digenggamnya kedua tangan perempuan itu erat. "Denger, Sayang ... alasan abang nunda keberangkatan bukan cuma karena alasan itu. Kamu tahu sendiri situasi saat ini. Lihat kondisi kesehatan kakek yang mulai drop, lihat Erick, juga kondisi Lani. Semua keadaan kacau ini--kita juga ikut andil, Dek!" Opick berusaha menjelaskan sembari mengelus lembut lengan Mariam.
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m