"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas."
~Aleeya Puspita Wulandari~
***
Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat.
“Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas.
Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi.
“Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.”
Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi.
Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah!
“Putriku ....”
Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau terus menahan napas saat berpelukan dengannya.
“Ibu, sepertinya aku harus segera mandi.”
“Kamu benar, Bawang Merah. Kalau baju basah seperti ini, nanti bisa masuk angin.”
Sebenarnya, bahasa yang digunakan di sini sangat kaku. Bahkan, aku sendiri entah kenapa berbicara dengan cara yang sama, juga sudah sangat fasih memanggil ibu Bawang Merah dengan panggilan ibu. Mungkin ini pengaturan dari buku ceritanya.
Ibu membantuku berdiri dan memapah menuju arah belakang rumah. Aku melongo saat berada di tempat yang dianggap kamar mandi, bangunan dari kayu setinggi orang dewasa tanpa atap. Dua gentong berisi air tampak tersusun rapi. Ada gayung dari batok kelapa tergeletak di atas tutupnya.
Aduh, bagaimana kalau ada yang mengintip? Atau tiba-tiba penunggu pohon nangka di sana datang menyapa?
“Kamu mandi di sini saja, Nak. Berbahaya jika ke sungai malam-malam. Ibu tinggal sebentar, ya, mau mengambilkan kain untukmu.”
Ibu pun meninggalkanku yang masih ternganga.
***
Aku menatap sendu permukaan air sungai yang beriak-riak kecil. Tangan tak henti mengucek baju-baju kotor. Seminggu berlalu sejak terperangkap dalam cerita dongeng ini. Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas.
Berbagai pertanyaan bermunculan dalam benak. Kenapa harus menjadi tokoh antagonis? Bukankah nasib Bawang Merah akan berakhir tragis? Apa mungkin karena aku pernah menyukai tokoh jahat ini?
"Ck! Sial sekali! Sudah mati gara-gara mantan, sekarang malah jadi tokoh jahat," gerutuku sambil mengucek-ucek baju dengan sadis.
Aku menghela napas berat. Rasa sesal bercokol kembali di hati. Kuliah farmasi tidaklah mudah, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika bukan kebaikan adik ibuku, Tante Riana, aku tidak mungkin bisa menempuh pendidikan di bidang ini. Kini, semua itu terasa sia-sia.
Aku teringat lagi perjuangan begadang demi menyelesaikan laporan praktikum. Buku-buku tebal dan jurnal yang menjadi makanan sehari-hari. Hapalan nama obat beserta informasi terkait kini sudah tidak bisa digunakan. Obat sintetis belum di kenal masyarakat dalam cerita ini.
Sebuah dehaman membuyarkan lamunan. Aku menoleh ke kanan. Gadis bertubuh mungil dengan wajah super imut berdiri di sana. Tangannya menjinjing keranjang dari rotan yang dipenuhi cucian.
“Apa aku boleh ikut mencuci di sini?” tanya gadis imut itu.
“Tentu. Ini, kan, sungai bersama," sahutku ramah.
Dia segera mengambil tempat di sebelahku. Meskipun awalnya sedikit canggung, obrolan kami berubah menyenangkan. Gadis itu sangat pintar menghangatkan suasana. Sosoknya yang ceria membuat orang lain seolah-olah merasa telah mengenal lama.
“Aku baru sekarang melihat kamu,” celetukku di tengah kegiatan cuci-mencuci.
“Kami memang baru pindah ke sini. Oh iya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Bawang Putih.”
Aku ternganga. Pantas saja sang pangeran dalam cerita ini bisa langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Bawang Putih memang sangat imut dan menggemaskan, tipikal perempuan yang akan mudah memesona laki-laki. Padahal, saat ini dia masih tampak seperti anak SD.
“Aku Bawang Merah,” sahutku, lalu meraih tangan kanannya, mengajak berjabat tangan.
Bawang Putih tampak bengong. Mungkin perkenalan dengan berjabat tangan tidak biasa di sini. Untunglah, dia kembali tersenyum, manis sekali, persis seperti Ghaida. Aku sempat menyeka air di sudut mata.
Kami kembali mengobrol. Tak disangka ternyata keluarganya menempati rumah kosong di sebelah rumahku. Usia kami terpaut satu tahun. Dia masih berumur 12 tahun.
“Hmm ... boleh aku memanggil Bawang Merah mbakyu?” tanyanya dengan pipi merona.
Mata yang polos berbinar-binar terasa menodong, persis anak kucing tengah memelas minta dipelihara. Tanpa sadar, kepalaku mengangguk. Wajah imut Bawang Putih langsung semringah.
“Terima kasih, Mbakyu. Selama ini, Putih selalu kesepian. Sekarang, sudah punya kakak yang sangat cantik!" serunya girang.
Dia meletakkan cucian, lalu menggayut manja, semakin mirip dengan Ghaida. Setiap senyum terukir di bibirnya hatiku terasa hangat. Ternyata, Bawang Putih anak yang manis. Jahat sekali dulu aku pernah menyebutnya bodoh. Bawang Merah juga tega menyakiti makhluk bagaikan peri ini.
Tiba-tiba ide bagus melintas di otak.
“Baiklah, aku sudah memutuskannya!” seruku dengan tangan terkepal meninju udara.
“Memutuskan apa, Mbakyu?” Mata bundar menatap polos.
Waduh, keceplosan!
***
“Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat
"Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap
"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah
“Saat putriku terancam bahaya, keegoisan menguasai hati begitu saja.” ~Ibu Bawang Merah~ --- Setelah tiba di rumah Bawang Putih, kami langsung ke kamar utama. Ibunya tampak kejang-kejang di tempat tidur, dengan bola mata melotot seperti tercekik. Tangan dan kaki beliau juga bergerak tak tentu arah. “Tolong, jangan bunuh saya! Tidaaak, pergi sana!” Teriakan penuh ketakutan terus terlontar dari bibir yang kering dan pucat. “Putih, tolong ambilkan telur, mangkuk, dan gentong kosong!” Bawang Putih bergegas ke luar kamar. Sementara itu, aku mendekat mengubah posisi Ibu Bawang Putih. Kini, beliau duduk dengan wajah di arahkan ke bawah. Pintu berderak. Bawang Putih masuk dengan membawa barang-barang yang tadi kuminta. Telur diambil bagian putihnya saja, lalu diminumkan untuk memicu muntah. “Huek! Huek!” Aku mengurut pelan punggung ibu Bawang Putih. Beliau terus memuntahkan isi perut hingga keluar cairan kuning. Tubuh kurus itu pun terkulai lemas. Aku membersihkan sisa muntah di pingg
“Mbakyu, apa yang bisa kubantu?” celoteh Bawang Putih antusias. Kepalanya celingak-celinguk. Sementara itu, tubuh yang mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan itu bergerak lincah di antara karung-karung berisi herbal. Aku terkekeh melihat tingkahnya. “Tolong cucikan cabe jawa di sana, ya, Putih.” “Siap!” Bawang Putih tampak langsung mengangkut keranjang berisi cabe jawa. Ya, aku memang hendak membuat jamu cabe puyang. Kunyit dan lempuyang sudah siap sedia sejak kemarin, sedangkan cabe jawa baru saja kupanen tadi pagi. “Putih berangkat dulu, ya, Mbakyu!” seru Bawang Putih sambil tancap gas ke luar bilik kerja. “Hati-hati!” pesanku setengah berteriak. Bawang Putih tidak menyahut karena memang sudah menghilang dari pandangan. Aku menggeleng. Beberapa hari lalu, dia tercebur ke sungai karena terlalu semangat membantuku memetik buah ara. Semoga saja, anak itu belajar dari pengalaman agar lebih berhati-hati. “Yap! Saatnya mengolah sampel lagi!” Aku langsung merajang kunyit dan lemp
"Belenggu pengaturan cerita ini terlalu sulit untuk diputus." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Waktu seolah berhenti sejenak. Kami semua terpaku. Beruntung, aku cepat sadar, langsung menginjak kaki Yu Sari. Dia menjerit kesakitan dan refleks melepaskan cengkeraman. “Bulik ....” Aku bersimpuh di sebelah ibu Bawang Putih, mencoba melakukan pertolongan pertama. Darah segar terus merembes dari batok kepala. Bau anyir bercampur dengan aroma rumput basah. “ARGGGH!” Erangan memekakkan telinga. Ya, saat melihatku berlari membantu ibunya, Bawang Putih menggigit lengan preman. Tak hanya sampai di situ, dia juga langsung melakukan tendangan maut pada organ reproduksi si codet. Lelaki kekar itu tampak roboh ke tanah sambil memegangi benda pusakanya. “Ibu! Ibu!” Bawang Putih berlari ke arahku dan ibunya. Dia hampir saja mengguncang tubuh yang berlumur darah. Untung saja, aku berhasil mencegahnya. Sementara itu, warga mulai berdatangan. Wajah-wajah penuh amarah memburu Yu Sari. Selama ini, war
“Saat duka ini begitu dalam, aku merasa lebih baik mati saja.” ~Bawang Putih~ --- Derap kaki kuda terdengar. Kepala desa urung melemparkan obor ke tumpukan kayu. Tak lama kemudian, sepuluh ekor kuda memasuki desa. Aku terpaku, sedikit terpesona pada sosok berkulit hitam manis yang memimpin pasukan berkuda. Jika genderuwo ganteng tanpa nama menawan seperti berlian, maka pemuda ini memesona karena kegagahannya. Sorot mata elang nan tajam pasti telah banyak menjerat hati kaum hawa. “Bawang Merah, cepat bersujud!” seru salah seorang tetangga seraya menarikku untuk melakukan pose bersujud kepada keluarga kerajaan. Keluarga kerajaan? Tunggu dulu! Jangan-jangan si tampan berkulit eksotis adalah Pangeran Arya! Dia jodohnya Bawang Putih! Aku mengintip. Pangeran tampak turun dari kuda. Dia mengangkat tangannya dengan penuh wibawa. “Cukup! Kalian tidak perlu memberikan penghormatan berlebihan seperti ini padaku. Bangunlah!” perintah sang pangeran, membuat warga perlahan bangkit dari pos
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha