Jamilah Yang Malang

Beryl merasa semakin resah. Hatinya kian diselimuti kemelut. Semakin hari dia merasakan semakin tidak nyaman. Bagaimana tidak? Ibaratkan sebuah api yang menyala, nyalanya mulai membakar. Bagaimana jika dirinya terjatuh dalam kobaran api itu?

Beryl menyadari dirinya ada dalam bahaya. Binar-binar cinta di mata Jamilah, bagaimana dia harus menghindarinya? Sedang pihak keluarga, sepertinya justru memberikan kesempatan itu. Kesempatan agar dirinya mencintai Jamilah. Sebuah peluang yang terbuka lebar. Namun, yang membuat Beryl resah, dia tak ingin masuk ke dalam peluang itu.

Setiap kali Beryl ingin mencoba memeluk Jamilah, bayangan Ernasari muncul. Ernasari, cewe bermata sayu. Bibir Ernasari yang pernah dikulumnya di atas rerumputan di belakang vila di bawah rerindangan pohon, senantiasa menghalanginya untuk berbuat aneh-aneh dengan cewe lain.

Maka saat Pak Lurah dan Pak Dhe Pardi mengajaknya bincang-bincang, Beryl merasa canggung. Pembicaraan mereka sangat serius. Sama seperti seriusnya keadaan yang sedang dialami desa itu.

“Orang-orang mulai tak menyukaimu,” kata Pak Lurah.

“Ini sebuah kenyataan pahit yang harus kamu hadapi. Memang, tidak semua warga membencimu. Tapi, sikap warga bisa menghambat tugasmu di sini,” kata Pak Lurah mengawali pembicaraan.

“Sumber masalah ini sepertinya dari Mario,” kata Pak Dhe Pardi menimpali.

“Iya,” desah Pak Lurah.

Secara bersamaan Pak Lurah dan Pak Dhe Pardi menatap Beryl dalam-dalam. Memperoleh tatapan seperti itu, Beryl merasa canggung. Andai bisa dia ingin menghindari tatapan itu. Beryl menghisap vapenya kuat-kuat, kemudian menghembuskan asapnya, hingga asap itu betul-betul mengepul ke udara.

Keadaan desa itu memang semakin tak mendukung kelancaran tugasnya. Beryl juga sudah merasa tidak betah berlama-lama di desa itu. Dia ingin rasanya cepat-cepat kembali ke kampus. Meninggalkan semua permasalahan di desa itu.

“Sampai saat ini, aku tak pernah mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan. Mereka sering berkumpul di rumah Mario,” kata Pak Dhe Pardi.

“Sepertinya dendam lama dan kebencian baru telah tercampur menjadi satu.” Kata Pak Lurah.

“Tapi, mengapa Pak Herman bisa terpengaruh juga? Bukankah selama ini dia cukup bijaksana dalam menghadapi setiap permasalahan?” kata Pak Dhe Pardi.

Beryl hanya diam, menyimak. Pak Lurah dan Pak Dhe Pardi menatapnya kembali.

“Semua ini pasti membingungkanmu,” kata Pak Dhe Pardi.

Beryl mengamati wajah Pak Dhe Pardi. Seorang lelaki yang dituakan di desa itu dengan kulit sawo mata dan memiliki mata yang teduh.

“Sejak Jamilah lulus sekolah, Mario menginginkannya menjadi istrinya. Tapi, Jamilah tak menggubrisnya,” Pak Dhe Pardi memutuskan lamunan Beryl dengan kalimatnya.

Dada Beryl bergetar. Dia teringat kembali perkelahiannya dengan Mario di atas bukit itu. Apakah orang-orang mengetahui tentang semua itu?

“Maka, sejak kamu ada di rumah ini, Mario menjadi khawatir. Diabaikan oleh Jamilah dia sudah kalang kabut. Apa lagi kalau harus melihat kamu sedang bersama Jamilah.”

Mendengar penjelasan-penjelasan itu di dalam hati Beryl hanya bisa mengeluh.

“Kurang lebih seperti itu persoalannya.” Kata Pak Dhe Pardi.

Pak Lurah mengambil sebatang rokok, kemudian pelan-pelan menyulutnya. Pelan-pelan juga dia menghisapnya. Sambil matanya tak lepas memperhatikan Beryl.

“Apakah kamu sudah ada rencana untuk menikah?” kata Lurah tiba-tiba.

Beryl tersentak. Dia merasa gelagapan. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

“Maaf, Beryl,” kata Pak Dhe Pardi.

“Sebaiknya kami berterus terang kepadamu. Karena situasinya yang terasa mendesak. Apakah kamu mencintai Jamilah? Maaf, kami hanya ingin tahu saja.” Pak Dhe Pardi melanjutkan pertanyaannya.

Kerongkongan Beryl seperti tersumbat. Dadanya menjadi sesak seperti mendapat tekanan keras. Pak Lurah dan Pak Dhe Pardi menangkap keresahan di wajahnya.

“Apakah di Surabaya, kamu sudah mencintai seorang cewe?” Tanya Pak Dhe Pardi lagi.

Jantung Beryl serasa mau copot saja.

“Yah,” desah Beryl.

Pak Lurah dan Pak Dhe Pardi saling melepas pandang, melepaskan keluhan pula. Kemudian menunduk.

Ruang tengah rumah itu menjadi sepi. Hanya detak jarum jam yang terdengar di sudut ruangan.

“Maaf, kalau kami terlalu ceroboh menilai,” kata Pak Dhe Pardi pelan.

Beryl masih tetap diam.

“Tapi, sewaktu aku bertanya kamu sudah punya calon atau belum, kamu hanya membisu. Mengapa?”

Mata Beryl hanya menghunjam tunduk ke tanah. Di lantai bayangan Jamilah seperti melambai-lambai. Rambutnya yang selalu diikat. Tengkuknya tampak bersih, dan lehernya yang jenjang. Leher yang telah dicium Beryl, di sebuah gubuk bambu waktu berteduh dari hujan. Apa mungkin Jamilah mengira Beryl mencintainya?

Beryl tak pernah merayu Jamilah. Meskipun di kampus dia dikenal dengan playboy. Dia tak berminat untuk merayu Jamilah, meskipun dia lihai pacaran, dan desa itu dengan kesepiannya sangat mendukung, jika dirinya mau. Beryl bingung dihadapkan pada kenyataan yang di luar rencananya.

“Kami telah ceroboh menilaimu mencintai Jamilah,” kata Pak Dhe Pardi dengan lesu.

Beryl tak mampu mengucapkan kata apa pun. Dan, memang dia tak siap untuk menyampaikan kata apa pun. Beryl benar-benar merasa bingung.

“Kalau begitu ini hanya kesalahpahaman. Mario mengira kamu telah merampas Jamilah. Kalau dia tahu, kamu tidak mencintai Jamilah, pasti dia tidak akan membencimu lagi,” kata Pak Lurah.

“Tapi, kalau Jamilah tidak mencintainya? Dan, justru mencintai Beryl?” keluh Pak Dhe Pardi.

Beryl tetap diam menatap kelamnya malam. Pak Dhe seperti paham isi hati Jamilah, sebab berkali-kali dan sering kali keponakannya itu selalu membicarakan Beryl. Dan, setiap kali Jamilah membicarakan Beryl, pasti Pak Dhe Pardi memberikan respon, bahwa ada peluang untuk mencintai Beryl. Itu artinya, Pak Dhe Pardi ikut menghancurkan hati keponakannya. Jamilah telah membakar dirinya dengan bara cinta.

Dan, sekarang Jamilah akan benar-benar terbakar hangus. Diam-diam Pak Dhe Pardi jadi mengeluh, menyayangkan perasaan cinta Jamilah yang telah terlanjur berkembang. Sepertinya baru kemarin keponakannya itu besar dan sekolah di kota. Tapi, kenyataannya sekarang, Jamilah sudah tumbuh sebagai cewe yang bisa jatuh cinta.

Tapi, ternyata Beryl tak mencintainya. Bahkan sebenarnya sudah ada calon istri di kota. Pak Dhe Pardi hanya termangu, meratapi nasib keponakannya. Betapa malang nasib keponakannya. Jamilah yang malang. Jamilah anak Pak Lurah.

Hingga saat Pak Lurah mengatakan sesuatu, Pak Dhe Pardi tak sempat mendengarnya.

“Seandainya belum ada seseorang yang kamu cintai, tentu kami akan sangat senang menerimamu menjadi bagian dari anggota keluarga kami, Nak Beryl.”

Kerongkongan Beryl menjadi tersekat. Benar-benar terasa kering-kerontang.

“Namun, begitu Nak Beryl jangan berubah sikap. Tetap lanjutkan tugas di sini. Kami akan senantiasa membantu.”

Bersambung

Pak Dhe Pardi dan Pak Lurah telah salah sangka. Mereka menduga Beryl mencintai Jamilah. Tapi ternyata tidak.

Hal ini membuat hati Beryl menjadi resah. Pasalnya Pak Lurah dan keluarganya sudah terlalu baik. Tapi mereka harus Beryl kecewakan.

Bersambung

Jangan pernah beranjak dari Playboy Kampus. 

Jangan lupa kasih star vote, subscribe, dan review.