"Bagaimana dengan calon anak kita, Mas? Dia baik-baik saja, kan?" Anggia memegang perutnya yang masih rata. Saat tersadar bahwa dirinya berada di rumah sakit, Anggia langsung panik sebab teringat kejadian tadi siang setelah ia pulang dari rumah Bram. Perutnya tiba-tiba saja terasa sakit. Anggia mencoba menahan rasa sakit itu dengan merebahkan diri di atas tempat tidur, tetapi sia-sia. Rasa nyeri makin hebat dan akhirnya ia tidak sadarkan diri. "Dia baik-baik saja." Raga menjawab seraya menggenggam jemari sang istri. " Untuk sementara waktu kamu harus bedrest. Jangan banyak pikiran dan jangan terlalu lelah," ujarnya, menyampaikan apa yang Dokter Nurma katakan padanya. "Mama bilang, kamu habis mengantarnya menemui Tante Salma. Apa itu benar?" Anggia mengangguk lemah. "Ya. Aku mengantar Mama ke sana untuk meminta maaf. Tapi sepertinya Tante Salma masih belum bisa memaafkan Mama. Aku sedih melihat Mama yang nampak kecewa. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Tante Salma karena aku pun
Bram menatap lekat sang istri yang dengan telaten menyuapinya. Wajah ayu itu seakan menghipnotis hingga ia enggan berpaling. Bram tidak pernah menduga Salma akan datang untuk menjenguk, apalagi membawakan makanan kesukaannya. Kebahagiaan Bram bertambah berkali lipat karena sang putri juga datang karena mengkhawatirkannya. "Obatnya diminum dulu." Salma mengambil bungkusan obat di atas nakas setelah makanan yang ia bawa habis tak bersisa. Namun, pergerakannya terhenti ketika Bram memegang lengannya."Terima kasih," lirihnya dengan menatap sayu. "Terima kasih untuk apa?" Salma balas menatap suaminya. "Mama sudah bersedia menjenguk Papa dan membawakan makanan. Rasanya Papa langsung sehat," jawabnya dengan sedikit berkelakar. "Sama-sama. Aku, kan masih istri Mas. Masih mempunyai kewajiban untuk mengurus Mas Bram."Bram tahu istrinya ini memang wanita yang sangat baik. Salma masih mau merawatnya, padahal mereka sedang dalam proses cerai. Ingin sekali Bram membujuk sang istri untuk memba
Bram menggandeng lengan Salma memasuki tempat acara. Seperti halnya Sadewa, ia pun mendapat undangan dari rekan bisnis yang malam ini mengadakan resepsi pernikahan putrinya. Senyum Bram tak pernah surut. Ia menggandeng tangan Salma sambil menyapa beberapa kolega bisnis yang juga hadir di sana. Penampilan sang istri malam ini nampak memukau. Membuatnya bangga berdampingan dengan Salma yang juga dikenal sebagai pengusaha Butik ternama. Ah ... Bram kembali menyesali diri yang sempat mengabaikan istri sesempurna Salma. Padahal jika dipikir ulang, Prita tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan sang istri, baik dalam hal penampilan apalagi attitude. Salma adalah sosok anggun dan berkelas yang bisa membawa diri, sedangkan Prita lebih sering berpenampilan berlebihan dan terkadang tidak bisa mengimbanginya ketika berinteraksi dengan beberapa rekan bisnis. Seperti halnya sekarang, Salma sedang berbincang dengan istri dari pemilik perusahaan tekstil di kota itu. Pembawaan sang ist
