Azlan berdiri di depan gerbang besar Kota Merah. Udara di sekitarnya terasa berat, seakan dipenuhi oleh rahasia dan bahaya yang belum terungkap. Dari kejauhan, kota ini tampak seperti tempat biasa—jalan-jalan berbatu, bangunan-bangunan tua dengan lampu-lampu minyak yang menerangi sudut-sudut gelapnya. Namun, di balik semua itu, ia tahu tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kota biasa.Kota Merah adalah pusat dari segala hal yang bergerak dalam bayangan—perdagangan rahasia, kelompok bawah tanah, bahkan orang-orang yang seharusnya sudah lama mati tetapi tetap hidup dengan identitas baru. Di sinilah informasi berharga diperjualbelikan, di sinilah para pemburu bayaran berkumpul, dan di sinilah jawaban yang selama ini dicarinya mungkin tersembunyi.Azlan menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Begitu kakinya menginjak jalanan berbatu kota itu, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Ia bisa merasakan mata-mata yang mengawasinya, sebagian dengan rasa ingin tahu, se
Azlan duduk bersandar pada batang pohon tua, menatap langit yang mulai gelap. Cahaya bulan mengintip dari sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan yang menari di atas tanah. Angin berhembus lembut, membawa aroma hutan yang lembap dan segar. Di tangannya, ia menggenggam gulungan kecil yang diberikan oleh Suri sebelum kepergiannya. Nama-nama yang tertera di dalamnya adalah satu-satunya petunjuk yang bisa ia gunakan untuk menggali kebenaran tentang asal-usulnya. Sejak meninggalkan tempat pelatihannya, ia telah melewati berbagai kota, desa, dan perbatasan, mencoba menyusun potongan-potongan masa lalunya. Ia tahu bahwa kedua orang tuanya meninggal dalam waktu yang berdekatan, dan tak lama setelah itu, ia dibawa oleh gurunya. Namun, ada begitu banyak bagian yang tidak pernah ia pahami sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya? Mengapa gurunya mengambilnya begitu cepat? Dan yang lebih penting—mengapa selama bertahun-tahun, tidak ada seorang pun yang berani memberitahunya sec
Langkah Azlan terhenti di tengah jalan desa yang mulai lengang. Malam telah mencapai puncaknya, dan hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan. Peta di genggamannya terasa semakin berat, seolah membawa beban rahasia yang belum ia pahami sepenuhnya.Ia menatap titik yang ditunjukkan Kazir. Sebuah lokasi di ujung perbatasan wilayah yang selama ini tak pernah ia datangi."Tempat itu menyimpan jawaban tentang siapa dirimu," kata Kazir sebelumnya.Tapi bagaimana jika yang ia temukan nanti justru lebih banyak pertanyaan?Azlan menghela napas dan kembali melangkah. Saat itulah ia menyadari sesuatu. Sejak keluar dari kedai teh, ia merasa ada sepasang mata yang terus mengawasinya. Bukan hanya sekadar tatapan penasaran penduduk desa, melainkan tatapan yang lebih tajam—seperti seorang pemburu mengawasi mangsanya.Tanpa menunjukkan kecurigaan, ia tetap berjalan lurus menuju penginapan kecil di ujung jalan. Tapi sesaat sebelum ia membuka pintu, bayangan seseorang melintas cepat di belakan
Langit malam masih dihiasi bintang-bintang yang berpendar redup, namun angin malam mulai membawa hawa yang berbeda—hawa pembunuhan. Azlan sudah merasakannya sejak ia meninggalkan penginapan, sebuah firasat tajam yang tidak bisa ia abaikan.Langkahnya terhenti di sebuah jalan setapak yang sepi. Hutan di sekitarnya terasa terlalu sunyi, seakan semua makhluk hidup memilih diam."Keluar," ucap Azlan pelan, namun tegas.Sejenak, tidak ada jawaban.Kemudian, dari balik pepohonan, lima sosok berjas hitam muncul. Mereka tidak terlihat seperti orang biasa. Cara mereka berdiri, cara mereka mengatur napas, semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah petarung berpengalaman.Pemimpin mereka, seorang pria bertopeng separuh, melangkah maju. "Kami tidak menyangka kau akan menyadari keberadaan kami secepat ini."Azlan menyilangkan tangan di dada. "Terlalu banyak kesalahan kecil yang kalian buat. Jejak di tanah terlalu rapi, napas kalian terlalu terkendali. Itu ciri khas orang yang terlatih."Pria itu ter
Pintu kayu tua itu berderit saat mereka melangkah masuk. Ruangan di baliknya redup, diterangi hanya oleh beberapa lentera minyak yang bergantung di dinding batu. Aroma kayu terbakar dan teh herbal memenuhi udara.Di tengah ruangan, seorang pria berambut abu-abu duduk di kursi kayu, menatap Kirana dan Azlan dengan tatapan tajam."Kau membawa tamu," katanya dengan suara serak.Kirana mengangguk. "Dia butuh informasi."Pria itu—Yashir—menyipitkan mata ke arah Azlan. "Dan siapa kau?"Azlan tidak langsung menjawab. Ia menatap pria itu, mencoba menilai apakah orang ini bisa dipercaya. Kirana tampaknya mempercayainya, tetapi Azlan tahu lebih baik daripada langsung percaya pada orang asing."Azlan," jawabnya akhirnya.Yashir mengangguk pelan. "Aku pernah mendengar nama itu. Ada rumor yang mengatakan bahwa seorang pemuda dengan kemampuan luar biasa muncul di beberapa tempat. Kau yang menyembuhkan putra saudagar kaya itu, bukan?"Azlan tetap diam.Yashir tertawa kecil. "Kau tidak perlu menjawab
