“Saat duka ini begitu dalam, aku merasa lebih baik mati saja.” ~Bawang Putih~ --- Derap kaki kuda terdengar. Kepala desa urung melemparkan obor ke tumpukan kayu. Tak lama kemudian, sepuluh ekor kuda memasuki desa. Aku terpaku, sedikit terpesona pada sosok berkulit hitam manis yang memimpin pasukan berkuda. Jika genderuwo ganteng tanpa nama menawan seperti berlian, maka pemuda ini memesona karena kegagahannya. Sorot mata elang nan tajam pasti telah banyak menjerat hati kaum hawa. “Bawang Merah, cepat bersujud!” seru salah seorang tetangga seraya menarikku untuk melakukan pose bersujud kepada keluarga kerajaan. Keluarga kerajaan? Tunggu dulu! Jangan-jangan si tampan berkulit eksotis adalah Pangeran Arya! Dia jodohnya Bawang Putih! Aku mengintip. Pangeran tampak turun dari kuda. Dia mengangkat tangannya dengan penuh wibawa. “Cukup! Kalian tidak perlu memberikan penghormatan berlebihan seperti ini padaku. Bangunlah!” perintah sang pangeran, membuat warga perlahan bangkit dari pos
"What the? Suami pemabuk, hobi main judi, dan tukang selingkuh masih mau dipertahankan?" ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Ayah Bawang Putih tampak menghela napas berat. Tangannya cekatan menggulung tembakau. Tak lama kemudian, asap mulai menyebar di udara, membuat tenggorokan terasa gatal. Aku pun terbatuk-batuk. “Ba-bawang Merah?” Ayah Bawang Putih tampak tersentak. Beliau mematikan rokok lintingan, bangkit dari kursi, lalu menghampiri. Aku menelan ludah. Argh, bisa-bisanya kepergok sedang menguping! “Kamu mendengar apa yang kubicarakan dengan ibumu?” Aku mencengkeram tepian nampan. Otak berpikir keras, mempertimbangkan untuk jujur saja atau bertingkah seolah tidak tahu apa-apa. Ayah Bawang Putih sudah berdiri di hadapan dengan raut wajah tak bisa ditebak. Ah, sudahlah! Aku menunduk dalam sebelum bergumam lirih, “Maaf, Paklik. Saya tidak bermaksud menguping. Tadi, mau ke dapur, lalu tidak sengaja ....” Aku melirik takut-takut. Jantung berdetak cepat. Hutang jasa keluarga kami
“Hanya wanita lemah yang menangisi suami tidak berguna.” ~Pelakor~ --- Oleh karena tak ingin penasaran berlama-lama, aku segera membukakan pintu. Wanita muda berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Wajah cantiknya tampak sinis. Dia mendelik tajam saat menyadari keberadaanku. “Akhirnya, keluar juga. Kalian tuli, ya! Diketuk dari tadi lama sekali baru dibuka!” bentaknya. Ya ampun, rese sekali orang ini! Jangan-jangan orang gila menyasar ke sini? “Maaf, Anda siapa, ya? Ada keperluan apa dengan keluarga kami?” “Aku istrinya Mas Bambang. Mau mengambil rumah ini!” Bambang siapa lagi, sih? Istri kena gangguan jiwa malah dibiarkan berkeliaran. Kalau sampai mencelakakan orang lain, dia juga nanti yang repot. “Ada apa, Bawang Merah? Kok, ribut-ribut?” Suara Ibu terdengar mendekat. Benar saja, beliau sudah berdiri di sebelahku. Namun, Ibu mendadak terpaku. Sinar matanya tampak memancarkan api kemarahan. “Kamu? Berani kamu ke sini, hah! Di mana Mas Bambang?” bentak Ibu dengan su
“Bukankah laut yang terlalu tenang, bisa mendadak mendatangkan badai?” ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Senyum dipaksakan menghiasi wajah Ibu. Bapak-sekarang, aku memanggil ayah Bawang Putih dengan sebutan bapak-mengadakan syukuran sederhana untuk merayakan pernikahan mereka. Usaha beliau akhirnya membuahkan hasil setelah melamar Ibu dan berkali-kali ditolak. Ah, jadi ingat Dokter Syahril! Bagaimana kabarnya sekarang, ya? Sudahlah, kenapa harus ingat hal itu? Kembali ke usaha Bapak tadi, keberhasilan lamaran tentu saja juga tidak lepas dari omongan julid tetangga sebagai faktor pendukung. Seorang janda tinggal di rumah duda pasti akan menimbulkan komentar negatif. Ibu pun pasrah merelakan kebucinannya pada ayah kandungku sedikit tercoreng. Lagi pula, pernikahan ini hanya formalitas agar Bawang Putih ada yang menjaga selama sang ayah ke luar kota. “Aku senang sekali, Mbakyu!” pekik Bawang Putih sambil memeluk lenganku dengan manja. “Iya, iya.” “Mbakyu, tidak suka?” Sorot mata polo
“Tadi, ada yang memborong semuanya, Mbakyu. Kata teman-temanku, dia tabib kerajaan. Namanya Dharma.” Bawang Putih menceritakan tentang sang tabib dengan antusias. Tidak hanya ramah dan dermawan karena membayar mahal untuk herbal kami, pemuda bernama Dharma itu juga sangat tampan. Para gadis desa ini sampai bergerombol di halaman rumah. Konon katanya, si tabib tampan bersaudara dengan Pengawal Danar Prayuda. Penampilan mereka berbeda dari penduduk kebanyakan karena hasil perkawinan seorang putri bangsawan dengan pedagang Arab. Keduanya memiliki hidung mancung dan ukuran mata lebih besar. Hmm ... rasanya aneh sekali, seperti ada yang salah di sini. Nama Dharma juga terasa tidak asing. Aku seolah pernah mendengarnya selama masih menjadi Aleeya. “Mbakyu? Mbakyu?” “Ah iya, Putih. Ada apa?” “Kita harus bilang ke ibu penjualan besar hari ini. Ibu pasti senang!” “Iya, iya, tapi aku mau membereskan itu dulu,” cetusku sambil menunjuk keranjang penuh meniran di teras. Herbal yang telah
“Keluarga yang bisanya hanya menambah luka, aku tidak perlu yang seperti itu.” ~Bawang Putih~ --- Aroma melati berpadu daun pandan masih membekas. Gurat luka belum terhapus dari sorot mata polos. Meskipun begitu, Bawang Putih terlihat jauh lebih tegar dibandingkan saat kepergian ibunya. Sayangnya, dalam kedukaan, serigala berwujud manusia malah mencari mangsa. Belum kering makam ayahnya, kerabat-kerabat Bawang Putih sudah meributkan masalah harta warisan. Sejak pagi bersitegang, akhirnya mereka mencapai mufakat. Anehnya, tidak ada sedikit pun bagian untuk Bawang Putih. “Ternak sapi akan jadi bagian kami,” tutup paman Bawang Putih yang tertua, mengakhiri penuturan panjangnya tentang pembagian warisan. Pengaturan alur cerita memang sangat kejam. Jika kisah aslinya, Bawang Putih jatuh miskin karena Bawang Merah dan si ibu tiri suka berfoya-foya sepeninggal sang ayah. Namun, saat aku mengubah sifat tokoh antagonis, parasitnya berganti menjadi kerabat-kerabat tidak tahu diri. Mereka
"Itu, Bu ... sebenarnya, aku hanya-" "Hanya apa?" cecar Ibu. "Ibu ... jangan marahi Mbakyu. Mbakyu hanya mengajari Bawang Putih untuk melawan orang-orang jahat yang mau menganggu keluarga kita," bujuk Bawang Putih."Tapi, bukan berarti bicara tidak sopan pada orang tua seperti tadi," protes Ibu.Bawang Putih menggeleng pelan. "Mereka tidak pantas untuk dihormati, Bu. Kalau tadi Putih tidak melawan, pasti akan dinikahkan dengan tukang mabuk mesum itu, 'kan?" sergah Bawang Putih.Ibu tampak terdiam. Wajahnya masih tampak tak setuju dengan ajaranku. Namun, aku yakin beliau juga membenarkan ucapan Bawang Putih tentang cara menyelematkan gadis itu dari jeratan pernikahan dengan seorang lelaki berengsek."Jadi, jangan marahi Mbakyu, ya, Bu," rengek Bawang Putih memecahkan keheningan.Ibu menghela napas. "Baiklah."Aku diam-diam mengembuskan napas lega.*** Tahun berlalu tanpa terasa, hidup kami damai meskipun tidak lagi bergelimang harta. Kerabat Bawang Putih benar-benar merebut aset bis
“Aku adalah putra bidadari dengan ketampanan yang bisa menaklukan hati para gadis dalam 3 detik.” ~Ikan Mas~ --- “Kejutan apa, Nak? Kamu jangan membuat ibu takut.” Bawang Putih tersenyum lebar. Dia merangkul Ibu, lalu menggayut manja. Akibat ajaranku, sifatnya menjadi kontradiksi, polos-polos manja bercampur kuat dan pemberani, menye-menye strong. Halah, istilah apa lagi ini? “Aku tunjukkan di dalam saja, ya, Bu.” Dia melambaikan tangan padaku. “Mbakyu, ayo ikut!” “Kedai herbalnya bagaimana?” Wajah Bawang Putih mendadak muram, seolah ada Awan mendung menggantung di kedua netranya. Ibu seketika mendelik tajam. Aku menelan ludah. “Iya, sebentar, ya.” Akhirnya, aku memutuskan menutup kedai. Ibu sudah masuk ke rumah bersama Bawang Putih, tampak sangat akrab. Kadang, ada sedikit rasa iri, tapi kelegaan jauh lebih mendominasi. Paling tidak, nasib buruk menerima hukuman karena berbuat jahat pada tokoh utama tidak akan terjadi. Beliau juga akan memiliki pegangan jika suatu saat a
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha