“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”
Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.
“Ini sandalnya, Bu.”
“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”
Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembelih saja untuk bahan daging cincang.
Usia Phillip sudah lima belas tahun, tapi ia masih belum cukup berani melawan Miranda. Wanita bermuka dua itu selalu dilindungi oleh Harold. Phillip tidak mau berburuk sangka kepada sang ayah, tapi ia benci setengah mati setiap melihat kemesraan pasangan suami-istri itu. Bagaimana cara mereka saling memangku di sofa dan bermesraan. Belum lagi membayangkan apa yang mereka lakukan di dalam kamar setiap kali pintunya tertutup. Prioritas utama sang ayah sudah bukan kepada anak-anaknya lagi.
“Menyingkirlah!” seru Miranda seraya menepak bahu Lillian.
“Tapi hati-hati, Bu! Lantainya masih basah ....”
Wanita terus melenggang masuk tanpa menghiraukan. Benar saja, baru beberapa langkah, dia sudah jatuh terjerembap di atas kerasnya lantai kayu. Lillian spontan memekik, sementara Miranda bangkit sambil meringis memegangi punggung, dan wanita itu langsung berbalik memelototi Lillian.
“Kau sengaja mencelakaiku, ya!”
“Ti—tidak … aku sudah bilang kalau lantainya masih basah ....”
“Omong kosong, kau pasti sengaja mengepel dengan air yang banyak, supaya aku celaka! Dasar anak kurang ajar!” Miranda mengangkat tangannya, lantas mendaratkan tamparan keras di pipi kanan Lillian.
Kelopak mata Phillip melebar, sontak menjatuhkan kapak dan berlari meghampiri adiknya. Pipinya terlihat memerah. Ketika Phillip menghampiri, gadis itu segera memeluknya.
“Apa yang kau lakukan! Kau menyakiti Adikku!”
“Adik bodohmu itu baru saja mencelakaiku!”
“Kau tergelincir akibat kecerobohanmu sendiri!” Phillip membimbing adiknya duduk, “aku bersumpah kali ini akan mengatakan semuanya kepada ayah! Aku tidak mau bersandiwara lagi!”
“Katakan apa? Kalau selama ini kalian anak-anak bodoh? Silakan, aku tidak takut. Kalian pikir bisa memengaruhi ayah kalian!” seru Miranda.
“Tidak perlu repot-repot memengaruhinya, ayah pasti lebih percaya padaku!” balas Phillip juga berseru.
Miranda tersenyum meremehkan. “Jangan sombong, Bodoh. Kau tidak punya kuasa apa pun atas ayahmu. Tidak lagi. Kita lihat siapa yang berkuasa di rumah ini sekarang!” Wanita itu jalan terpincang-pincang masih memegangi punggung.
“Kau tidak apa-apa, Lill?” Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. “Wanita itu keterlaluan, aku tidak tahan lagi! Aku pastikan dia keluar dari rumah kita, malam ini juga!”
Bahkan Lillian yang biasanya sabar menghadapi apa pun, serta menolak tegas tindakan ‘mengeluarkan orang dari rumah’, tidak kelihatan ingin membantah seruan itu.
“Aku akan mengadukannya kepada ayah, kita sudah punya bukti kekerasannya di pipimu. Dia tidak punya kesempatan untuk menyangkal.”
Phillip benar-benar serius dengan ucapannya. Ketika Harold pulang, anak itu segera mengadukan hal buruk yang Miranda lakukan kepada sang adik, padahal pria itu baru saja masuk pintu. Miranda ada di sebelahnya untuk membukakan mantel, matanya meremehkan saat melihat Phillip mengoceh, tapi Harold tidak menyadari. Setelah Phillip puas mengadu, Harold terdiam, berusaha mencerna cerita sang anak yang sebenarnya tidak terlalu jelas. Phillip sangat yakin sang ayah akan membelanya, tapi malam ini, hanya untuk malam ini. Dugaan Phillip salah.
“Kalian membuat Miranda terluka, padahal Miranda hanya meminta sedikit bantuan.”
“Tapi Ayah, dia memukul Lillian karena kesalahannya sendiri! Lillian sudah memperingati lantainya basah, tapi dia tidak mau dengar!”
“Aku rasa tindakan Miranda benar, dia memberi sedikit pelajaran karena Lilly kurang teliti. Setelah ini, Lilly pasti paham untuk tidak mengepel dengan air yang terlalu banyak.”
Phillip tentu saja terkesiap dengan jawaban santai sang ayah. “Untuk kebaikan kami?” bentaknya kemudian. “Menyuruh kami bekerja tanpa istirahat sepanjang hari, tanpa makan dan minum adalah sebuah kebaikan untuk kami?”
“Jangan bicara yang tidak-tidak, Philly ….”
“Selama ini dia selalu memperlakukan kami seperti budak,” sela Phillip berapi-api. “Dia selalu bersikap manis kepada kami di depan Ayah, tapi saat Ayah pergi bekerja, dia berubah menjadi sosok serigala yang kejam! Ayah lihat lebam di pipi Lillian tadi? Miranda menamparnya.” Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutnya.
Selama ini Phillip menahan, berpura-pura keadaannya dan Lillian baik-baik saja demi melihat sang ayah tetap tersenyum, tapi setelah kejadian siang tadi, rasanya semua ini sudah terlalu jauh. Harold terkejut, menatap wajah anaknya cukup lama kemudian beralih melihat Miranda untuk meminta penjelasan. Wanita itu merunduk dalam-dalam dengan bibir terkatup dan mata berkaca-kaca. Harold bergeming, lantas kembali menatap anaknya, kali ini dengan pancaran kemarahan.
“Phillip, perangaimu sangat kasar! Apa kau sering bersikap kasar seperti ini kepada Miranda?”
“Ayah!”
“Phillip, Miranda bukan orang seperti itu! Sekarang masuk ke kamarmu dan renungkan apa yang telah kalian lakukan padanya!”
“Tapi Ayah ....”
“Phillip, Ayah sangat lelah! Tolong jangan banyak membantah!”
Phillip terdiam, nyalinya menciut ketika sang ayah meninggikan suara. Mau tidak mau anak itu menurut, sengaja menatap sinis kepada Miranda sebelum pergi, dan ia bersumpah melihat senyuman yang sangat samar di sudut kiri bibir wanita itu, seolah mengumumkan kemenangannya. Jika bukan karena ajaran ibu untuk selalu hormat kepada orang tua, dia tidak akan segan untuk menyakiti wanita itu. Saat Phillip membuka pintu kamar, wajah berseri Lillian sudah menyambutnya. Belum sempat bertanya, sang kakak sudah mengempaskan diri pada ranjang.
“Ayah terpengaruh!”
Lillian mengerutkan dahi, lalu menghampiri. “Terpengaruh? Apa Miranda akan keluar dari rumah ini?”
“Bukan, Lill! Ayah sudah terpengaruh oleh Miranda, wanita itu adalah serigala berbulu domba dan Ayah telah terperdaya olehnya!” balasnya geram, “bukannya membela, Ayah justru menuduh yang macam-macam, seolah kita yang berbuat jahat kepada Miranda.”
Lillian menundukkan wajah kecewa. Mereka saling diam selama beberapa detik, sampai gadis itu kembali menyeletuk. “Phill, apa mungkin Ayah tidak menyayangi kita lagi?”
Phillip menatap wajah sendu sang adik, itu menjadi dugaannya sejak pertama kali sang ayah memperkenalkan Miranda. Namun, ia terus menyangkal prasangka itu, dan tidak mau Lillian menduga hal yang sama. Hanya ayah yang mereka miliki sekarang.
“Tidak mungkin ...,” jawab Phillip segera, ia menghampiri sang adik dan duduk di sebelahnya, “Biar bagaimanapun dia ayah kita, dia pasti sayang pada kita, Ayah hanya sedang dibutakan.”
“Dibutakan?”
“Ya, dia sedang dibutakan oleh sesuatu yang disebut cinta.”
Lillian menatap kakaknya keheranan, “Sejak kapan kau jadi puitis begini?”
Phillip tersenyum, bersyukur Lillian tidak banyak mengeluh padahal pipinya membiru akibat ulah Miranda siang tadi. Setelah kejadian ini bagaimana bisa sang ayah masih membela Miranda. Tidakkah noda biru di pipi Lillian cukup membuktikan. Apakah mereka harus kehilangan salah satu anggota tubuh, atau bahkan nyawa agar ayah sadar. Phillip bergidik memikirkannya. Jika ayah saja bersikap tak acuh, artinya mereka hanya memiliki satu sama lain.
Mereka memang hanya memiliki satu sama lain selama lima tahun terakhir, tapi saat itu mereka masih punya harapan, dan sekarang harapan pun tidak bisa lagi diandalkan. Semua kekhawatiran itu membuat Phillip sukar tidur. Miranda dengan entengnya menampar Lillian, dan sang ayah menganggap itu tidak masalah. Sekarang, hanya menunggu waktu sampai ia berani melakukan lebih.
Phillip melirik ranjang adiknya, setelah yakin gadis itu tertidur, ia mengambil sesuatu dari kolong ranjang. Sebuah pigura tua yang memperlihatkan sosok wanita dengan mata dan rambut hitam pekat tengah tersenyum manis. Phillip mengelus bingkai itu dengan hati-hati.
“Lihat apa yang terjadi pada kami, Bu,” gumamnya, “andai Ibu tidak pergi.”
Phillip mengecup bingkai itu sebelum meletakannya kembali ke kolong ranjang. Anak itu mencoba memejamkan mata yang terus memaksanya tetap terjaga, sangat sulit tidur dalam kondisi seperti ini. Sayup-sayup, suara seruling terdengar di telinganya. Nada yang begitu merdu, sampai membuat mata anak itu menjadi berat. Perlahan Phillip memejamkan mata, setidaknya untuk malam ini mereka masih aman.
***
“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu.
Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu.
“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.“Ini sandalnya, Bu.”“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembeli
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di