"Maksudmu?"
"Bagaimana jika kita meminta beberapa teman kita yang berbakat musik untuk tampil? Jake dengan gitarnya, Dina dengan suara emasnya. Kau juga bisa memainkan piano untuk satu atau dua lagu."
Nathaniel tampak terkejut. "Kau ingin aku bermain piano di pernikahan kita sendiri?"
"Hanya jika kau mau," Arissa tersenyum lembut. "Aku selalu suka mendengarmu bermain. Dan bukankah akan lebih bermakna jika musik di pernikahan kita dimainkan oleh orang-orang yang kita cintai?"
Nathaniel tampak mempertimbangkan ide tersebut. "Aku bisa memainkan Debussy, 'Clair de Lune'. Lagu yang kumainkan saat kita pertama kali bertemu di pesta kampus itu."
"Sempurna," bisik Arissa, matanya berkaca-kaca mengingat momen tersebut.
Malam itu, saat makan malam keluarga di ruang makan besar villa, pembicaraan kembali mengarah ke pernikahan. Namun kali ini, alih-alih kritik dan pertanyaan yang menantang, keluarga mulai mendiskusikan detail pernikahan dengan semangat
Ketika hari pernikahan tiba, suasana penuh kebahagiaan dan cinta mengisi ruangan. Pernikahan yang sederhana tetapi penuh dengan kehangatan ini berlangsung dengan indah. Saat mereka mengucapkan janji pernikahan, banyak mata yang berkaca-kaca, termasuk mereka berdua. Nathaniel dan Arissa tahu bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka, dan mereka berjanji untuk selalu saling mendukung dan mencintai tanpa syarat.Pagi itu, Arissa terbangun dengan detak jantung yang cepat. Jari-jarinya sedikit gemetar saat ia menyentuh gaun putih gading yang tergantung di lemari. Gaun itu sederhana namun elegan, dengan detail renda halus yang menutupi bagian atas dan mengalir lembut ke bawah. Ia memilih gaun tersebut karena mengingatkannya pada kesederhanaan cinta mereka—tidak berlebihan, namun bermakna dalam."Kau siap?" tanya Nadia, sahabat sekaligus pendamping pengantinnya, yang baru saja masuk ke kamar dengan secangkir teh chamomile hangat.Arissa mengangguk
Di meja utama, Nathaniel dan Arissa duduk berdampingan, kadang-kadang saling berbisik dan tertawa kecil, atau sekadar saling memandang dengan penuh cinta. Mereka tampak seolah-olah mereka berada di dunia mereka sendiri, meski dikelilingi oleh begitu banyak orang yang mereka sayangi.Reza, sebagai pendamping pria, berdiri untuk memberikan toast pertama. Dengan gelas sampanye terangkat, ia bercerita tentang bagaimana ia menyaksikan perubahan Nathaniel sejak bertemu Arissa—dari seorang pria yang selalu mempertanyakan dirinya sendiri menjadi seseorang yang akhirnya menemukan keyakinan dan tujuan."Kepada Nathaniel dan Arissa," ia mengakhiri toastnya, "semoga cinta kalian terus tumbuh dan menjadi inspirasi bagi kita semua. Cheers!"Nadia kemudian mengambil giliran, bercerita dengan nada penuh humor tentang bagaimana Arissa dulu bersumpah tidak akan pernah menikah setelah patah hati hebat beberapa tahun lalu. "Dan lihat dia sekarang," Nadia tersenyum pada sahaba
Setelah pernikahan, mereka berdua memutuskan untuk menjalani bulan madu yang sederhana namun bermakna. Mereka pergi ke tempat yang tenang di luar kota, jauh dari sorotan publik, untuk menikmati waktu bersama. Di sana, mereka benar-benar menikmati kebersamaan mereka tanpa gangguan, menyadari betapa pentingnya hubungan ini dalam hidup mereka.Pagi itu, mobil sedan putih Nathaniel meluncur meninggalkan hiruk pikuk kota. Jendela diturunkan separuh, membiarkan angin pagi membelai lembut wajah Arissa yang masih terlihat lelah setelah resepsi pernikahan mereka sehari sebelumnya. Namun, kelelahan itu tidak mengurangi kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Sesekali ia melirik cincin perak yang sekarang melingkar di jari manisnya, seolah meyakinkan diri bahwa semua ini nyata—bahwa ia telah resmi menjadi istri dari pria yang kini fokus menyetir di sampingnya."Kau tersenyum terus sejak tadi," kata Nathaniel sambil melirik sekilas ke arahnya."Aku masih tidak perca
"Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash
Kehidupan pasca-pernikahan mereka dimulai dengan penuh kebahagiaan, meskipun tidak tanpa tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari sebagai pasangan suami istri, dan meskipun mereka lebih damai, kadang-kadang ada hal-hal kecil yang menantang mereka. Misalnya, Arissa yang kini harus mengatur waktu antara kliniknya yang semakin berkembang dan peran barunya sebagai istri Nathaniel. Nathaniel juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan tanggung jawab yang masih ada di luar bisnis.Pagi itu, Arissa terbangun dengan suara alarm yang berbunyi nyaring di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping ranjang untuk mematikan suara yang mengganggu tidurnya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia menyadari bahwa sisi ranjang di sampingnya telah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun lebih awal. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur mengonfirmasi dugaannya."Selamat pagi," sapa Nathaniel dengan senyum hangat ketika Arissa muncul di