"Sabar, Yang. Kita doakan semoga Anggia segera sadar." Sadewa mengelus rambut sang istri yang bersandar di bahunya. Mereka sedang berada di rumah sakit setelah mendengar kabar bahwa Anggia koma. "Aku takut dia kenapa-napa, Mas. Bagaimana dengan bayinya kalau sampai Anggia tidak bisa bertahan? Bayi itu pasti membutuhkan sosok seorang ibu. Dan kalau Anggia--"Tangis Ayuna pecah. Tidak kuasa melanjutkan ucapan mengingat betapa mirisnya nasib sang adik. Seharusnya kini Anggia sedang berbahagia atas kelahiran bayi cantiknya, tetapi justru masih harus berjuang di antara hidup dan mati karena kondisinya. "Hei, jangan bicara seperti itu. Kita memang belum tahu apa yang akan terjadi pada Anggia nanti. Tapi kita harus tetap optimis kalau dia pasti sembuh. Ingat, Yang. Kamu juga sedang hamil. Mas tidak ingin berpengaruh pada bayi kita kalau kamu terus-terusan bersedih."Ayuna mengangguk dalam pelukan Sadewa. Isakannya mulai mereda, tetapi air mata tak kunjung surut. Walau bagaimanapun Anggia a
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya istrimu. Maaf aku tidak bisa datang ke pemakaman karena harus menjaga Mama yang sedang sakit.""Gak papa, Rin. Terima kasih karena kamu bela-belain datang ke sini hanya untuk mengucapkan itu." Raga tersenyum ke arah teman yang kini sudah bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Karina memang tidak sempat hadir di pemakaman Anggia sebab mamanya baru saja pulang dari rumah sakit setelah dirawat beberapa hari karena terkena typus. "Bagaimana kondisi putri kamu? Masih di inkubator?""Ya. Menurut Dokter Nurma, kemungkinan beberapa hari lagi sudah diperbolehkan pulang jika kondisinya, terutama organ dalam mulai stabil," terang Raga yang masih nampak lesu.Kehilangan Anggia membuatnya tidak bersemangat melakukan apa pun. Sudah Satu Minggu kepergian sang istri untuk selamanya dan Raga masih betah mengurung diri di rumah. Beruntung orang tuanya memahami kondisinya dan mereka yang menjaga Zeya di rumah sakit. Raga bukannya abai terhadap sang putr
"Mau pulang bareng, Ga?""Gak, Rin. Aku mau mampir dulu ke suatu tempat."Penolakan ke sekian yang diberikan Raga setiap kali Karina berusaha mendekati pria itu. Bukannya Karina tidak paham Raga masih berduka atas kepergian Anggia, hanya saja, Karina tidak ingin membuang kesempatan untuk memiliki pria yang sejak dulu disukainya, apalagi sampai keduluan wanita lain lagi seperti dulu. "Ya sudah. Sampaikan salam ku untuk mamamu. Nanti kapan-kapan aku berkunjung sekalian melihat Zeya." Karina masih tidak menyerah mengambil hati Raga. "Ya, nanti aku sampaikan." Raga berlalu dari hadapan Karina yang masih menatap tubuhnya hingga menghilang di balik pintu mobil. Raga sudah terang-terangan menolak sebab ia tidak ingin memberi harapan pada wanita manapun. Ia tidak akan melarang Karina untuk dekat dengan Zeya. Namun, jika sahabatnya itu menginginkan lebih, Raga jelas tidak bisa. Makam Anggia adalah tujuan Raga setiap kali pria itu merindukan sang istri. Berdiam diri di sana dan bercerita ten
"Sudah, Yang. Jangan diambil hati. Dia juga tadi sudah minta maaf."Sadewa mengelus bahu sang istri. Mereka sudah berada di kamar sebab karyawan kantor yang berkunjung sudah berpamitan pulang. Mood Ayuna belum juga membaik. Perkataan salah satu dari mereka sangat menyinggungnya. "Dia orangnya memang agak ceplas-ceplos. Nanti Mas akan menegurnya supaya tidak bicara sembarangan lagi pada siapapun. Sudah, ya. Mas gak suka kamu murung begini."Ayuna mengangguk lemah, meski hatinya masih dongkol luar biasa. Kepercayaan dirinya sedang berada di titik terendah dan ia akan mudah tersinggung jika mendengar orang membicarakan perihal fisiknya yang berubah. Ketakutan akan Sadewa yang berpaling bukanlah tanpa alasan. Ia pernah merasakan bagaimana sakitnya dikhianati, dan tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. "Begini saja. Mas akan menyewa jasa baby sitter untuk membantu kamu menjaga Athalla agar kamu bisa meluangkan waktu untuk memanjakan diri. Kamu mau Mas datangkan instruktur senam? A
