Setelah percakapan telepon dengan Nathaniel yang terasa begitu berat, Arissa merasa ada beban yang semakin menekan dirinya. Ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah yang benar dengan memberi tahu Nathaniel tentang temuan besar yang bisa mengubah arah perusahaan dan hidup mereka. Namun, keraguan masih menggelayuti hatinya. Nathaniel sudah terlalu banyak terluka oleh pengkhianatan sebelumnya, dan Arissa merasa ragu apakah ia bisa sepenuhnya mempercayainya lagi.Hari-hari berlalu, dan meski Nathaniel sudah mendengar tentang keterlibatan Vanessa, Arissa merasakan jarak yang semakin lebar antara mereka. Ia berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara lebih lanjut dengan Nathaniel, tetapi entah kenapa, setiap kali ia berusaha mendekat atau menyampaikan sesuatu yang penting, Nathaniel tampak lebih jauh darinya, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi mereka.Arissa merasa bingung, bahkan frustasi. Ia tahu bahwa ia harus berbicara lebih banyak dengan Nathaniel, terutama untuk
Arissa duduk di kursi, tangan memeluk cangkir kopi yang sudah lama dingin, namun tak dirasakannya. Hatinya terasa berat, penuh dengan keraguan dan kekecewaan. Ia telah mencoba menjelaskan segalanya kepada Nathaniel, berusaha memperingatkan dirinya tentang keterlibatan Vanessa dalam konspirasi yang bisa merusak segalanya, namun apa yang diterimanya justru kekosongan. Ketika Nathaniel mendengarnya, ia hanya terlihat bingung dan terkejut, seperti tak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap sebagai sahabat dan mitra bisa melakukan hal seperti itu."Arissa, aku tahu kamu peduli, tapi ini... Ini tidak mudah untuk dipercaya," kata Nathaniel, suaranya berat dengan kebingungan yang mendalam. "Vanessa sudah lama bekerja dengan kami. Dia bagian dari tim yang sudah berpengalaman, dan aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Apa yang kamu katakan sangat sulit diterima begitu saja."Kalimat Nathaniel menggema di telinga Arissa, membuat hatinya terasa semakin sakit. Ia telah memperingatkan
Vanessa duduk di ruang kerjanya, menghadap layar komputer dengan tatapan penuh perhitungan. Wajahnya yang cantik menyimpan ekspresi licik yang tak biasa terlihat oleh siapapun. Dalam pikirannya, rencana besar mulai terbentuk, dan langkah demi langkah, ia menyiapkan strategi untuk melindungi dirinya sekaligus menghancurkan siapa saja yang mencoba menghalangi tujuannya.Sejak Arissa menemukan bukti yang mengarah pada keterlibatan Vanessa dalam konspirasi dengan Markus, Vanessa tahu bahwa ancamannya semakin nyata. Namun, ia tidak akan membiarkan hal ini merusak rencananya. Sebaliknya, ia melihat ini sebagai peluang untuk menguatkan posisinya di perusahaan, bahkan jika itu berarti mengorbankan orang lain. Dan orang yang pertama kali harus ditundukkan adalah Arissa.“Dia terlalu banyak tahu,” gumam Vanessa pada dirinya sendiri, menyandarkan tubuh di kursi dengan wajah penuh kebencian. “Aku harus menyingkirkannya sebelum dia lebih jauh menggali.”Vanessa tahu bahwa Arissa adalah ancaman bes
Arissa duduk di meja kerjanya, matanya menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Pikirannya berkecamuk, bertarung antara rasa kecewa dan tekad yang semakin kuat. Sejak percakapan terakhir dengan Nathaniel, di mana ia merasa tidak lagi dipahami dan dipercaya, hatinya terasa berat. Namun, meskipun rasa frustasi itu membebani dirinya, Arissa tidak bisa membiarkan semuanya begitu saja. Ia masih peduli, dan dalam cara yang lebih dalam, ia tahu bahwa Nathaniel membutuhkan bantuan—bahkan jika ia tidak mengakuinya.Arissa menatap gambar Nathaniel yang terpampang di layar komputer—foto pria itu yang ia ambil saat mereka berada di luar kantor. Gambar itu, yang dulunya ia pandang dengan kebahagiaan, sekarang terasa begitu jauh dan asing. Namun, perasaan itu tidak bisa menghapus keinginan Arissa untuk melakukan yang terbaik untuk Nathaniel, apapun yang terjadi.“Kenapa dia tidak mau mendengarkan?” gumam Arissa pelan, memegangi wajahnya dengan satu tangan. “Kenapa ia memilih untuk percaya p
Nathaniel berdiri di jendela ruang kantornya, matanya menatap kosong ke luar. Kota yang terlihat dari balik kaca itu terasa begitu jauh, seperti sebuah dunia yang tidak lagi relevan dengan apa yang sedang ia alami. Semua yang ia percayai kini terancam runtuh, dan dalam keheningan itu, ia merasakan kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—ia merasa hancur, terperangkap dalam kebingungannya.“Kenapa ini semua terjadi?” gumam Nathaniel pelan, sambil menatap layar ponselnya yang penuh dengan pesan-pesan yang belum terbaca. Setiap pesan itu hanya mengingatkannya pada kenyataan yang semakin kelam: reputasinya yang hancur, serangan dari rival bisnis yang semakin gencar, dan orang-orang terdekat yang tampaknya memiliki agenda tersembunyi. Dalam keadaan yang seperti ini, sulit bagi Nathaniel untuk bisa menentukan siapa yang bisa dipercaya lagi. Ia merasa seolah-olah dikelilingi oleh kebohongan, dan kepercayaannya sudah habis terkuras.Beban yang terlalu berat ini mulai mempengaruhi dirinya seca
Arissa berjalan cepat melewati lorong klinik, matanya fokus dan penuh tekad. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, namun tujuannya semakin jelas di matanya. Setelah beberapa minggu merenung dan mengumpulkan bukti, ia akhirnya menemukan apa yang selama ini ia cari. Keterlibatan Vanessa dalam sabotase yang berusaha dijalankan oleh Markus Reinhardt, rival bisnis Nathaniel, semakin tidak terbantahkan. Namun, meskipun semua bukti itu berada di tangannya, Arissa tahu bahwa membawa masalah ini ke permukaan tidak akan mudah. Ia harus hati-hati, apalagi mengingat hubungan yang telah terjalin dengan Nathaniel yang kini lebih rapuh dari sebelumnya.Namun, ada satu hal yang jelas dalam pikiran Arissa, ia tidak bisa membiarkan Vanessa dan Markus merusak hidup Nathaniel lebih jauh. Nathaniel mungkin telah menyakiti dirinya, tetapi Arissa tahu bahwa pada dasarnya pria itu bukanlah orang yang pantas diserang dengan cara seperti ini. Dengan atau tanpa hubungan pribadi mereka, Arissa me
Nathaniel merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat ia berjalan menuju kantor malam itu. Setelah berhari-hari merasa terperangkap dalam kebingungannya, akhirnya petunjuk-petunjuk yang ia temui mulai menyatu. Ada banyak hal yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir, dan rasa tidak beres yang terus menghantuinya mulai mendapatkan bentuk yang lebih jelas. Keadaan perusahaan yang semakin terpuruk, serangan-serangan yang datang secara tiba-tiba, dan perubahan sikap orang-orang di sekitarnya—semuanya mengarah pada satu kesimpulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik layar. Sesuatu yang selama ini ia abaikan.Sementara itu, di klinik tempat Arissa bekerja, ia merasakan ketegangan yang sama. Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam dunia bisnis Nathaniel, ia tidak bisa menutup mata terhadap perubahan yang terjadi pada pria itu. Nathaniel yang dulu tampak tenang dan penuh percaya diri, kini terlihat lebih tertekan dan gelisah. Arissa tahu bahwa ini saatnya untuk mengungkapk
Setelah pertemuan emosional yang mengubah arah hubungan mereka, Arissa merasa campuran antara harapan dan keraguan. Meskipun Nathaniel sudah mengungkapkan penyesalannya dan bertekad untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya, Arissa tahu bahwa membangun kembali kepercayaan yang hancur bukanlah perkara mudah. Ia berusaha untuk tidak terlalu terbawa perasaan, meskipun hatinya terus bergejolak. Keduanya, dengan latar belakang yang begitu berbeda, telah mengalami banyak hal yang menguji keteguhan hubungan mereka.Di sisi lain, Nathaniel merasa lega karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya dan meminta maaf kepada Arissa. Namun, ia juga sadar bahwa kata-kata saja tidak cukup. Ia harus membuktikan kesungguhannya melalui tindakan nyata. Krisi perusahaan yang semakin memburuk membuatnya semakin terdesak untuk bekerja lebih keras, tetapi kali ini ia tidak merasa sendirian. Arissa berada di sisinya, meskipun dengan cara yang berbeda.Arissa kembali ke kliniknya dengan perasaan yang campur adu
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa