“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.
“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.
“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”
“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”
“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”
“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”
“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu. Mereka sangat rakus, mereka makan seperti babi!”
Miranda tersentak menutup mulut sementara Harold nyaris tersedak oleh teh yang sedang disesapnya, pria itu beralih kepada Miranda dengan alis bertautan.
“Anak-anakku tidak seperti itu!”
Sang istri menyematkan anak rambut sambil berkedip cepat seolah tidak pernah mengatakan apa pun. “Memangnya kau tahu apa? Aku yang bersama mereka seharian, aku yang tahu bagaimana sifat mereka!”
“Aku berani jamin mereka anak-anak baik. Aku selalu mengajarkan mereka segala hal, dan salah satunya adalah pelajaran tata krama. Kau pasti sedang bercanda.”
“Benarkah? Bagaimana dengan intonasi suara Phillip saat bicara denganku tadi? Apakah itu termasuk anak-anak yang diajari tata krama?”
Harold diam, keningnya membuat banyak kerutan, ia sendiri cukup terkejut atas kejadian barusan, dan pria itu berani sumpah baru kali ini Phillip berteriak sekeras itu, apa lagi kepada orang yang lebih tua. Biasanya Phillip dan Lillian selalu bertingkah manis, keduanya selalu menjunjung tinggi sopan santun, lantaran ia dan Elli selalu mengajari mereka hal tersebut. Dan untuk masalah makanan, sepertinya tubuh kedua anaknya tidak menunjukan kalau mereka ‘makan seperti babi’ sama sekali.
“Sebelum itu, aku ingin tahu apa yang membuat pipi Lilly membiru. Phillip bilang kau menamparnya, aku harap itu tidak benar.”
Miranda menutup mulut dengan mata terbelalak, seolah baru saja dituduh memenggal kepala seekor anak kucing. “Kau tahu aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu! Ulahnya sendiri bermain ketapel untuk mengambil buah di atas pohon. Aku pun tidak tahu bagaimana sampai karet ketapel itu menampar pipinya.”
“Seingatku Lilly tidak bermain ketapel ....”
“Terserah! Kau mengalihkan pembicaraan saat kita sedang menghadapi masalah yang jauh lebih serius!”
Tidak mau memperpanjang perkara, Harold tidak balas mendebat. Apa lagi melihat Miranda memalingkan wajah sambil bersedekap, dan ia terlalu lelah untuk membujuk siapa pun. Pria itu menyunggingkan senyum setenang mungkin.
“Baiklah, lupakan itu, dan untuk masalah krisis, Phillip dan Lillian merupakan anak-anak yang patuh, aku akan bicara dengan mereka agar tidak perlu makan terlalu banyak. Mereka pasti mengerti, kau tidak perlu khawatir,” balas Harold masih berusaha terdengar santai.
“Oh tentu, kau bicara pada mereka, jangan terkejut selagi kau mengoceh nanti, anak-anakmu memasukkan sebanyak mungkin makanan ke dalam mulut mereka!” Miranda masih menyilangkan tangannya di dada—merajuk.
“Lantas kau ingin aku melakukan apa? Membuang mereka ke hutan?” tanya Harold dengan niat berguyon.
“Tepat sekali,” jawab Miranda dengan entengnya, yang membuat pria itu kembali menatap kebingungan.
“Apa kau bilang?”
“Dengar, Harold, jika krisis ini berkepanjangan kita berdua akan mati kelaparan sementara anak-anakmu memakan semua sisa makanan kita!” Wanita itu melanjutkan.
“Kau gila, ya! Aku tidak akan membuang anak-anakku!”
“Jadi kau lebih memilih mereka daripada aku?”
“Kau ini bicara apa?”
“Begini saja, Harold. Kau lebih mencintaiku atau anak-anakmu?”
“Pertanyaan bodoh, Miranda. Aku mencintaimu, aku sayang anak-anakku, kalian semua berharga bagiku.”
“Kalau kau masih ingin bersamaku, kau harus membuang mereka!”
“Kenapa kau sangat menginginkan ini?”
“Aku hanya memikirkan masa depan kita, Sayang,” kata Miranda yang mendadak bertingkah manis dengan memijat bahu suaminya. “Ayolah, hanya sampai krisis selesai, dan ketika keadaan sudah membaik, kita jemput kembali anak-anakmu.”
“Hutan adalah tempat yang berbahaya, mereka bisa celaka di dalam sana. Aku bahkan tidak pernah mengizinkan mereka ke kebun malam-malam.”
“Kenapa kau sebingung itu? Hutan Tomer paling dekat dengan rumah kita, dan memiliki banyak jenis tumbuhan liar yang tidak beracun, mereka bisa tinggal di sana sementara.”
“Aku tidak akan meninggalkan anak-anakku ke sana, memijakkan kaki saja tidak kuizinkan! Kau tahu hutan Tomer dipenuhi mitos bangsa Falsies?”