"Hei, Nona! Anda sudah gila! Kenapa Anda menampar majikan saya?" Pak Agus naik pitam menyaksikan gadis yang tak sengaja ia tabrak menampar Sadewa tanpa alasan. Sepertinya wanita itu tidak tahu siapa pria yang berada di dekatnya. Sikap lancangnya bisa saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sedangkan Sadewa masih memegangi pipi dengan menatap tajam gadis itu. Keduanya masih bertatapan, tidak nampak sama sekali ketakutan dari wajah si gadis. "Kenapa? Wajar aku marah karena kalian hampir menabrakku. Lihat itu!" Ia menunjuk makanan yang berserakan di atas aspal. "Makanan yang susah payah aku masak untuk nenekku hancur gara-gara kalian!" ujarnya dengan kilat emosi. "Ini salah saya yang kurang berhati-hati membawa mobil. Tapi kenapa Anda malah menampar majikan saya?""Aku tidak peduli! Yang jelas, pria ini pemilik mobil itu, kan? Tidak salah kalau aku marah padanya karena mempekerjakan sopir sepertimu!" "Kamu!""Sudah, Pak Agus." Sadewa mengangkat sebelah tangan. Memberi isyarat a
"Aku tidak percaya, ternyata wanita ib*is itu yang telah membuat Sadewa meninggal," ujar Hadiwijaya dengan mengepalkan tangan. Saat ini, Ia, Bram, dan Raga sedang berada di ruang tamu rumah Raga, sedangkan Salma dan Miranda sedang menemani Ayuna serta cucu-cucunya di kamar. "Dia menyimpan dendam karena dulu ditolak Sadewa dan merasa dipermalukan oleh Ayuna," timpal Raga. "Dan parahnya, ternyata Alex juga terlibat." Hadiwijaya kembali menyahut. Ia sangat terkejut saat mengetahui salah satu reka bisnisnya tersebut adalah suami dari Airin, sekaligus orang yang membantu wanita itu mencelakai putranya. "Kita harus memastikan wanita itu dihukum seberat-beratnya." Bram yang sejak tadi diam, ikut membuka suara. "Itu pasti." Hadiwijaya berdiri, melangkah menuju kamar Ayuna untuk melihat kondisi mantan menantunya itu. Di sana, di kamar itu, Ayuna sedang dipeluk oleh Salma, sedangkan Miranda sedang menatap Athalla dan Alika yang tertidur. Hati Miranda kembali dilanda nyeri saat mengingat me
Raga baru saja selesai mandi saat mendapati Ayuna sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong. Raga mengira, istrinya itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup serius karena Ayuna tidak menjawab panggilannya setelah beberapa kali ia menegur sang istri.Raga memutuskan menghampiri Ayuna dengan handuk yang masih tersampir di lehernya. Ia menatap Ayuna dengan lembut, lalu mengusap rambut sang istri penuh kasih. "Sedang memikirkan apa, hmm?" Raga bertanya lembut. "Mas perhatikan, dari kemarin kamu sering melamun."Ayuna sedikit tersentak, kemudian menoleh pada suaminya. "Aku tidak sedang memikirkan apa pun, Mas. Aku hanya sedikit lelah."Raga mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan istrinya, meski ia menebak Ayuna sedang berbohong.Direngkuhnya kepala sang istri untuk ia sandarkan di bahunya. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama Mas. Jangan dipendam sendirian."Ayuna tersenyum tipis. Ia mulai merasa nyaman dengan sentuhan dan perhatian dari suaminya.
Alex duduk di kursi mobilnya setelah meninggalkan Hadiwijaya dan keluarganya. Meski ia sempat berpamitan dengan sopan, pikirannya terus berputar tentang Ayuna. Bayangan wajahnya dan cara Ayuna menatapnya membuat dadanya berdebar, meskipun ia tahu itu salah. Ayuna adalah istri Raga, dan lebih dari itu, mantan istri Sadewa, musuh yang tak pernah ia temui, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya melalui cerita-cerita Airin.“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Alex, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah-olah mencoba mengeluarkan perasaan tersebut.Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat bayangan Ayuna menghantui pikirannya.Airin selalu menggambarkan Ayuna sebagai wanita licik yang berhasil merebut Sadewa darinya. Namun, dari setiap interaksi singkat yang terjadi, Ayuna tak pernah terlihat seperti wanita yang Airin gambarkan. Sebaliknya, Ayuna selalu menunjukkan sikap yang tenang dan penuh kasih, terut
Alex mengepalkan tangan. Laporan yang ia dapat dari anak buahnya makin membuatnya yakin bahwa Airin tengah bermain curang di belakangnya. Wanita itu menemui seorang pria dan Alex bisa menangkap gelagat tak biasa dari keduanya, apalagi dalam video tersebut pria itu berani mencium istrinya. "Kamu sudah mulai bermain api, Airin. Jika terbukti hubunganmu dengan pria itu sudah sangat jauh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuangmu," gumam Alex dengan mata yang terus tertuju pada video yang dikirimkan anak buahnya. Alex memang mencintai Airin. Namun, pria itu sangat membenci yang namanya pengkhianatan dan tidak akan pernah ada kata maaf untuk yang satu itu. Alex berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu berjalan ke arah balkon dengan sebatang rokok yang menyelip di sela-sela jemarinya. Ia hisap benda tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Kilasan masa lalu ketika ia pertama kali bertemu Airin hingga jatuh cinta dan memutuskan menikahi wanita itu melintas dalam ingatan pria ber
"Dasar bodoh!"Airin mengumpat. Pesan yang dikirimkan salah satu anak buahnya membuat wanita itu naik pitam. Ia pikir Romi akan berhasil menyingkirkan Raga seperti halnya dulu ia melenyapkan Sadewa. Namun, ternyata Raga selamat dan hanya mengalami cidera ringan. Rencananya kali ini gagal. Airin harus segera menemui Romi untuk membicarakan rencana selanjutnya. "Kamu kenapa?" Airin terperanjat. Alex tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Sejak kapan suaminya di sana? Apa mungkin Alex melihat pesan yang dikirimkan anak buahnya?"Eh, gak papa, Mas. Aku cuma kesal. Temanku tiba-tiba saja membatalkan janji padahal hari ini rencananya kami mau hangout bareng." Airin berusaha menyembunyikan kegugupan. Ia berharap, suaminya tidak curiga bahwa ia sedang berbohong. Alex mengangguk. Pria itu bersikap biasa saja meski ia tahu Airin sedang membohonginya. "Besok aku mau ke luar kota selama tiga hari. Tolong kamu siapkan pakaian dan keperluan lainnya." Airin membulatkan m
Ponsel di genggaman Ayuna hampir terlepas. Kabar dari Farhan membuat tubuhnya lemas dan hampir saja ambruk jika tangannya tidak memegangi dinding. Raga kecelakaan. Ayuna hampir tidak percaya apa yang terjadi pada suaminya karena baru setengah jam yang lalu mereka bicara lewat telepon. Dengan tangan yang gemetar, Ayuna mencoba menghubungi Salma untuk memberitahukan kabar ini. Ia butuh seseorang untuk dimintai tolong menjaga Athalla dan Alika di rumah, sedangkan ia harus segera ke rumah sakit. Beruntung sang Mama langsung mengangkat panggilan darinya. Sama halnya seperti Ayuna, Salma juga terkejut mendengar kabar tersebut. "Kamu tenang, Sayang. Sebentar lagi Mama sama Papa ke sana. Papa yang akan mengantarmu ke rumah sakit."Sambungan telepon ditutup. Ayuna menghempaskan tubuh ke atas sofa dengan tangan yang saling meremas. Tidak. Jangan lagi! Ayuna tidak siap jika harus kehilangan lagi. Sakitnya ditinggal Sadewa untuk selamanya masih terasa sampai sekarang. Jangan sampai hal yan
Raga sesekali melirik Ayuna. Sang istri lebih banyak diam setelah terlibat pembicaraan dengan Dara. Raga melihat ketika Dara menghampiri Ayuna dan mereka berbincang. Entah apa yang mereka obrolkan hingga sang istri berubah seperti sekarang.Athalla dan Alika tertidur di jok belakang. Keduanya nampak lelah setelah seharian menikmati acara di rumah Zeya dengan bergabung bersama teman-temannya dan mengadakan permainan di sana. "Yuna ...."Raga menyentuh jemari Ayuna hingga yang empunya terperanjat dan sontak menoleh. "Ya?""Kenapa, hmm?""Aku?" Ayuna menunjuk dirinya sendiri. "Aku gak papa, Mas. Aku hanya lelah saja," jawabnya dengan mengulas senyum tipis. Berharap Raga tidak bertanya lagi sebab ia masih kepikiran ucapan Dara beberapa jam yang lalu. "Jangan bohong. Mas tahu kamu sedang memikirkan sesuatu," tukas Raga. "Ayo cerita. Mas siap jadi pendengar yang baik," imbuhnya. Ayuna tahu, Raga memang sulit untuk dikelabui. Pria itu terlalu peka melihat perubahan sikapnya dan tidak aka
Ayuna tahu bahwa sejak anak itu masih bayi, Zeya sangat dekat dengan Dara sebab gadis itu yang mengasuhnya. Ayuna juga paham, kedekatan mereka wajar-wajar saja karena Zeya memang sangat menyayangi Dara, pun sebaliknya. Akan tetapi, Ayuna tetap merasa tidak nyaman saat Zeya dengan terang-terangan mendekatkan Dara dengan Raga, suaminya. Gadis kecil itu sengaja meminta Dara dan Raga berdiri di sisinya untuk menemaninya meniup lilin, dan hal tersebut tak ayal mengundang pertanyaan dari beberapa tamu undangan. Ayuna sudah menjadi istrinya Raga, tapi kenapa justru Dara yang berada di posisi yang seharusnya Ayuna tempati?Usapan di bahu Ayuna rasakan saat ia masih fokus memperhatikan Raga dan Dara. Menoleh, tatapan sendu sang mama layangkan untuknya. "Sabar, Sayang. Kamu harus maklum, Zeya masih kecil. Dia belum paham bagaimana cara menjaga perasaanmu sebagai Mama sambungnya, terlebih selama ini dia sangat dekat dengan Dara." Salma menenangkan sang putri. Ia bisa melihat Ayuna tidak nyama
"Ya, Ma?" Raga mengangkat panggilan yang ternyata dari Yunita. Pria itu sesekali melirik ke arah Ayuna yang terlihat salah tingkah karena kejadian barusan. "Belum tidur, Ga? Maaf kalau mama ganggu kamu.""Enggak kok, Ma. Aku belum tidur. Kebetulan aku sama Ayuna baru pulang dari acaranya Karina," terang Raga. "Ada apa, Ma? Tumben nelepon malam-malam begini? Zeya baik-baik saja, kan?" Raga dilanda cemas. Takut putri yang dua hari ini belum ditemuinya itu kenapa-napa. "Zeya baik-baik saja. Mama cuma mau ngingetin kalau Minggu depan ulang tahunnya Zeya, takutnya kamu lupa."Raga menghela napas lega mendengar kabar sang putri yang baik-baik saja. "Aku gak lupa, Ma. Malah rencananya aku mau nyiapin kejutan buat dia. Gimana kalau tahun ini kita buatkan pesta untuk Zeya. Kita undang teman-teman sekolahnya," usulnya. Bukan tanpa alasan Raga merencanakan itu. Dulu, di setiap ulang tahunnya, Zeya selalu menolak saat Raga ingin membuatkan pesta untuk sang putri. Kepribadian Zeya yang cukup