Azlan melangkah keluar dari bangunan tua itu dengan napas panjang. Udara malam menyelimutinya dengan hawa dingin, tetapi pikirannya lebih kacau daripada suhu yang menusuk kulit. Kata-kata Yashir terus terngiang di benaknya. Ke tempat di mana semuanya dimulai. Kirana berdiri di sampingnya, menggenggam belati yang masih berlumuran darah. Ia menatap Azlan dengan ekspresi serius. "Kita harus bergerak sekarang. Kalau mereka sudah tahu keberadaan kita, tidak butuh waktu lama sampai yang lain datang." Yashir keluar dari dalam ruangan, merapatkan mantel hitamnya. "Kita akan pergi ke utara. Ada tempat tersembunyi di balik pegunungan. Di sanalah gurumu terakhir kali terlihat sebelum menghilang." Azlan mengangguk, matanya menyipit penuh tekad. "Kalau memang di sana ada jawaban, kita tidak bisa membuang waktu lagi." Tanpa membuang waktu, mereka bertiga bergerak cepat melewati gang-gang gelap, menghindari jalan utama yang bisa membuat mereka lebih mudah ditemukan. Namun, langkah mereka baru b
Azlan berdiri di atas atap sebuah gedung tua yang menghadap ke pusat kota. Angin malam yang dingin menyibak jubahnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Matanya tajam menelusuri jalanan di bawahnya, mengamati pergerakan orang-orang yang tak menyadari bahwa di atas mereka, seorang lelaki tengah memperhatikan dengan cermat. Tangan kanannya menggenggam sesuatu—selembar surat yang ia temukan di dalam kamar penginapannya sore tadi. Surat itu ditulis dengan huruf yang tampak familiar, namun tidak bertanda nama pengirim. "Jangan mencari lebih jauh. Jika kau ingin jawaban, datanglah ke pelabuhan tua saat bulan berada di titik tertinggi." Azlan tidak bodoh. Ini bisa jadi jebakan. Tapi setelah semua yang ia alami, ia tidak bisa mengabaikan petunjuk sekecil apa pun. Terlalu banyak misteri yang mengelilinginya sejak ia meninggalkan pelatihan. Terlalu banyak orang yang berusaha menghalanginya, seolah keberadaannya sendiri adalah ancaman bagi sesuatu yang lebih besar. Ia melipat surat it
Azlan masih berdiri di pelabuhan tua itu, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Gulungan kertas yang tadi diberikan pria misterius itu kini berada dalam genggamannya. Jemarinya menggenggam erat seolah takut kehilangan sesuatu yang begitu penting. Pikirannya berkecamuk. Seseorang dari masa lalu, yang mengetahui tentang keluarganya, tiba-tiba muncul dan memberikan petunjuk yang selama ini ia cari. Tapi apakah ia bisa mempercayai orang itu? Ia mengambil napas dalam. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Ia harus kembali, memikirkan langkah berikutnya. Dengan satu gerakan cepat, Azlan melompat ke atap gudang tua di dekatnya, lalu berlari melintasi bangunan-bangunan kosong yang menghadap ke laut. Ia ingin segera kembali ke tempatnya menginap, menyusun strategi sebelum membuat keputusan besar. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyelinap di hatinya. Langkahnya berhenti di puncak sebuah bangunan. Matanya menyapu area sekeliling. Tidak ada yang aneh—sejauh ini. Tapi nalurinya
Azlan menatap sosok pria berjubah hitam yang kini berdiri tegak dengan ekspresi datar. Meskipun pertempuran sudah berhenti, udara masih terasa tegang, seolah-olah hanya butuh satu percikan kecil untuk kembali meledakkan situasi.Reina dan Kirana tetap di tempat mereka, tidak ingin mengganggu percakapan antara Guru dan pria misterius itu.Azlan menarik napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertarungan tadi."Aku tidak paham," akhirnya Azlan berkata. "Siapa sebenarnya dia? Dan apa maksudnya tentang gerbang terakhir?"Guru tidak segera menjawab. Ia menatap pria berjubah hitam itu dengan pandangan penuh pertimbangan."Aku adalah penjaga gerbang," pria itu akhirnya berbicara, suaranya masih memiliki gema aneh seperti sebelumnya. "Tugas utamaku bukan untuk melawanmu, Azlan, melainkan memastikan bahwa hanya orang yang layak yang bisa melewati tahap ini."Azlan mengerutkan kening. "Tahap?""Benar," pria itu mengangguk. "Kau mungkin belum sadar sepenuhnya, t
Suara langkah kaki itu terdengar begitu berat, bergema di sepanjang lorong gelap yang kini mulai dipenuhi retakan dan debu beterbangan. Azlan menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam mengarah ke sosok yang kini muncul dari kegelapan.Reina dan Kirana menahan napas. Bahkan sosok berjubah putih yang selama ini terlihat tenang, kini menggenggam tongkatnya lebih erat.Dari balik bayangan yang semakin pekat, sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, balutan jubah hitam berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah lorong. Wajahnya setengah tertutup tudung, namun sorot matanya tajam seperti pisau.Namun yang paling mengerikan bukanlah penampilannya.Tetapi auranya.Gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya, menekan udara sekitarnya seperti pusaran badai yang siap menelan segalanya.Azlan menghela napas. Entah kenapa, ia merasa pria ini bukan orang biasa.“Jadi, kau akhirnya menyadari siapa dirimu?” suara pria itu terdengar dalam dan menggema, seolah berasal dari dua ar
Azlan berdiri diam di depan patung besar yang menyerupai ayahnya. Matanya menelusuri setiap ukiran pada patung itu, mencoba memahami pesan yang tersirat. Sosok berjubah putih di sampingnya menatapnya dengan tenang."Jawabannya tidak ada di tempat ini… tetapi di dalam dirimu sendiri."Kata-kata itu masih menggema di benaknya. Apa maksudnya? Bagaimana mungkin kunci terakhir untuk menjaga segel itu ada dalam dirinya?Reina melangkah maju, menyentuh bahu Azlan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Azlan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi jika kata-kata orang ini benar, maka aku harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatanku.”Kirana yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Mungkin kita harus melihat lebih dalam ke dalam ingatanmu. Ada teknik yang diajarkan guruku… sebuah cara untuk membuka ingatan tersembunyi.”Sosok berjubah putih itu menoleh ke Kirana, matanya berbinar seolah menyetujui. “Itu bisa berhasil. Tetapi metode itu berisiko. Jika kau tidak cukup kuat, kau bi
Tangga batu yang mereka turuni semakin menyesakkan udara di sekitar. Dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tampak bercerita, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Azlan melangkah lebih dulu, diikuti Kirana dan Reina yang tetap waspada. Cahaya obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara sisanya tertelan dalam kegelapan yang pekat.“Tempat ini… seperti makam,” gumam Reina sambil menyentuh salah satu ukiran di dinding.Kirana mengangguk. “Tapi ini bukan makam biasa. Lihat simbol-simbolnya, ini mirip dengan yang ada di kitab kuno yang pernah diajarkan guru.”Azlan memperhatikan dengan saksama. Simbol yang terukir bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga tulisan kuno yang tampaknya menjadi bagian dari mantra perlindungan.“Aku merasa seperti sedang diawasi,” bisik Kirana.Azlan tidak menjawab, tetapi ia juga merasakan hal yang sama.Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Atapnya tinggi dengan pilar-pi
Angin malam berhembus dingin di desa tersembunyi itu. Azlan masih duduk diam di dalam rumah lelaki tua yang baru saja mengungkapkan sebagian kebenaran tentang garis keturunannya.Kirana dan Reina duduk tak jauh darinya, sama-sama mencerna informasi yang baru mereka dapatkan."Kau baik-baik saja?" tanya Reina akhirnya, memecah keheningan.Azlan mengangkat kepalanya. "Aku hanya... merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya."Lelaki tua itu mengangguk. "Kau benar. Apa yang kukatakan barusan hanyalah permulaan. Jika kau ingin mengetahui seluruh kebenaran, kau harus mencarinya sendiri."Azlan menghela napas. "Dan aku yakin perjalanan itu tidak akan mudah."Lelaki tua itu tersenyum samar. "Tidak ada perjalanan menuju kebenaran yang mudah, Azlan. Tapi kau tidak akan berjalan sendirian."Azlan melirik Kirana dan Reina. Mereka berdua mengangguk mantap."Aku sudah ikut sejauh ini, aku tidak akan berhenti sekarang," kata Kirana.Reina menambahkan, "Lagipula, perjalanan ini juga berhubung
Azlan menarik napas panjang, menatap jasad lelaki yang baru saja dihabisi oleh musuh yang tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya seseorang mencoba membungkam orang yang bisa memberinya informasi. Tetapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perburuan terhadapnya.Ia merasakan Kirana dan Reina mendekat, wajah mereka masih tegang setelah pertempuran singkat tadi."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Reina. "Mereka sudah tahu lokasi kita."Azlan mengangguk. "Kita berangkat sekarang."Tanpa membuang waktu, mereka segera meninggalkan tempat itu.Di perjalananAzlan, Kirana, dan Reina melangkah cepat menyusuri hutan lebat yang diterangi cahaya bulan. Mereka berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri."Azlan," kata Kirana tiba-tiba.Azlan menoleh."Kau sadar, kan? Mereka menyebutmu pewaris sesuatu yang tidak seharusnya ada," lanjutnya. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan masa lalumu?"Azlan terdiam sejenak. "Mungkin.
Di bawah cahaya bulan yang pucat, Azlan berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang terbentang di hadapannya. Udara dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang diterbangkan angin malam. Matanya menyipit, menajamkan pandangan ke arah perkemahan kecil di kejauhan, di mana cahaya api unggun berkedip-kedip dalam kegelapan.Sosok berjubah putih yang misterius itu telah menghilang tanpa jejak sejak pertemuan mereka sebelumnya. Azlan masih belum memahami sepenuhnya maksud dari kehadiran orang itu, tetapi satu hal yang pasti—dia harus lebih berhati-hati. Terlalu banyak mata yang mengawasinya, dan semakin banyak pihak yang mulai menyadari keberadaannya.Ia menarik napas panjang, menenangkan pikirannya. Dalam beberapa hari terakhir, terlalu banyak hal yang terjadi. Kemampuannya semakin terasah, tetapi sekaligus semakin banyak rahasia yang terbuka di hadapannya. Satu hal yang mulai ia sadari, ada lebih banyak kebenaran yang tersembunyi daripada yang pernah ia bayangkan
Azlan duduk bersandar di dinding kayu yang terasa dingin. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan rahasia yang belum terungkap. Kata-kata pria bertato tadi masih terngiang di kepalanya—Bayangan Kuno. Nama itu terdengar seperti legenda, tapi fakta bahwa pria berjubah abu-abu itu benar-benar ada membuatnya harus mempertimbangkan bahwa legenda itu mungkin lebih dari sekadar mitos.Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan pikirannya yang berkecamuk. Jika pria itu benar-benar bagian dari kelompok tersebut, maka pertemuannya bukanlah kebetulan.“Kenapa aku? Apa yang mereka inginkan dariku?”Azlan melirik pria bertato itu lagi, mencoba mencari petunjuk dari wajahnya yang keras dan penuh bekas luka.“Apa yang mereka jaga?” tanya Azlan akhirnya, memecah keheningan.Pria itu menghela napas sebelum menjawab, “Sesuatu yang tak seharusnya jatuh ke tangan manusia biasa.”Azlan mengernyit. “Sesuatu seperti apa?”Pria itu menatapnya lama, seolah mempertimbangkan apakah Azlan layak menge
Angin dingin berembus pelan, membawa serta aroma tanah basah yang masih tersisa setelah pertarungan sengit tadi. Azlan berdiri diam, menatap langit yang kini mulai sedikit lebih terang. Keheningan yang mendadak ini terasa janggal baginya, seakan badai baru saja mereda, tetapi masih menyimpan ancaman yang lebih besar.Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan denyut nadinya yang masih berpacu cepat akibat pertarungan. Sosok pria berjubah abu-abu telah menghilang begitu saja, meninggalkannya dengan banyak pertanyaan yang tak terjawab."Pewaris terakhir… tubuhmu telah diisi dengan warisan yang tak bisa kau hindari."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Warisan? Apa maksudnya? Apakah pria itu mengetahui sesuatu tentang dirinya yang bahkan ia sendiri belum menyadarinya?Azlan mengepalkan tinjunya."Aku harus mencari tahu lebih banyak."Tapi pertanyaannya, ke mana ia harus mulai mencari?Setelah memastikan tidak ada ancaman di sekitarnya, Azlan kembali berjalan menuju tempat per