"Maaf aku terlambat," kata Arissa begitu membuka pintu, menemukan Nathaniel sedang menata meja makan."Hei, tidak apa-apa. Hanya 15 menit," Nathaniel tersenyum, mendekati istrinya dan mengecup keningnya. "Meeting berjalan lancar?"Arissa mendesah. "Tidak seperti yang kuharapkan. Investor punya banyak persyaratan yang... well, cukup mengintervensi.""Ceritakan padaku sambil makan?" Nathaniel menarik kursi untuk Arissa. "Aku membuat carbonara. Dan ada tiramisu untuk pencuci mulut.""Kau yang terbaik," Arissa tersenyum lelah tapi penuh terima kasih.Selama makan malam, Arissa menceritakan tentang meeting dan dilema yang ia hadapi mengenai investasi tersebut. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan sudut pandang yang berbeda."Bagaimana menurutmu?" tanya Arissa setelah menjelaskan semuanya. "Apakah aku terlalu keras kepala dengan menolak mengubah fokus klinik?"Nathaniel memikirkannya sejenak. "Aku pikir prinsip
Senja merayap perlahan di jendela apartemen, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Nathaniel duduk di balkon kecil mereka, secangkir kopi hangat di tangannya, matanya menerawang ke kejauhan. Arissa memperhatikannya dari ambang pintu, bersandar di bingkai dengan senyum tipis terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu belakangan ini—sebuah ketenangan yang baru, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arissa lembut, melangkah keluar dan duduk di kursi di sebelahnya.Nathaniel menoleh, matanya bertemu dengan mata Arissa, dan senyumnya melebar. "Masa depan," jawabnya sederhana.Arissa mengangkat alisnya. "Dan apa yang kamu lihat di sana?"Nathaniel meletakkan cangkirnya dan menggenggam tangan Arissa. Tangannya hangat dan kokoh, memberikan perasaan aman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka bertemu."Aku melihat kita," katanya pelan. "Kita, membangun
Minggu-minggu berikutnya, pembicaraan tentang memiliki anak menjadi lebih sering muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Terkadang sebagai lelucon ringan ("Anakmu yang mengajarimu komentar sarkastik seperti itu?"), dan lain kali sebagai diskusi serius tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan dan gaya pengasuhan yang mereka yakini.Suatu pagi Minggu, Nathaniel menemukan Arissa membaca artikel tentang persiapan kehamilan di tabletnya."Riset, huh?" godanya, sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua.Arissa mengangkat bahu, sedikit tersipu. "Hanya ingin tahu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersiap dari sekarang, kan?"Nathaniel duduk di sebelahnya, mengintip artikel tersebut. "Wow, ada banyak yang perlu dipertimbangkan. Suplemen, perubahan pola makan, berhenti minum alkohol...""Ya, ternyata tubuhku perlu dalam kondisi optimal sebelum kita bahkan mencoba," kata Arissa. "Dan itu butuh waktu. Beberapa bulan, setidaknya.""Bagaimana denganku?" tanya Nathaniel. "Maksudku, apa ada
"Itu berita luar biasa," Robert menepuk-nepuk bahu Nathaniel dengan bangga. "Kalian akan menjadi orang tua yang hebat, aku yakin itu.""Kalian yakin ini saat yang tepat?" tanya Elizabeth, masih dengan air mata haru di wajahnya. "Dengan karir kalian yang sedang berkembang?""Tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak, Bu," jawab Arissa bijak. "Tapi kami merasa siap. Kami sudah membicarakan ini dengan matang.""Dan kami akan saling mendukung, seperti yang selalu kami lakukan," tambah Nathaniel, menatap istrinya dengan penuh cinta.Elizabeth dan Robert saling berpandangan, keduanya terlihat sangat bahagia dengan berita ini. "Kalian tahu," kata Elizabeth setelah beberapa saat, "ayah kalian dan aku sangat menantikan saat menjadi kakek dan nenek. Dan sekarang, meskipun kami akan pindah ke Florida, kami berjanji akan hadir dalam setiap momen penting pertumbuhan cucu kami.""Kami akan sering berkunjung," Robert meyakinkan. "Atau kalian bisa membawa
Hari-hari berikutnya diisi dengan diskusi-diskusi tentang rencana mereka. Mereka membicarakan tentang kemungkinan pindah ke rumah yang lebih besar, tentang persiapan finansial, dan tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan karir dengan tanggung jawab sebagai orang tua.Pada Sabtu sore, mereka mengunjungi sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan bantuan seorang agen real estate, mereka melihat-lihat beberapa rumah yang masih dalam tahap pembangunan."Yang ini memiliki tiga kamar tidur," jelas sang agen, menunjukkan denah rumah yang cukup luas. "Halaman belakangnya juga cukup besar, sempurna untuk anak-anak bermain."Arissa dan Nathaniel saling berpandangan, keduanya membayangkan bagaimana kehidupan mereka akan terlihat di rumah itu. Membayangkan suara tawa anak-anak memenuhi setiap sudut rumah, membayangkan pagi-pagi yang sibuk dengan persiapan sekolah, dan malam-malam yang tenang saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga
"Selamat malam, Nate."Ketika Nathaniel sudah tertidur lelap, Arissa masih terjaga, menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya dipenuhi dengan berbagai emosi—kegembiraan, antisipasi, dan sedikit kecemasan. Tapi di atas semua itu, ada perasaan damai yang mendalam, sebuah keyakinan bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan menghadapinya bersama.Ia melirik ke samping, mengamati wajah suaminya yang terlelap. Dalam cahaya samar-samar yang masuk melalui jendela, Nathaniel terlihat damai dan tampan, seperti hari pertama mereka bertemu. Arissa tersenyum, merasa sangat bersyukur atas kehadiran pria ini dalam hidupnya.Dengan pikiran penuh harapan untuk masa depan, Arissa pun akhirnya terlelap, bermimpi tentang tawa anak-anak dan tahun-tahun bahagia yang menanti mereka di depan.Pagi datang dengan cahaya matahari yang menembus tirai kamar mereka. Arissa terbangun lebih dulu, seperti biasa. Ia menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengamati Nat
"Entahlah. Hanya firasat." Nathaniel mengangkat bahunya. "Dia terdengar... berbeda. Lebih bersemangat dari biasanya.""Hmm, menarik. Kita akan tahu nanti, kurasa."Setelah beberapa puluh menit, makan malam pun siap. Mereka menata meja dengan rapi, menyalakan lilin untuk menambah suasana romantis, dan menuangkan anggur merah ke dalam gelas kristal—hadiah pernikahan dari paman Nathaniel."Untuk kita," Nathaniel mengangkat gelasnya untuk bersulang."Dan untuk masa depan kita," tambah Arissa, menyentuhkan gelasnya ke gelas Nathaniel.Mereka menikmati makan malam dengan santai, berbicara tentang berbagai hal—mulai dari pasien kecil Arissa yang akhirnya sembuh setelah perjuangan panjang, hingga proyek baru yang sedang dikerjakan oleh tim Nathaniel. Pembicaraan mengalir dengan mudah, diselingi tawa dan momen-momen reflektif.Setelah makan malam dan pencuci mulut, mereka duduk bersama di sofa ruang tamu. Nathaniel menyalakan musik klasik favoritnya, sementara Arissa menyandarkan kepalanya di
"Kau pikir kita siap?" tanya Arissa, campuran kegembiraan dan kekhawatiran terdengar dalam suaranya.Nathaniel tertawa kecil. "Siapa yang benar-benar siap untuk menjadi orang tua? Tapi aku yakin, dengan semua yang telah kita lalui bersama, kita bisa menghadapi tantangan ini juga."Arissa tersenyum, hatinya terasa hangat memikirkan kemungkinan itu. "Aku suka ide itu, Nate. Sangat suka."Nathaniel mencium lembut bibir Arissa, sebuah ciuman yang menyimpan seribu janji untuk masa depan mereka. "Kalau begitu, mari kita mulai petualangan baru ini," bisiknya tepat di telinga Arissa.Senja mulai turun, menyelimuti taman dengan cahaya keemasan yang magis. Bayangan mereka memanjang di atas rumput, berpadu menjadi satu seperti kehidupan yang telah mereka rajut bersama. Nathaniel bangkit dari bangku, mengulurkan tangannya kepada Arissa."Mau berjalan-jalan lagi?" tawarnya.Arissa menerima uluran tangan itu, dan mereka kembali menyusuri jalan setapak taman yang mulai lengang. Sekelebat kenangan ma
Angin sore yang sejuk membelai lembut dedaunan di taman kota yang asri. Nathaniel menggenggam tangan Arissa sementara mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga musim semi yang bermekaran. Ini adalah taman yang sama di mana beberapa tahun lalu, dengan jantung berdebar dan harapan yang membuncah, Nathaniel berlutut dan meminta Arissa untuk menjadi pendamping hidupnya."Kau ingat bangku itu?" tanya Nathaniel sambil menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon maple besar yang daunnya mulai menguning.Arissa tersenyum, kenangan indah itu masih terasa segar di benaknya. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa? Kau begitu gugup hingga nyaris menjatuhkan cincinnya."Nathaniel tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah mengingat momen itu. "Tanganku gemetar tak terkendali. Aku takut kau akan berkata tidak.""Setelah semua yang kita lalui bersama? Kau meragukan jawabanku?" goda Arissa sambil memukul pelan bahu suaminya.Mereka mendekati bangku itu dan duduk, sama seperti yang
"Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya
"Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak
"Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya