Share

Ending with Raka

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima.

“Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!”

“Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?”

“Aku membantu, bukan menganggu!”

Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres.

“Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.”

“Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.”

Kepalaku terasa mend
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 1: Gamophobia

    "Mana mungkin bahagia bisa diraih dengan pernikahan jika bayangan tentang itu hanyalah kelabu.”~Aleeya Puspita Wulandari~---Mata Ibu melotot. Ghaida, adik semata wayangku seketika mengkerut. Lagi-lagi, keinginannya untuk melanjutkan hubungan dengan sang kekasih ke jenjang pernikahan memicu kemarahan wanita yang melahirkan kami.Ya, ini memang bukan pertama kalinya. Sejak lulus kuliah setahun lalu, dua sejoli itu sudah beberapa kali meminta restu Ibu. Namun, jawabannya selalu sama.“Tidak, Ghaida! Umur kakak kamu sudah 30 tahunan. Kalau dilangkahi, akan makin sulit jodohnya,” cerocos Ibu.“Tapi, Bu ... kalau Kakak nggak nikah-nikah juga, sampai kapan kami harus menunggu? Kasian Mas Teguh sudah ditanyain juga sama keluarganya.”Hati terenyuh melihat mata bundar berkaca-kaca. Aku ikut andil dalam pilunya. Namun, apa daya trauma ini mengalahkan segalanya.Maaf, Dik ....“Tidak ada tapi-tapian! Aleeya harus menikah lebih dulu!”Aku mendesah berat. Sebenarnya, jika Ghaida menikah lebih d

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 2: Rosa

    "Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Saat sosok itu keluar dari mobil, dua asistenku tampak kecewa. Bukan cowok ganteng yang terlihat, tapi wanita cantik berblazer cokelat. Jemari lentiknya tampak menenteng tas Gucci limited edition. Kali ini, akulah yang merasa gembira. Namanya Rosa, teman satu kosan ketika kuliah di luar kota. Meskipun anak orang kaya, dia malah memilih kos standar biasa. Orang ini memang tipikal sultonah yang merakyat. “Beib!” seru Rosa begitu berdiri di depan etalase apotek. Dia melambaikan tangan, membuat dua personel kerjaku terganga. Mungkin mereka tidak menyangka ibu apoteker yang cuek bebek ini bisa mengenal wanita kaya berjiwa sosialita, manjalita, paling heboh sedunia. Kadang aku sendiri heran bagaimana bisa sosok terlalu ekspresif seperti Rosa bisa menjadi seorang psikolog. Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju etalase. Mungkin besok saja melanjutkan pendataan obat. Kalau Nyonya

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 3: Seseorang dari Masa Lalu

    “Mantan memang meresahkan, tapi ada masanya dia hanya menjadi debu yang akan terbang jika ditiup angin.” ~Aleeya Puspita Wulandari~--- “Kamu benar-benar Aleeya?” ulang pemuda tampan itu lagi. Aku cepat menyunggingkan senyum. Pertemuan dengan mantan memang meresahkan bagi sebagian orang. Ya, lelaki tampan ini adalah Ardhan, pacar pertama sekaligus terakhirku. Dia memang sudah kehilangan posisi di hatiku, tetapi bertemu kembali tetap membuatku kaget. “Iya, Dhan. Aku Aleeya. Lama kita nggak ketemu, apa kabar?” Aku berusaha seramah mungkin. Ardhan terdiam, menatap lekat. Aku mencoba menghangatkan suasana dengan obrolan ringan, tentang pekerjaan, juga hobi balapannya yang ternyata belum berubah. Dia menanggapi antusias meskipun terasa ada kecanggungan. Obrolan kami hanya terhenti sebentar saat aku harus memeriksa resep-resep terakhir yang masuk. Beberapa kali tangannya tampak seperti hendak meraih tanganku di etalase. Namun, aku cepat menghindar. Asistenku tiba-tiba mendekat sambil

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 4: Luka

    "Tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** “Teman SMA, satu kelas terus dari kelas satu sampai kelas tiga,” sambarku sebelum Ardhan menyelesaikan kalimatnya. Ardhan mengerutkan kening. “Aleeya kita, kan, pernah pa–” “Dulu, aku agak tomboi jadi, ya, suka kumpul-kumpul anak cowok,” potongku cepat sambil terkekeh. Rosa mengangguk-angguk. Aku memelototi Ardhan, mengirimkan sinyal agar lelaki itu tidak mengungkit hubungan di masa lalu. Dia malah mengerutkan kening, lalu memandangiku dan Rosa secara bergantian. "Kebetulan banget si Upin teman SMA-nya Aleeya. Bantuin Kak Ros bujuk teman kamu ini dong," rengek Rosa tiba-tiba membuatku merasakan firasat buruk. “Buat apa?” tanya Ardhan dengan kening yang semakin berkerut. “Biar dia mau nerima cinta Bang Syahril. Kesian tuh si abang udah sepuluh kali ditolak.” Rosa terus mencerocos. Sementara Ardhan tidak menyahut. Mata elangnya mendelik tajam, tapi tidak lama

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 5: Ingatan Masa Silam

    “Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."~Ardhan~---Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja."Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku."Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?""Iya, iya."Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.Sebenarnya, aku memiliki

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 6: Mungkin Lebih Baik

    “Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”~Aleeya Puspita Wulandari~***Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.“Ayolah, Kak. Bacain ....” Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih da

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 7: Ini Gila!

    “Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”~Aleeya Puspita Wulandari~---“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!“Di mana aku? Ugh, pusing ....”Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 8: Kemunculan Bawang Putih

    "Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te

Latest chapter

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Raka

    Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Syahril (Dharma)

    Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Ardhan (Danar)

    Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 3: Waktu Berlalu

    Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 2: Tekad Ardhan

    Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 1: Sesal

    Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 58: Memaafkan Diri

    “Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 57: Janji

    “Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 56: Melepaskan Kebencian

    Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha

DMCA.com Protection Status