“Keberadaan Falsies hanya mitos belaka, Sayang. Lagi pula kau telah melatih Phillip berburu dengan baik, dia anak yang kuat dan pemberani, dia pasti bisa bertahan di hutan itu, sekaligus menjaga Adiknya.” desak Miranda, “Ayolah, toh mereka tidak akan lama-lama berada di hutan. Kita akan segera menjemput mereka kembali.”
Pria itu mengusap rambut kemerahannya dengan gusar. Sebenarnya ini adalah pilihan mudah, ia hanya harus berkata ‘tidak’ karena sangat jelas bahwa ini merupakan ide terkonyol yang pernah ia dengar selama hidup. Kenyataannya, satu kata itu seolah tersangkut dalam tenggorokan, dadanya pun terasa sesak bahkan hanya memikirkan satu kata itu.
Belum sempat memberi jawaban, Miranda memijat kepala sang suami. Menelusuri sela-sela rambut kemerahannya dengan jemari sampai menyentuh kulit kepala, membuat otot-ototnya rileks, lalu mengangkatnya sehingga mereka bertatapan. Sejurus kemudian, wanita itu memberikan ciuman yang lembut dan dalam. Cukup lama sampai Harold melupakan apa saja yang sedang mereka bicarakan sebelumnya. Kini fokusnya hanya pada sensasi dingin yang disebar oleh Miranda, sangat dingin sampai pria itu paham bagaimana rasanya menjadi boneka salju. Begitu selesai, tatapan matanya kosong seperti boneka.
“Lakukan apa yang kukatakan. Percayalah, ini solusi terbaik yang kau punya.”
Tanpa banyak berpikir lagi, Harold bangkit dari kursi dengan mantap, dan mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk bermalam di hutan. Seperti tenda, pematik kayu, berbagai peralatan berburu dan makanan. Miranda membantu sang suami dengan senyum yang tidak siapa pun bisa mengartikannya.
***
Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.“Ini sandalnya, Bu.”“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembeli
“Sayang, kau membaca berita utama dalam surat kabar pagi ini?” tanya Miranda kepada Suaminya. Mereka sedang duduk berdua di depan perapian untuk menikmati waktu santai. Dua cangkir teh dan sepiring kue kering menemani perbincangan mereka.“Kau tahu aku selalu membaca surat kabar pagi,” jawab Harold sambil meminum tehnya.“Nah, kalau begitu kau pasti tahu, awal tahun ini kota Briston sedang dilanda krisis. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana, dan katanya akan bertahan sampai akhir tahun.”“Ya, aku tahu, memangnya kenapa dengan itu?”“Kenapa?” tanya Miranda sambil melebarkan kelopak mata, “Krisis bukan hal sepele, Harold! Siapa saja bisa terkena dampaknya, bahkan para raja. Kita bisa mati kelaparan!”“Tenanglah, Miranda, persediaan makanan melimpah, lagi pula kita tidak makan terlalu banyak.”“Kita memang tidak makan terlalu banyak, tapi anak-anakmu itu.
“Hey, Anak Lamban, cepatlah!” Miranda berseru kepada Lillian yang sedang mengepel lantai. “Aku hanya menyuruhmu mengambilkan sandal, apa susahnya, sih!”Lillian terbirit-birit membawakan sandal wol kepada Miranda yang berkacak pinggang di ambang pintu. Dari luar Phillip memperhatikan, ia tengah sibuk melakukan tugas memotong kayu bakar seperti biasa.“Ini sandalnya, Bu.”“Berapa kali aku katakan, jangan memanggilku Ibu! Aku hanya akan jadi ibumu saat suamiku berada di rumah!” bentaknya dengan mata memelotot. “Lagi pula kenapa aku harus menjadi ibu dari anak-anak bodoh dan pemalas seperti kalian?”Lillian mendengarkan dengan kepala tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Sudah lima tahun mereka hidup bersama sebagai sebuah keluarga, tapi bukannya semakin sayang Miranda justru tampak membenci anak-anak setiap detiknya. Ia memandang Grace bersaudara sebagai kerbau bodoh yang seharusnya disembeli
Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di d
Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dal
Sebuah anak panah meluncur begitu cepat sampai hanya terlihat seperti sekelebat bayangan. Anak panah itu menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari seekor kelinci yang sibuk mengais semak. Kelinci itu terlonjak, menyadari dirinya lolos dari maut, hewan itu bercicit senang sekaligus mengejek, kemudian pergi menjauh. Seorang pemuda tinggi dengan pakaian berburu sederhana berwarna perpaduan cokelat muda dan tua menghampiri anak panah itu, lalu mencabutnya dari tanah. Ia melepas topi, mengacak rambut kemerahannya dengan putus asa seraya menghela napas.“Kemampuan berburuku semakin payah saja.”Pemuda itu meneliti anak panahnya sekilas, masih terlihat bagus jadi ia membawanya untuk digunakan kembali. Tak jauh dari situ, ia melihat seekor rusa yang asyik mengudap buah murbei.Senyum miring segera terukir di bibirnya. Mungkin kelinci terlalu kecil, aku harus mulai dari target yang lebih besar.Pemuda itu berkonsentrasi membidik rusa di