Sisa hujan kemarin siang masih terlihat. Jalanan masih terlihat becek. Aroma tanah juga masih mewangi. Sedang, jalanan untuk menuju desa di seberang bukit harus melewati tanah liat yang licin. Maka, Beryl mengcancel rencananya ke desa itu.Beryl baru melewati beberapa tanjakan. Tanah liat sudah melekat di sepatunya. Sepatunya jadi terasa berat digunakan untuk melangkah. Di depan Beryl, telah berdiri Mario.“Selamat pagi,” sapa Beryl pada tubuh yang tengah berdiri tegak itu.Mario tak menjawab.“Mau ke desa di seberang itu juga?” Tanya Beryl.Mario masih diam. Matanya penuh selidik.“Ada apa?” Tanya Beryl yang penuh curiga.“Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,&r
Beryl merasa semakin resah. Hatinya kian diselimuti kemelut. Semakin hari dia merasakan semakin tidak nyaman. Bagaimana tidak? Ibaratkan sebuah api yang menyala, nyalanya mulai membakar. Bagaimana jika dirinya terjatuh dalam kobaran api itu? Beryl menyadari dirinya ada dalam bahaya. Binar-binar cinta di mata Jamilah, bagaimana dia harus menghindarinya? Sedang pihak keluarga, sepertinya justru memberikan kesempatan itu. Kesempatan agar dirinya mencintai Jamilah. Sebuah peluang yang terbuka lebar. Namun, yang membuat Beryl resah, dia tak ingin masuk ke dalam peluang itu. Setiap kali Beryl ingin mencoba memeluk Jamilah, bayangan Ernasari muncul. Ernasari, cewe bermata sayu. Bibir Ernasari yang pernah dikulumnya di atas rerumput
Suara burung yang berkicau dan hinggap di sebuah pohon di dekat jendela kamar terdengar sangat merdu. Beryl masih merasakan semuanya getir. Mungkin karena semalam di samping menghisap vape, dia juga kelewat banyak mengonsumsi rokok kretek. Matahari sudah mengirimkan sinarnya lewat celah-celah jendela. Namun, tidak seperti biasanya, Beryl malas untuk bangun. Tubuh Beryl terasa lunglai. Hari itu dia enggan melakukan apa pun. Yang dia mau, hanya tiduran. Bahkan kalau bisa seharian kamarnya tak perlu dibuka. Namun, apa yang dia mau tak mungkin untuk dilakukan. Dia harus bergerak. Harus bangkit. Harus tegar dan kuat. Cahaya matahari pagi jatuh di bola matanya. Mata Beryl terasa silau. Dia sadar, telah terlambat untuk bangun. Rumah
Winda cewe yang sangat lembut. Cewe Jawa yang tentunya menjunjung tinggi arti kesucian. Pasti juga banyak cowo yang jatuh cinta pada Winda. Termasuk, Beryl pun mungkin menyukainya. Wajah melankolis penuh keibuan. Bukankah itu sangat menggoda para lelaki? Di tambah lagi, mata Winda yang jernih. Ernasari berusaha mengusir bayang-bayang Winda. Namun, sejauh ini belum berhasil. Mata Winda seperti terus mengejarnya. Menghantui pikirannya. Mata Winda seakan menghakimi Ernasari. Mata yang menyalahkan Ernasari. Bagaimana tidak, selama kegiatan ospek, Winda yang menjaganya saat pingsan. Dan, sekarang Ernasari dikenai rasa bersalah telah merampas Beryl dari Winda. Ernasari bisa merasakan sakit di hati Winda. Ernasari menggel
Vila itu kini telah sepi. Namun, lampu-lampu yang ada semuanya masih menyala menerangi tempat Winda berbaring. Winda membuka matanya. Dia sangat terkejut.“Di manakah aku?” taka da yang menjawab. Hanya sepi dan sunyi.Tubuhnya juga terasa lunglai. Seluruh persendiannya terasa nyeri. Rasanya seperti mau copot. Winda seperti ingat sesuatu. Dia ingin sekali menjerit. Namun, kerongkongannya tersumbat. Winda terkulai dalam isak.Winda ingat, tadi tubuhnya terasa sangat lemah. Di dalam ruanga itu, banyak sekali teman-teman Ernasari yang gila. Lalu, dirinya diapakan sama mereka? Siapa juga yang mengangkatnya ke ranjang ini?Winda membenamkan wajahnya. Wajah Winda kini tertimbun bantal. Winda ingin sekali agar dirinya tak bisa bernafas. Di
Rerindangan pohon di kampus Unair masih seperti dulu. Masih seperti empat bulan yang lalu, saat ditinggalkan Beryl. Tak ada yang berubah dengan pepohonan dan kampus. Justru Beryl yang berubah. Cowo itu dilanda kegalauan.Di kampus dia tidak berani menatap siapa pun. Dia hanya berjalan menunduk. Beryl merasa semua orang mengejeknya. Belum habis masa tugasnya di desa itu, Beryl telah menerima panggilan dari kampus. Bimbingan dan penyuluhan tidak dia selesaikan.Sebuah kegagalan adalah hal yang membuat hati Beryl menjadi perih. Beryl dianggap gagal menjalankan tugas karena penduduk desa membencinya. Pemuda desa itu yang dikomando Mario membuat pernyataan agar Beryl ditarik kembali ke kampus.Meskipun tidak semuanya, tapi jumlah tanda tangan pemuda itu
Mengurung diri di kamar kost. Itulah yang belakangan selalu dilakukan Beryl. Dia tak punya pilihan lain. Hanya itu pilihan terbaiknya saat ini. Untuk pergi ke kampus, sepertinya dia malu dengan semua orang. Beryl benar-benar merasakan stres tingkat tinggi.Di kamar kost, Beryl menenggelamkan diri dengan buku-buku sastra. Tumpukan buku-buku sastra yang selama ini jarang disentuhnya, ternyata sepulangnya dia dari desa itu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Seperti itulah kegiatan Beryl sehari-hari. Sendiri dengan buku sastra.Tak ada yang mengganggu dia. Tapi sore itu, tiba-tiba ada yang membuka pintunya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Beryl merasa jengkel, karena baru kali ini ada seseorang yang berbuat kurang ajar seperti itu. S
Betapa pun besar rasa hati Beryl ingin bertemu Winda. Tapi, itu semua sudah tak mungkin lagi. Semua keinginan itu seperti datang dengan terlambat. Setelah gerombolan Ernasari mengajaknya berkelahi. Baru keinginan itu muncul.Sayang, semua keinginan ini datangnya terlambat. Winda tak lagi ada di Surabaya. Winda telah kembali ke desanya. Desa yang pernah ditempati Beryl selama empat bulan.Sebuah kepahitan hidup telah menimpa Winda. Empedu hidup paling pahit harus ditelannya. Semua tak terelakkan lagi. Dia telah menangis di ruang hati selama berhari-hari, berada dalam kungkungan duka yang tiada tara dalamnya.Hanya kata-kata karma yang selalu berputaran di otak Winda. Karma apa yang sudah dialaminya? Mengapa karma itu harus menimpa dirinya? Winda tak mampu
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang