"Papa kecewa sama kamu, Bram. Kamu tidak bisa berbuat adil pada kedua putrimu. Teganya kalian mengadakan acara pertunangan Anggia sedangkan Ayuna sedang patah hati karenanya."
Brata menatap kecewa sang putra. Hari ini ia sengaja meminta Bram datang ke kediamannya. Tak lupa, kedua menantunya pun diminta untuk datang."Maaf, Pa. Tapi Papa tahu kan kondisi Anggia yang sedang sakit. Aku hanya ingin membahagiakan dia.""Dengan merenggut kebahagiaan putrimu yang lain?"Bram tertunduk. Tidak mampu menjawab ucapan sang Papa karena memang kenyataannya seperti itu."Dalam hal ini bukan sepenuhnya salah kami. Raga memang sudah merasa tidak cocok dengan Ayuna dan lebih nyaman bersama Anggia. Jika kenyataannya mereka saling mencintai, kita sebagai orang tua bisa apa? Tinggal Ayuna yang harus ikhlas melepas pria yang sudah tidak mencintainya." Prita angkat bicara. Mengabaikan tatapan tajam dari Bram yang sudah memperingatkan sang istri kedua agar tidak membuka suara di rumah orang tuanya."Kamu tenang saja. Ayuna sudah mengikhlaskan Raga untuk Anggia. Putriku tidak akan mempertahankan pria yang tidak bisa setia." Salma pun tak tinggal diam. Jika Prita bisa dengan angkuh membanggakan Anggia yang berhasil merebut Raga, maka ia pun akan membela Ayuna yang telah mereka tusuk dari belakang."Mbak yakin Ayuna sudah ikhlas? Kok aku gak percaya?" ledek Prita."Terserah. Aku tidak memintamu untuk percaya.""Sudah! Jangan memancing keributan di rumah ini!" Ambar menyela perdebatan kedua menantunya. "Kamu juga Prita. Anak kamu jadi perebut kok malah bangga. Seharusnya kamu nasehati dia supaya tidak mengikuti jejakmu!""Mama kenapa bicara seperti itu?" sergah Prita tak terima. "Anggia juga cucu Mama. Tidak seharusnya Mama berkata buruk tentangnya.""Memang begitu kenyataannya, kan? Putrimu telah merebut calon suami Ayuna dengan menggunakan sakitnya sebagai alat untuk mendapatkan simpati dan perhatian dari Raga. Pokoknya Mama tidak mau tahu. Jangan adakan acara pertunangan kalau kalian tidak ingin menanggung malu di hadapan seluruh keluarga besar kita!" kecam Ambar."Maaf, Ma. Kami tidak bisa memenuhi permintaan Mama. Acara pertunangan ini sudah sangat ditunggu-tunggu oleh Anggi. Dengan atau tanpa kehadiran Mama dan Papa, pertunangan itu akan tetap terjadi." Prita kukuh pada pendiriannya. Sudah kepalang basah tak disukai oleh mertuanya, lebih baik menentang mereka secara terang-terangan."Aku pulang duluan, Mas. Percuma aku datang ke sini kalau keberadaanku tidak pernah dihargai. Mama dan Papa hanya menyayangi Mbak Salma padahal aku juga menantu mereka!"Prita beranjak tanpa menunggu jawaban dari Bram. Wanita bertubuh ramping itu meninggalkan kediaman mertuanya dengan kekesalan yang memuncak.Selama usia pernikahannya dengan Bram, ia sama sekali tidak pernah dihargai oleh Brata dan Ambar. Bahkan, mereka memperlakukan Anggia berbeda dengan Ayuna. Sebenarnya Prita tidak peduli jika memang Brata dan Ambar tidak menyukainya. Namun sebagai seorang ibu, Prita tidak bisa terima saat putrinya dipandang sebelah mata."Lihatlah, Bram. Begitu kelakuan istri kesayanganmu. Tidak ada sopan-sopannya sama mertua!" Ambar menggerutu."Maafkan sikap Prita, Ma." Bram tertunduk malu."Lagian kamu ini masih saja manjain dia. Lihatlah Salma. Dia sudah bisa mandiri dengan membuka usaha sendiri. Sedangkan istri keduamu hanya bisa menghamburkan uang."Lagi, Bram membenarkan ucapan sang Mama dalam hati. Menoleh ke arah Salma, sang istri pertama menanggapi ucapan mertuanya dengan senyuman.Ah, wanita ini selalu bersikap tenang dan bijak. Tidak pernah merasa bangga meski mertuanya kerap kali memuji. Tidak pernah memojokkan Prita meski sang madu sering menganggap remeh.Pembawaan Salma yang seperti ini membuat Bram makin kagum. Betapa bodoh dirinya yang menduakan wanita hampir sempurna seperti sang istri pertama dengan wanita manja dan angkuh seperti Prita.*****"Pertunanganmu dengan Ayuna beneran batal?"Raga mengangguk. Pria itu baru saja menikmati makan siang bersama Anggia di ruangannya.Begitu sang kekasih pulang, Bara -- teman seprofesinya sekaligus putra dari pemilik Rumah Sakti tempatnya bertugas, masuk tanpa mengetuk pintu.Namun, Raga sama sekali tidak marah sebab hal seperti itu sudah biasa."Karena Anggia?"Lagi, Raga mengangguk.Bara menarik napas panjang. "Aku heran sama kamu. Ayuna itu kurangnya apa? Dia cantik, cukup terkenal, dan yang paling penting, dia sehat. Tapi kenapa kamu malah memilih Adiknya yang sering sakit-sakitan?" tanyanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya."Karena rasa nyaman, Bar. Aku sudah tidak pernah merasakannya lagi saat bersama Ayuna. Jika sedang bersama Anggi, aku merasa dibutuhkan. Dia yang manja dan sangat bergantung padaku. Berbeda dengan Ayuna yang terlalu mandiri.""Jadi kamu lebih suka direpotkan, begitu?" Bara terkekeh. "Kamu ini aneh. Kalau aku berada di posisimu, justru aku sangat bangga punya kekasih seperti Ayuna. Ingat, Ga. Kamu pernah cerita kalau Ayuna diperlakukan berbeda oleh ayahnya. Tidakkah kamu berpikir kemandirian Ayuna ada hubungannya dengan hal itu? Dia berusaha menjaga dirinya sendiri karena merasa tidak memiliki pelindung," papar Bara.Raga tertegun.Ya, Ayuna sering bercerita bahwa dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang lebih dari ayahnya. Bramantyo terlalu fokus pada keluarganya yang lain, hingga sering mengabaikan Ayuna. Gadis itu bertekad untuk menjadi wanita mandiri agar bisa melindungi dirinya sendiri dan sang Mama."Kamu bodoh, Ga. Kamu melepas wanita tangguh seperti Ayuna demi wanita rapuh seperti Anggia. Apa kamu yakin rasamu pada Anggia benar-benar cinta? Atau hanya kenyamanan sementara saat kamu sedang merasa jenuh pada hubunganmu dengan Ayuna?"Entahlah. Raga tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Di satu sisi, ia merasa nyaman saat sedang bersama Anggia, tapi di sisi lain, ia masih memikirkan Ayuna."Mungkin kamu benar. Aku ini pria bodoh yang lebih memilih wanita penyakitan. Tapi aku harus konsisten dengan pilihanku, kan? Apa pun yang akan terjadi ke depannya padaku dan Anggia, aku harus bersiap menghadapinya."Raga menyudahi perbincangan mereka. Pria itu bersiap untuk melakukan operasi setengah jam lagi. Raga berpamitan pada Bara yang sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya."Ga ...."Raga yang baru saja akan membuka pintu, menoleh lagi."Ya?"Bara berdiri. Pria itu menghampiri Raga, kemudian berhadapan dengan sang sahabat dalam jarak dekat. Mereka saling bertatapan cukup lama, hingga Bara berucap."Kalau aku mendekati Ayuna ... apa kamu tidak keberatan?"*****"Lho, Pak Kardi mau berhenti? Tapi kenapa, Pak? Apa gaji yang saya kasih kurang besar?" Salma terkejut saat sopir yang sudah beberapa tahun bekerja padanya tiba-tiba mengundurkan diri."Tidak sama sekali, Bu. Justru gaji dari ibu lebih besar dari tempat kerja saya yang dulu. Hanya saja, saat ini saya ingin fokus pada pengobatan istri saya di kampung," jawab pak Kardi dengan menunduk."Tapi kenapa mendadak? Kalau Bapak bicara dari jauh-jauh hari, mungkin saya bisa mencari pengganti Bapak sejak kemarin," keluh Salma.Ayuna yang berdiri di samping sang Mama pun membenarkan."Kami sudah menganggap Bapak seperti keluarga sendiri. Saya dan Mama sedih kalau harus berpisah dengan Bapak." Ayuna menimpali."Nyonya dan Non Yuna tenang saja. Saya sudah menyiapkan orang yang akan menggantikan saya," terang Pak Kardi."Benarkah?""Benar, Non. Itu orangnya ada di luar," tunjuk Pak Kardi."Coba Bapak ajak masuk," titah Salma."Baik, Nyonya."Pria paruh baya berperawakan kurus itu bergegas keluar. Cukup lama Salma dan Ayuna menunggu, hingga akhirnya sang sopir masuk kembali diikuti oleh pria muda di belakangnya."Ini dia, Nyonya, Non Yuna. Dia ini putra saya ... Sadewa."Salma dan Yuna terpaku menatap pria muda di samping Pak Kardi.Sejak kapan Pak Kardi punya anak laki-laki? Kenapa pria paruh baya itu tidak pernah bercerita?Dan jika dilihat, Pria muda ini sama sekali tidak ada kemiripan dengan Pak Kardi.Pria bernama Sadewa bertubuh tegap, berkulit putih dan terlalu tampan untuk menjadi seorang sopir.**Bersambung."Ma ....""Hei, Sayang." Prita menoleh. Wanita yang selalu berpenampilan glamour tersebut tersenyum lebar pada sang putri yang menghampirinya. "Mama sedang apa?" "Mama baru saja menghubungi butik langganan Mama. Nanyain gaun yang akan kamu pakai nanti sudah selesai apa belum," jawab Prita. Setelah menelisik wajah sang putri, senyum di bibir Prita memudar. "Mata kamu kok sembab begitu? Kamu habis nangis?" tanyanya khawatir.Anggia menunduk dan meremas ujung dress yang ia kenakan. "Gak, Ma," elaknya. "Bohong. Mama yakin kamu habis nangis." Prita memegang kedua bahu sang putri. "Bilang sama Mama. Apa yang bikin kamu nangis, hmm? Ada yang jahatin kamu?" tanyanya lembut. Anggia yang awalnya tidak ingin menceritakan kejadian di kampus waktu itu, akhirnya tak kuasa menyembunyikan dari sang Mama. Tangis gadis berusia dua puluh tahun tersebut pecah saat ia mengingat kembali perkataan sahabatnya. "Teman-teman di kampus menghujatku, Ma. Mereka mengataiku pelakor."Prita terperangah. Wajah
"Maaf kalau kamu tidak nyaman. Mas hanya tidak mau kamu sampai sakit."Raga sadar betul apa yang dikatakan Ayuna benar adanya. Sikap gadis di depannya itu memang berubah semenjak ia memutuskan pertunangan mereka.Ayuna menjadi lebih tertutup. Beberapa hari ini sosial media milik gadis itu tidak pernah menunjukkan aktivitas apa pun, dan apa yang Raga lihat saat ini bukanlah kebiasaan Ayuna. Keluar di malam hari dan secangkir kopi, adalah dua hal yang dulu sangat Raga larang demi kesehatan sang gadis. Raga ingin hubungan mereka tetap baik, meski mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tidak bisakah Ayuna menganggapnya teman? Setidaknya, gadis itu tidak menghindarinya saat bertemu atau berpapasan dengan dirinya."Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan pernah lagi menunjukkan perhatian seperti tadi karena aku tidak ingin calon istri Mas Raga salah paham," ujar Ayuna. Gadis itu kembali menghindari tatapan Raga. "Sudah setengah jam kita di sini, tapi orang yang menjemputmu belum juga datang.
"Mama mengundang orang sebanyak ini?" Bram menatap Prita tak percaya seraya meremas daftar undangan yang ditulis istrinya. Sang istri kedua berencana untuk mengadakan pesta pertunangan secara besar-besaran tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu. "Segitu itu gak terlalu banyak, Mas. Cuma teman-teman arisan sama beberapa kolega bisnismu."Bram menghela napas gusar. Prita selalu saja bersikap semaunya. Sudah beberapa kali Bram mengatakan bahwa acara pertunangan Anggia dan Raga diadakan secara sederhana saja, tetapi sang istri justru tidak mengindahkan ucapannya. "Ma. Bukannya Papa sudah bilang jangan mengadakan pesta besar-besaran? Papa ingin menjaga perasaan Ayuna. Dia itu putri Papa juga. Mendapat kenyataan calon suaminya akan bertunangan dengan adiknya sudah membuatnya terpukul, apalagi kalau sampai dia tahu pertunangan ini diadakan secara mewah," protes Bram. Pria itu khawatir Ayuna akan makin terpuruk. "Mas ini gimana, sih? Anggia itu putri Mas juga. Tidak ada salahny
"Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya, Mbak."Salma dan Ayuna yang baru turun dari mobil menoleh ke asal suara. Ayuna mendengkus tak suka kala melihat Prita berjalan ke arahnya dengan menggandeng lengan sang Papa. "Kalian mau makan siang di sini?" Bram menyapa istri pertama dan sang putri. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu menepis halus tangan Prita yang bergelayut di lengannya. Tidak nyaman saat matanya berserobok dengan mata Salma. "Iya." Salma menjawab singkat. Tidak ada raut cemburu di wajah wanita berusia empat puluh lima tahun tersebut saat menyaksikan betapa mesranya sang Madu menggandeng lengan suaminya ... lebih tepatnya suami mereka. "Oh ya. Mumpung kita bertemu, aku ingin memastikan. Mbak sama Ayuna pasti datang ke acara pertunangan Anggia, kan? Acaranya jam delapan malam. Tidak hanya keluarga inti saja yang datang, aku juga mengundang kolega bisnis Mas Bram," terang Prita yang sebenarnya tidak penting untuk Salma dengar. "Kamu tidak perlu khawatir. K
"Bara ngajak kamu datang bareng ke acara itu?" Olivia terkejut mendengar cerita sahabatnya. Pasalnya, Olivia tahu bahwa Bara dan Raga adalah sahabat lama yang bekerja di rumah sakit yang sama. "Ya, tadi dia ngomongnya begitu.""Terus kamu terima tawarannya?" Olivia makin penasaran.Ayuna menggeleng. "Belum."Olivia menghela napas lega. Entah mengapa gadis itu kurang setuju jika Ayuna datang ke acara bersama Bara. Bukan karena Bara sahabatnya Raga, tetapi karena ....Ah sudahlah!Olivia menggeleng cepat. Mengenyahkan pemikiran tentang Bara. "Tapi ada bagusnya juga kamu bawa pasangan ke sana. Kamu bisa menunjukkan pada semua orang bahwa kamu sudah move on dari Raga." saran Olivia."Entahlah, Liv. Aku ...."Olivia paham perasaan sahabatnya. Gadis itu berpindah duduk ke samping Ayuna untuk memeluk tubuh sang sahabat. "Yang kuat, Yun. Kamu pasti bisa melupakan Raga," bisiknya seraya mengelus punggung Ayuna. "Aku kok gini banget ya, Liv. Aku cengeng, aku sok tegar di hadapan orang-orang
"Kamu cantik sekali, Sayang."Prita menatap kagum sang putri yang sedang berdiri di depan cermin. Gaun yang ia persiapkan untuk Anggia telah melekat sempurna di tubuh ramping putrinya. "Terima kasih, Ma." Anggia tersipu. "Jujur aku gugup sekali. Aku takut Mas Raga tidak menyukai penampilanku malam ini," lirihnya."Hei, itu tidak mungkin. Kamu akan menjadi wanita paling cantik di acara ini. Mama yakin, Raga akan terpesona melihatmu."Lagi, Anggia dibuat tersipu oleh pujian mamanya. "Sekarang ayo kita keluar. Para tamu sudah banyak yang datang. Raga juga pasti sudah menunggumu di sana."Anggia mengangguk. Gadis itu bertambah gugup saat membayangkan reaksi Raga melihat penampilannya malam ini. Benarkah yang dikatakan sang Mama bahwa pria itu akan terpesona? Atau ... justru Raga akan terlihat biasa saja?Anggia berjalan digandeng oleh Prita. Keduanya tersenyum lebar saat mulai memasuki tempat acara yang di adakan di pekarangan rumah mewah milik Bram dan Prita. Tempat tersebut sudah disu
"Jadi gadis itu putri pertama Bramantyo?""Ya. Lebih tepatnya, putri pertama dan dari istri pertama."Lelaki yang berdiri di sebelah Sadewa menarik napas panjang. Sebenarnya ia sudah mendengar desas desus bahwa pria yang menjadi tunangan putrinya Bramantyo adalah mantan calon suami putrinya yang lain. Namun, ia tidak terlalu peduli karena toh bukan urusannya. Akan tetapi, ketika putranya ternyata jatuh hati pada salah satu putri rekan bisnisnya tersebut, tentu saja ia harus menyelidiki kejadian yang sebenarnya agar Sadewa tidak salah memilih pasangan. Bisa saja Raga memutuskan pertunangan karena gadis itu memang tidak layak dipertahankan. Ia tidak ingin putra sulungnya jatuh cinta pada gadis yang salah. "Se-istimewa apa gadis itu sampai kamu bertingkah gila seperti ini? Berpura-pura menjadi anak sopir hanya demi seorang wanita. Bukankah akan lebih baik kamu mengatakan siapa sebenarnya dirimu? Papa yakin, gadis itu tidak akan menolak putra sulung keluarga Danureja."Sadewa menggelen
"Oma ...."Wanita berusia enam puluh lima tahun itu sontak menoleh. Melihat kedatangan cucu kesayangan yang beberapa hari ini sangat dirindukannya, ia malah memalingkan wajah kembali ke arah lain."Ngapain datang? Bukannya kamu sudah lupa dengan orang tua ini?" ujarnya ketus. Sadewa terkekeh. Dirangkulnya tubuh sang nenek yang sedang merajuk."Jangan marah, dong. Aku pergi lagi, nih."Puspa -- sang nenek sontak saja panik mendengar ucapan cucunya. "Jangan! Kamu gak sayang lagi sama Oma?" rajuknya.Sadewa makin mengeratkan rengkuhan tangan. "Sangat sayang. Makanya, Oma-ku yang cantik ini jangan ngambek. Aku sudah datang untuk memenuhi permintaan Oma.""Tapi kemarin-kemarin kamu ke mana saja?" Puspa menatap lekat wajah tampan sang cucu yang nampak berseri. Sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu saat cucunya tersebut ditinggalkan oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidup Sadewa. "Aku sedang menjalankan misi."Puspa mencubit lengan sang cucu. "Kalau orang tua nanya itu dijawab
"Aku tidak percaya, ternyata wanita ib*is itu yang telah membuat Sadewa meninggal," ujar Hadiwijaya dengan mengepalkan tangan. Saat ini, Ia, Bram, dan Raga sedang berada di ruang tamu rumah Raga, sedangkan Salma dan Miranda sedang menemani Ayuna serta cucu-cucunya di kamar. "Dia menyimpan dendam karena dulu ditolak Sadewa dan merasa dipermalukan oleh Ayuna," timpal Raga. "Dan parahnya, ternyata Alex juga terlibat." Hadiwijaya kembali menyahut. Ia sangat terkejut saat mengetahui salah satu reka bisnisnya tersebut adalah suami dari Airin, sekaligus orang yang membantu wanita itu mencelakai putranya. "Kita harus memastikan wanita itu dihukum seberat-beratnya." Bram yang sejak tadi diam, ikut membuka suara. "Itu pasti." Hadiwijaya berdiri, melangkah menuju kamar Ayuna untuk melihat kondisi mantan menantunya itu. Di sana, di kamar itu, Ayuna sedang dipeluk oleh Salma, sedangkan Miranda sedang menatap Athalla dan Alika yang tertidur. Hati Miranda kembali dilanda nyeri saat mengingat me
Raga baru saja selesai mandi saat mendapati Ayuna sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong. Raga mengira, istrinya itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup serius karena Ayuna tidak menjawab panggilannya setelah beberapa kali ia menegur sang istri.Raga memutuskan menghampiri Ayuna dengan handuk yang masih tersampir di lehernya. Ia menatap Ayuna dengan lembut, lalu mengusap rambut sang istri penuh kasih. "Sedang memikirkan apa, hmm?" Raga bertanya lembut. "Mas perhatikan, dari kemarin kamu sering melamun."Ayuna sedikit tersentak, kemudian menoleh pada suaminya. "Aku tidak sedang memikirkan apa pun, Mas. Aku hanya sedikit lelah."Raga mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan istrinya, meski ia menebak Ayuna sedang berbohong.Direngkuhnya kepala sang istri untuk ia sandarkan di bahunya. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama Mas. Jangan dipendam sendirian."Ayuna tersenyum tipis. Ia mulai merasa nyaman dengan sentuhan dan perhatian dari suaminya.
Alex duduk di kursi mobilnya setelah meninggalkan Hadiwijaya dan keluarganya. Meski ia sempat berpamitan dengan sopan, pikirannya terus berputar tentang Ayuna. Bayangan wajahnya dan cara Ayuna menatapnya membuat dadanya berdebar, meskipun ia tahu itu salah. Ayuna adalah istri Raga, dan lebih dari itu, mantan istri Sadewa, musuh yang tak pernah ia temui, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya melalui cerita-cerita Airin.“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Alex, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah-olah mencoba mengeluarkan perasaan tersebut.Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat bayangan Ayuna menghantui pikirannya.Airin selalu menggambarkan Ayuna sebagai wanita licik yang berhasil merebut Sadewa darinya. Namun, dari setiap interaksi singkat yang terjadi, Ayuna tak pernah terlihat seperti wanita yang Airin gambarkan. Sebaliknya, Ayuna selalu menunjukkan sikap yang tenang dan penuh kasih, terut
Alex mengepalkan tangan. Laporan yang ia dapat dari anak buahnya makin membuatnya yakin bahwa Airin tengah bermain curang di belakangnya. Wanita itu menemui seorang pria dan Alex bisa menangkap gelagat tak biasa dari keduanya, apalagi dalam video tersebut pria itu berani mencium istrinya. "Kamu sudah mulai bermain api, Airin. Jika terbukti hubunganmu dengan pria itu sudah sangat jauh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuangmu," gumam Alex dengan mata yang terus tertuju pada video yang dikirimkan anak buahnya. Alex memang mencintai Airin. Namun, pria itu sangat membenci yang namanya pengkhianatan dan tidak akan pernah ada kata maaf untuk yang satu itu. Alex berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu berjalan ke arah balkon dengan sebatang rokok yang menyelip di sela-sela jemarinya. Ia hisap benda tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Kilasan masa lalu ketika ia pertama kali bertemu Airin hingga jatuh cinta dan memutuskan menikahi wanita itu melintas dalam ingatan pria ber
"Dasar bodoh!"Airin mengumpat. Pesan yang dikirimkan salah satu anak buahnya membuat wanita itu naik pitam. Ia pikir Romi akan berhasil menyingkirkan Raga seperti halnya dulu ia melenyapkan Sadewa. Namun, ternyata Raga selamat dan hanya mengalami cidera ringan. Rencananya kali ini gagal. Airin harus segera menemui Romi untuk membicarakan rencana selanjutnya. "Kamu kenapa?" Airin terperanjat. Alex tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Sejak kapan suaminya di sana? Apa mungkin Alex melihat pesan yang dikirimkan anak buahnya?"Eh, gak papa, Mas. Aku cuma kesal. Temanku tiba-tiba saja membatalkan janji padahal hari ini rencananya kami mau hangout bareng." Airin berusaha menyembunyikan kegugupan. Ia berharap, suaminya tidak curiga bahwa ia sedang berbohong. Alex mengangguk. Pria itu bersikap biasa saja meski ia tahu Airin sedang membohonginya. "Besok aku mau ke luar kota selama tiga hari. Tolong kamu siapkan pakaian dan keperluan lainnya." Airin membulatkan m
Ponsel di genggaman Ayuna hampir terlepas. Kabar dari Farhan membuat tubuhnya lemas dan hampir saja ambruk jika tangannya tidak memegangi dinding. Raga kecelakaan. Ayuna hampir tidak percaya apa yang terjadi pada suaminya karena baru setengah jam yang lalu mereka bicara lewat telepon. Dengan tangan yang gemetar, Ayuna mencoba menghubungi Salma untuk memberitahukan kabar ini. Ia butuh seseorang untuk dimintai tolong menjaga Athalla dan Alika di rumah, sedangkan ia harus segera ke rumah sakit. Beruntung sang Mama langsung mengangkat panggilan darinya. Sama halnya seperti Ayuna, Salma juga terkejut mendengar kabar tersebut. "Kamu tenang, Sayang. Sebentar lagi Mama sama Papa ke sana. Papa yang akan mengantarmu ke rumah sakit."Sambungan telepon ditutup. Ayuna menghempaskan tubuh ke atas sofa dengan tangan yang saling meremas. Tidak. Jangan lagi! Ayuna tidak siap jika harus kehilangan lagi. Sakitnya ditinggal Sadewa untuk selamanya masih terasa sampai sekarang. Jangan sampai hal yan
Raga sesekali melirik Ayuna. Sang istri lebih banyak diam setelah terlibat pembicaraan dengan Dara. Raga melihat ketika Dara menghampiri Ayuna dan mereka berbincang. Entah apa yang mereka obrolkan hingga sang istri berubah seperti sekarang.Athalla dan Alika tertidur di jok belakang. Keduanya nampak lelah setelah seharian menikmati acara di rumah Zeya dengan bergabung bersama teman-temannya dan mengadakan permainan di sana. "Yuna ...."Raga menyentuh jemari Ayuna hingga yang empunya terperanjat dan sontak menoleh. "Ya?""Kenapa, hmm?""Aku?" Ayuna menunjuk dirinya sendiri. "Aku gak papa, Mas. Aku hanya lelah saja," jawabnya dengan mengulas senyum tipis. Berharap Raga tidak bertanya lagi sebab ia masih kepikiran ucapan Dara beberapa jam yang lalu. "Jangan bohong. Mas tahu kamu sedang memikirkan sesuatu," tukas Raga. "Ayo cerita. Mas siap jadi pendengar yang baik," imbuhnya. Ayuna tahu, Raga memang sulit untuk dikelabui. Pria itu terlalu peka melihat perubahan sikapnya dan tidak aka
Ayuna tahu bahwa sejak anak itu masih bayi, Zeya sangat dekat dengan Dara sebab gadis itu yang mengasuhnya. Ayuna juga paham, kedekatan mereka wajar-wajar saja karena Zeya memang sangat menyayangi Dara, pun sebaliknya. Akan tetapi, Ayuna tetap merasa tidak nyaman saat Zeya dengan terang-terangan mendekatkan Dara dengan Raga, suaminya. Gadis kecil itu sengaja meminta Dara dan Raga berdiri di sisinya untuk menemaninya meniup lilin, dan hal tersebut tak ayal mengundang pertanyaan dari beberapa tamu undangan. Ayuna sudah menjadi istrinya Raga, tapi kenapa justru Dara yang berada di posisi yang seharusnya Ayuna tempati?Usapan di bahu Ayuna rasakan saat ia masih fokus memperhatikan Raga dan Dara. Menoleh, tatapan sendu sang mama layangkan untuknya. "Sabar, Sayang. Kamu harus maklum, Zeya masih kecil. Dia belum paham bagaimana cara menjaga perasaanmu sebagai Mama sambungnya, terlebih selama ini dia sangat dekat dengan Dara." Salma menenangkan sang putri. Ia bisa melihat Ayuna tidak nyama
"Ya, Ma?" Raga mengangkat panggilan yang ternyata dari Yunita. Pria itu sesekali melirik ke arah Ayuna yang terlihat salah tingkah karena kejadian barusan. "Belum tidur, Ga? Maaf kalau mama ganggu kamu.""Enggak kok, Ma. Aku belum tidur. Kebetulan aku sama Ayuna baru pulang dari acaranya Karina," terang Raga. "Ada apa, Ma? Tumben nelepon malam-malam begini? Zeya baik-baik saja, kan?" Raga dilanda cemas. Takut putri yang dua hari ini belum ditemuinya itu kenapa-napa. "Zeya baik-baik saja. Mama cuma mau ngingetin kalau Minggu depan ulang tahunnya Zeya, takutnya kamu lupa."Raga menghela napas lega mendengar kabar sang putri yang baik-baik saja. "Aku gak lupa, Ma. Malah rencananya aku mau nyiapin kejutan buat dia. Gimana kalau tahun ini kita buatkan pesta untuk Zeya. Kita undang teman-teman sekolahnya," usulnya. Bukan tanpa alasan Raga merencanakan itu. Dulu, di setiap ulang tahunnya, Zeya selalu menolak saat Raga ingin membuatkan pesta untuk sang putri. Kepribadian Zeya yang cukup