Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.
“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”
Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.
Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.
Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di depan. Berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun saat menarik tali busur. Daging rusa memang tidak seempuk kelinci, mengolahnya pun jauh lebih rumit, tapi setidaknya lebih baik daripada hanya memakan buah-buahan dan jamur. Telinga runcing rusa bergerak cepat, menandakan si pemburu harus segera bertindak sebelum hewan buruannya kabur.
Belum sempat melepaskan anak panah, sebuah teriakan minta tolong lebih dulu mengalihkan perhatiannya. Pemuda itu bergeming menajamkan pendengaran, telinganya menangkap suara perempuan. Ia segera menelusuri asal suara, merelakan calon makan malamnya kabur masuk hutan. Suara teriakan membawa pemuda itu ke semak berduri rimbun yang bahkan lebih tinggi dari kepala. Segera saja ia menyibak semak belukar itu dengan kedua tangan, dan betapa terkejutnya lantaran mendapati seorang gadis tengah berusaha mengeluarkan diri dari dalam danau.
Jeritan panik tertahan oleh air yang terus masuk ke dalam mulutnya. Tanpa pikir panjang, pemuda itu melepas alas kaki serta peralatan berburu, lantas melompat terjun ke danau. Namun, setelahnya pemuda itu malah keheranan. Danau ini tidak terlalu dalam, bahkan tidak sampai setinggi dada, ia pun bukan pemuda yang terlalu jangkung, tapi kenapa gadis ini begitu panik?
Pemuda itu segera merangkul si gadis untuk menyeretnya ke permukaan, dan baru menyadari bahwa tubuh gadis ini sangat berat. Ia sampai harus bersusah payah meniti air hingga akhirnya berhasil menggapai tepi danau. Napas pemuda itu tersengal, dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Ia menatap gadis yang baru diselamatkannya dengan panik, mata gadis itu tertutup rapat, bibirnya pucat, dan tidak bernapas.
Pemuda itu juga baru menyadari bahwa bukan tubuh si gadis yang membuatnya berat, melainkan sebuah bola besi yang diikatkan pada kedua kakinya. Pemuda itu mengusap wajah, berusaha mengingat apa saja pertolongan pertama untuk orang yang tenggelam, dan hanya berhasil mengingat satu cara—pernapasan buatan.
“Seharusnya aku membaca lebih banyak dari satu halaman!” keluh pemuda itu, ia melirik si gadis dengan ragu, lantas menggeleng cepat. “Aku tidak melakukan ini dengan niat macam-macam, aku melakukan ini untuk menyelamatkan nyawanya!” seru pemuda itu pada diri sendiri.
Ia menutup hidung pendek gadis itu, lalu mengangkat dagunya seperti contoh sketsa dalam buku panduan, dengan segenap keberanian mendekatkan wajahnya kepada si gadis. Belum sempat mulut mereka bersentuhan, gadis itu membuka mata lebar-lebar, lantas menjerit sekuat tenaga.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Gadis itu berusaha memukul pemuda asing di depannya.
“Tu—tunggu dulu, kau salah paham, aku tidak bermaksud begitu!”
“Omong kosong! Jelas-jelas kau mau melecehkanku! Dasar otak kotor!”
“Kau nyaris tenggelam, aku hanya berusaha melakukan pertolongan pertama, percayalah!”
Gadis itu menghentikan serangan, lalu meneliti dirinya sendiri. Anehnya, ia sendiri terkejut melihat seluruh tubuhnya basah kuyup, sorot matanya menerawang seperti sedang mengingat suatu kejadian. Wajah panik berangsur tenang, meskipun napasnya masih menderu. Gadis itu menatap pemuda di depannya ragu-ragu.
“Aku nyaris tenggelam?”
“Benar ... kau tidak ingat?”
“Dan kau menyelamatkanku?”
“Sepertinya begitu ....” Pemuda itu menggaruk rambut kemerahannya dengan canggung. Manik hitam pekat gadis ini tiba-tiba membuatnya gugup. “Kenapa kau bisa ada di tengah danau, dan ... siapa yang melakukan itu kepadamu?” lanjutnya seraya melirik bola besi yang mengikat kaki si gadis.
Alih-alih menjawab, butiran air mata jatuh dari kelopak sayu gadis itu, dan ia memeluk pemuda asing di depannya seerat mungkin. “Aku sangat ketakutan!”
Pemuda itu dibuat terkejut bukan main, sebab tidak pernah ada wanita yang memeluknya seerat ini kecuali sang ibu. Namun, ia juga tak sampai hati menolak tubuh basah kuyup si gadis yang gemetar kedinginan, sepertinya dia memang telah mengalami sesuatu yang buruk. Jadi dengan canggung pemuda itu balas memeluk, sambil mengelus rambut hitamnya yang basah.
“Sudahlah, kau aman sekarang. Kau berasal dari mana? Kenapa kau menangis? Siapa yang melakukan ini kepadamu?”
Gadis itu masih terisak di atas dada bidangnya selama beberapa detik, kemudian melepaskannya dengan wajah memerah malu. Melihat wajah tanpa ekspresi juga sorot kosong yang terus ia sapukan ke tanah, jelas menunjukkan bahwa gadis itu tidak akan menjawab pertanyaan apa pun. Jadi pemuda berambut merah kembali bicara.
“Sepertinya aku terlalu banyak bertanya, kita bahkan belum saling kenal.”
Kali ini, gadis itu mengangkat kepala untuk balik menatap manik hijau zamrud milik pemuda asing di depannya, yang tengah tersenyum hangat seraya menyodorkan tangan.
“Perkenalkan, namaku Harold. Harold Grace, dan kau?”
Melihat perlakuannya yang manis dan tulus, gadis itu menarik napas dalam, lalu menyeka mata, menyibak rambut hitamnya yang basah dan menyunggingkan senyum, senyum terindah yang pernah ada di dunia.
“Namaku, Ellinor ....”
***
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.“Ini sandalnya, Bu.”“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembeli
“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu.
“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu.
“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.“Ini sandalnya, Bu.”“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembeli
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di