Share

Bagian 2: Rosa

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2023-02-26 20:58:32

"Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup."

~Aleeya Puspita Wulandari~

***

Saat sosok itu keluar dari mobil, dua asistenku tampak kecewa. Bukan cowok ganteng yang terlihat, tapi wanita cantik berblazer cokelat. Jemari lentiknya tampak menenteng tas Gucci limited edition. Kali ini, akulah yang merasa gembira.

Namanya Rosa, teman satu kosan ketika kuliah di luar kota. Meskipun anak orang kaya, dia malah memilih kos standar biasa. Orang ini memang tipikal sultonah yang merakyat.

“Beib!” seru Rosa begitu berdiri di depan etalase apotek.

Dia melambaikan tangan, membuat dua personel kerjaku terganga. Mungkin mereka tidak menyangka ibu apoteker yang cuek bebek ini bisa mengenal wanita kaya berjiwa sosialita, manjalita, paling heboh sedunia. Kadang aku sendiri heran bagaimana bisa sosok terlalu ekspresif seperti Rosa bisa menjadi seorang psikolog.

Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju etalase. Mungkin besok saja melanjutkan pendataan obat. Kalau Nyonya Ceriwis ini datang, pasti panjang ceritanya. Paling hanya bisa diselingi jika harus melayani pasien.

“Selamat datang di Apotek Sehat. Saya Apoteker Aleeya. Ada yang bisa dibantu, Bu?” ucapku sambil menahan tawa.

Rosa mencebik.

“Ish! Emangnya aku pasien tidak dikenal?” Kami berdua tergelak. Dia menggenggam tanganku dan memasang wajah muram. “Kamu tuh, ya, Al. Aku kangen tau. Oh iya, kok, sudah lama nggak konsul?”

Aku memang pernah menjalani terapi psikologis diam-diam dibantu Rosa, berharap gamophobia yang terjadi bisa disembuhkan. Namun, trauma mendalam ternyata begitu mengakar sehingga hampir tak ada kemajuan. Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup.

“Beib, kamu baik-baik aja, ‘kan?”

“Eh iya, baik kok.”

Rosa menatap penuh selidik. Mata bulat dan besar khas miliknya seperti menodong.

“Iya. Aku tuh cuma sibuk jadi nggak sempat menjadwalkan konsul. Bentar lagi mau re-sertifikasi,” kilahku.

“Iya, deh, iya. Ibu Apoteker dari zaman kuliah udah jadi makhluk super sibuk.”

Aku diam-diam menghela napas lega. Syukurlah, dia percaya begitu saja. Kalau sampai tahu alasan sebenarnya, Rosa bisa marah besar.

“Tapi, mantap juga sekarang kamu bisa nyetir Lamborghini, padahal dulu langganannya taksi.”

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dulu, Rosa tidak bisa menyetir sendiri, ke mana-mana selalu pakai taksi. Bukannya menjawab, dia malah tergelak.

“Mana mungkinlah langsung bisa. Lagian kalau bisa, ngapain juga aku pakai mobil sport. Punya adek aku. Dia kupaksa nganterin.”

“Otoritermu nggak sembuh-sembuh juga,” ledekku.

Rosa mencubit lenganku dengan gemas. Tawanya pecah. Aku ikut tergelak.

“Terus, ada angin apa nih ke sini? Nggak mungkin cuman kangen aja, ‘kan? Jangan gangguin kakak kamu lho. Aku nggak mau pasiennya kabur, nanti omset apotek menurun.”

Kakak Rosa yang kumaksud tentu saja si dokter spesialis kejiwaan banyak modus itu.

“Nggaklah. Gangguin, sih, sedikit.”

Aku pura-pura mendelik, Rosa terkekeh.

“Aku cuman mau beli tetrasiklin merek X.” Dia menyebut salah satu merek yang harganya memang di atas rata-rata. “Papinya anak-anak tuh kena diare.”

Kebiasaan, ‘kan? Sedikit-sedikit antibiotik. Padahal diare belum tentu disebabkan kuman. Apalagi, jurusan psikologi, kan, ada kaitannya juga dengan bidang kesehatan. Dia juga punya kakak seorang dokter. Seharusnya, Rosa sudah tahu bahaya penggunaan antibiotik serampangan.

“Ish! Kalau diare tidak spesifik, jangan sembarangan minum antibiotik,” tegurku.

Rosa menyengir lebar, lalu menangkukan tangan di depan dada, juga memasang tampang memelas. Aku hanya menggeleng. Meski dia lebih tua satu tahun, tapi kadang kelakuannya sebelas dua belas dengan ABG. Anehnya, saat berpraktik sebagai psikolog, kepribadian wanita ini berubah penuh kebijaksanaan.

Apa dia kena split personality atau sejenisnya?

“Terapi pertama untuk diare itu oralit, bisa ditambahkan penyerap racun sama suplemen zink.”Aku terus mencerocos menceramahinya. Rosa malah semakin cengengesan.

“Iya, iya, tau, Ibu Apoteker. Cuman, ya, papinya anak-anak yang susah dibilangin. Sugestinya itu lho gede banget sama antibiotik.”

“Diedukasi dong.”

“Aduh, paling susah kalau edukasi sama keluarga sendiri.”

Untuk yang satu itu, aku setuju. Edukasi pada keluarga sendiri memang luar biasa sulitnya. Seperti halnya suami Rosa, ibuku sendiri pun masih ngeyel kalau dilarang menggunakan antibiotik sembarangan.

“Ya udah, nih aku kasih oralit, kaolin-pektin sama zink aja dulu. Nanti, kan, suami kamu bisa diperiksa kakakmu. Kalau memang ada infeksi bakteri, dia bisa resepkan antibiotik.”

“Iya deh.” Mata Rosa yang mengedip-ngedip, membuatku merasakan firasat buruk. “Btw, itu Bang Syahril gimana? Udah bisa mengetuk hati kamu belum?”

“Kan, kamu tahu aku nggak mau nikah. Aku takut terluka.”

“Ish! Makanya kita lanjutkan terapinya. Aku yakin fobia kamu bisa sembuh.”

“Nanti kalau re-sertifikasi udah kelar," kilahku.

Entah nanti kalau urusan re-sertifikasi sudah selesai, alasan apa lagi yang bisa digunakan untuk menghindari terapi.

“Aku tunggu lho, ya.” Rosa mendadak bergidik. “Aduh, Al, aku kebelet.”

“Ya udah sana, toiletnya di situ,” cetusku sambil menunjuk ke arah utara.

“Oke, kita lanjut lagi ghibah, ya, habis aku melaksanakan panggilan alam.”

“Iya, iya, sana, ntar keciprit lagi.”

Rosa setengah berlari menuju toilet. Aku hampir tergelak karena posenya yang menahan kencing tampak kocak. Namun, tawaku urung saat gadis remaja bertubuh kurus mendekat. Senyuman ramah otomatis tersungging di bibir sebelum memberikan pelayanan. Jika memang sedang berada di apotek, aku sebisa mungkin melayani pasien secara langsung.

“Selamat datang di Apotek Sehat. Saya Apoteker Aleeya. Ada yang bisa dibantu, Dik?”

“Saya mencari obat ini,” sahut si gadis.

Aku mengamati bungkusan di tangannya, lalu diam-diam menghela napas berat. PR seorang farmasis masih banyak rupanya. Kemasan yang ditunjukkan gadis itu memang obat herbal untuk menggemukkan badan. Namun, produk ini dilarang beredar oleh BPOM karena mengandung bahan kimia obat.

Biasanya, herbal penggemuk badan dicampurkan dengan deksametason. Efek sampingnya tentu tidak sedikit. Bahkan, jika digunakan untuk khasiat dan dengan dosis yang sesuai pun, obat golongan kortikosteroid ini harus dikonsumsi secara hati-hati.

Ah, saatnya mengedukasi!

“Maaf, Dik. Saya tidak menjual obat ini karena memang dilarang beredar.”

Aku pun menjelaskan bahaya menggunakan herbal mengandung bahan kimia obat. Tentunya, dia diberikan juga pilihan obat lain misalnya herbal mengandung kurkuma yang dapat meningkatkan nafsu makan. Syukurlah, gadis remaja itu mau mendengarkan informasi yang benar. Setelah selesai memberikan pelayanan, aku menuliskan hasil edukasi hari ini di lembar swamedikasi.

“Ya ampun! Ya ampun! Cogan!”

“Pegangin aku, dong. Aku mau pingsan.”

Aku mengerutkan kening melihat kehebohan para asisten jomlo dari lahir itu. Ah, mungkin adik Rosa yang tadi masih di mobil keluar. Jika temanku itu cantik bagai dewi dan kakaknya dokter super ganteng, tentunya adik laki-laki mereka pasti tak kalah tampan.

Akhirnya, dua asisten penuh dedikasi itu bisa cuci mata juga. Mereka tampak melongo dengan mata berbinar-binar. Aku hanya menggeleng sambil menahan tawa, lalu melanjutkan menulis pada lembar swamedikasi.

“Maaf, Bu.” Sapaan itu membuat tangan seketika berhenti menulis.

Suara ini ... kenapa tidak asing?

Aku mengalihkan pandangan dan terpaku.

“Kakak saya yang tadi di sini pergi ke ma–”

Kata-kata lelaki itu terhenti. Sementara aku menghela napas. Wajah tampan campuran Arab-nya memang familiar. Pantas saja tadi perasaanku menjadi tidak enak. Dia menatap lekat.

“Kamu ... Aleeya?”

***

Related chapters

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 3: Seseorang dari Masa Lalu

    “Mantan memang meresahkan, tapi ada masanya dia hanya menjadi debu yang akan terbang jika ditiup angin.” ~Aleeya Puspita Wulandari~--- “Kamu benar-benar Aleeya?” ulang pemuda tampan itu lagi. Aku cepat menyunggingkan senyum. Pertemuan dengan mantan memang meresahkan bagi sebagian orang. Ya, lelaki tampan ini adalah Ardhan, pacar pertama sekaligus terakhirku. Dia memang sudah kehilangan posisi di hatiku, tetapi bertemu kembali tetap membuatku kaget. “Iya, Dhan. Aku Aleeya. Lama kita nggak ketemu, apa kabar?” Aku berusaha seramah mungkin. Ardhan terdiam, menatap lekat. Aku mencoba menghangatkan suasana dengan obrolan ringan, tentang pekerjaan, juga hobi balapannya yang ternyata belum berubah. Dia menanggapi antusias meskipun terasa ada kecanggungan. Obrolan kami hanya terhenti sebentar saat aku harus memeriksa resep-resep terakhir yang masuk. Beberapa kali tangannya tampak seperti hendak meraih tanganku di etalase. Namun, aku cepat menghindar. Asistenku tiba-tiba mendekat sambil

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 4: Luka

    "Tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** “Teman SMA, satu kelas terus dari kelas satu sampai kelas tiga,” sambarku sebelum Ardhan menyelesaikan kalimatnya. Ardhan mengerutkan kening. “Aleeya kita, kan, pernah pa–” “Dulu, aku agak tomboi jadi, ya, suka kumpul-kumpul anak cowok,” potongku cepat sambil terkekeh. Rosa mengangguk-angguk. Aku memelototi Ardhan, mengirimkan sinyal agar lelaki itu tidak mengungkit hubungan di masa lalu. Dia malah mengerutkan kening, lalu memandangiku dan Rosa secara bergantian. "Kebetulan banget si Upin teman SMA-nya Aleeya. Bantuin Kak Ros bujuk teman kamu ini dong," rengek Rosa tiba-tiba membuatku merasakan firasat buruk. “Buat apa?” tanya Ardhan dengan kening yang semakin berkerut. “Biar dia mau nerima cinta Bang Syahril. Kesian tuh si abang udah sepuluh kali ditolak.” Rosa terus mencerocos. Sementara Ardhan tidak menyahut. Mata elangnya mendelik tajam, tapi tidak lama

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 5: Ingatan Masa Silam

    “Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."~Ardhan~---Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja."Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku."Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?""Iya, iya."Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.Sebenarnya, aku memiliki

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 6: Mungkin Lebih Baik

    “Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”~Aleeya Puspita Wulandari~***Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.“Ayolah, Kak. Bacain ....” Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih da

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 7: Ini Gila!

    “Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”~Aleeya Puspita Wulandari~---“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!“Di mana aku? Ugh, pusing ....”Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 8: Kemunculan Bawang Putih

    "Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te

    Last Updated : 2023-02-26
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 9: Impian Sang Antagonis

    “Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat

    Last Updated : 2023-04-19
  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 10: Memulai Rencana

    "Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap

    Last Updated : 2023-04-20

Latest chapter

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Raka

    Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Syahril (Dharma)

    Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Ardhan (Danar)

    Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 3: Waktu Berlalu

    Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 2: Tekad Ardhan

    Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 1: Sesal

    Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 58: Memaafkan Diri

    “Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 57: Janji

    “Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 56: Melepaskan Kebencian

    Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha

DMCA.com Protection Status