Azlan masih berdiri di pelabuhan tua itu, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Gulungan kertas yang tadi diberikan pria misterius itu kini berada dalam genggamannya. Jemarinya menggenggam erat seolah takut kehilangan sesuatu yang begitu penting. Pikirannya berkecamuk. Seseorang dari masa lalu, yang mengetahui tentang keluarganya, tiba-tiba muncul dan memberikan petunjuk yang selama ini ia cari. Tapi apakah ia bisa mempercayai orang itu? Ia mengambil napas dalam. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Ia harus kembali, memikirkan langkah berikutnya. Dengan satu gerakan cepat, Azlan melompat ke atap gudang tua di dekatnya, lalu berlari melintasi bangunan-bangunan kosong yang menghadap ke laut. Ia ingin segera kembali ke tempatnya menginap, menyusun strategi sebelum membuat keputusan besar. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyelinap di hatinya. Langkahnya berhenti di puncak sebuah bangunan. Matanya menyapu area sekeliling. Tidak ada yang aneh—sejauh ini. Tapi nalurinya
Angin malam masih berhembus saat Azlan melangkah meninggalkan medan pertarungan. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. Siapa pria bertopeng itu? Mengapa ia mengincarku? Dan yang lebih penting—apa hubungannya dengan masa lalu keluargaku? Ia mengepalkan tangannya. Pertarungan tadi menunjukkan bahwa dirinya masih menjadi sasaran. Ini bukan kebetulan. Seseorang tidak mengirim lima pembunuh hanya untuk menguji kekuatan lawan secara acak. Tidak. Ada sesuatu yang mereka cari darinya. Sesuatu yang mungkin berkaitan dengan identitasnya yang sebenarnya. Azlan menepi ke sebuah gang kecil yang gelap. Ia bersandar ke dinding bata yang dingin, menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya masih terasa hangat oleh adrenalin, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus begini. Ia butuh jawaban. Dan satu-satunya orang yang bisa memberikannya adalah gurunya. Tanpa ragu, ia mulai berjalan menuju tempat di mana gurunya tinggal. Langkahnya cepat, hampir berlari. Ia tidak peduli deng
Langkah Azlan mantap saat ia meninggalkan rumah gurunya. Malam masih menyelimuti kota, tetapi pikirannya dipenuhi dengan cahaya—cahaya kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Di tangannya, gulungan peta itu terasa lebih berat daripada seharusnya. Ia belum tahu sepenuhnya apa yang menantinya di Lembah Kegelapan, tetapi satu hal pasti—di sanalah jawaban atas siapa dirinya yang sebenarnya berada. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara menghentikannya. "Tuan muda… hendak pergi ke mana di malam seperti ini?" Azlan menoleh dengan cepat. Dari bayangan gang sempit, seorang pria tua muncul. Jubahnya lusuh, rambut dan jenggotnya berantakan, dan bola matanya yang redup seperti menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama disimpan. Azlan mengernyit. Ia tidak mengenali pria itu, tetapi ada sesuatu yang terasa aneh. "Aku bukan tuan muda siapa pun," jawabnya, suaranya tetap waspada. "Aku hanya seorang pejalan malam." Pria itu tersenyum samar. "Pejalan malam yang memegang gu
Langkah kaki Azlan terhenti. Dunia di sekelilingnya masih berupa reruntuhan istana yang berlumuran darah, seperti sebuah ingatan yang dipaksa hidup kembali. Pria tinggi di hadapannya mengangkat pedang besar, mata penuh amarah tertuju padanya. "Kau tidak pantas mewarisi apa pun!" Tanpa peringatan, pria itu menyerang. Pedang besarnya melesat turun dengan kekuatan yang cukup untuk membelah batu. Azlan melompat ke belakang, menghindari serangan itu hanya dalam hitungan detik. Tanah tempatnya berdiri terbelah dua, meninggalkan celah dalam yang mengerikan. "Ini bukan kenyataan," pikir Azlan. "Ini adalah ingatan. Tapi kenapa aku bisa merasakannya begitu nyata?" Pria bertudung yang tadi muncul di Lembah Kegelapan masih berdiri di samping, mengamati pertarungan ini seolah ia hanya penonton. Azlan tak punya waktu untuk bertanya. Pria tinggi itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat. Azlan menghunus pedangnya dan menangkis. Dentingan logam bergema, percikan api berhamburan saat kedua bil
Azlan berdiri di tengah hutan berkabut, menatap pria bertudung di hadapannya. Udara terasa semakin berat, seolah alam pun menunggu keputusannya."Aku akan mengungkap kebenaran."Kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan keyakinan penuh.Pria bertudung itu tersenyum tipis. "Bagus. Tapi ingat, jalan yang kau pilih bukanlah jalan yang mudah."Azlan tidak mundur. "Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Jika ini tentang keluargaku, aku tidak akan tinggal diam."Pria itu mengangguk. "Kalau begitu, ada sesuatu yang harus kau ketahui terlebih dahulu."Ia melangkah maju, dan kabut di sekitar mereka mulai berputar dengan sendirinya. Pemandangan di depan mereka berubah.Azlan kini berdiri di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari batu hitam. Di atas gerbang itu, terukir simbol kuno yang tampak begitu familiar baginya."Ini… lambang yang sama dengan yang ada di liontin ibuku," gumamnya.Pria bertudung menjelaskan, "Gerbang ini mengarah ke tempat yang telah lama tersembunyi dari dunia. Di dal
Azlan mencengkeram pedangnya lebih erat. Cahaya keemasan dari simbol-simbol di dinding aula kini bercampur dengan aura hitam pekat yang mengelilingi lawannya. "Kau siap?" tanya pria berjubah hitam itu, suaranya terdengar lebih dalam, seakan berasal dari kegelapan itu sendiri. Azlan tidak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, ia menggeser kakinya sedikit, mengambil posisi menyerang. Napasnya stabil, matanya fokus. "Kalau begitu, kita lanjutkan," kata pria itu sebelum menghilang dalam sekejap. Azlan sudah menduga ini. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan indra lainnya menangkap pergerakan musuh. Angin di sebelah kiri— "Di sana!" Azlan mengayunkan pedangnya ke kiri, dan tepat saat itu juga, tombak hitam lawannya muncul dari kegelapan, bertubrukan dengan pedangnya. CLANG! Percikan energi hitam dan emas menyebar ke seluruh ruangan. Pria berjubah itu melangkah mundur sedikit, tampak terkejut. "Refleks yang bagus." Azlan tidak membuang waktu. Ia melompat maju, menebaskan
Azlan berjalan perlahan di sepanjang jalan berbatu, pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan aneh dengan laki-laki berjubah putih. Kata-katanya terus terngiang di kepala: "Akan ada saatnya kau sendiri yang memahami siapa dirimu." Siapa orang itu? Bagaimana dia bisa tahu begitu banyak tentang Azlan? Malam sudah semakin larut, tetapi Azlan tetap berjalan tanpa tujuan yang jelas. Udara dingin menyelinap ke dalam pakaiannya, tetapi pikirannya lebih terasa berat daripada tubuhnya. Setelah beberapa saat, langkahnya terhenti di depan sebuah kedai tua di sudut jalan. Cahaya lentera berpendar dari dalam, aroma sup hangat tercium dari balik pintu kayu yang sudah usang. Perutnya terasa kosong, mengingat ia sudah lama tidak makan sesuatu yang layak. Azlan mendorong pintu kedai, dan suara gemerincing lonceng kecil menyambutnya. Di dalam, beberapa orang sedang duduk menikmati makanan mereka, obrolan pelan mengisi ruangan yang hangat. Ia memilih duduk di sudut, punggungnya bersandar ke dinding
Azlan berdiri di tengah kedai yang kini sunyi, hanya suara napasnya dan desiran angin malam yang masuk dari celah jendela. Di luar, langkah kaki mendekat, berat dan pasti.Harun masih duduk dengan tenang, menyesap sisa tehnya. Seakan tak terganggu oleh bahaya yang jelas-jelas akan segera menerjang mereka. Azlan melirik ke arahnya, mencoba menilai apakah pria tua itu benar-benar setenang yang ia perlihatkan atau hanya berpura-pura.“Ada berapa orang?” tanya Harun akhirnya, meletakkan cangkirnya.Azlan memejamkan mata sejenak, merasakan denyut energi di sekitar mereka. “Enam, mungkin tujuh.”Harun tersenyum tipis. “Itu bukan masalah besar untukmu.”Azlan tidak menjawab. Ia tidak sombong, tapi ia tahu bahwa jumlah seperti itu bukan ancaman bagi seseorang yang telah menjalani pelatihan bertahun-tahun di bawah bimbingan gurunya. Yang menjadi masalah adalah alasan mereka datang.Apakah mereka hanya suruhan, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik ini?Sebuah suara mengetuk pintu dengan p
Azlan menatap sosok pria berjubah hitam yang kini berdiri tegak dengan ekspresi datar. Meskipun pertempuran sudah berhenti, udara masih terasa tegang, seolah-olah hanya butuh satu percikan kecil untuk kembali meledakkan situasi.Reina dan Kirana tetap di tempat mereka, tidak ingin mengganggu percakapan antara Guru dan pria misterius itu.Azlan menarik napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertarungan tadi."Aku tidak paham," akhirnya Azlan berkata. "Siapa sebenarnya dia? Dan apa maksudnya tentang gerbang terakhir?"Guru tidak segera menjawab. Ia menatap pria berjubah hitam itu dengan pandangan penuh pertimbangan."Aku adalah penjaga gerbang," pria itu akhirnya berbicara, suaranya masih memiliki gema aneh seperti sebelumnya. "Tugas utamaku bukan untuk melawanmu, Azlan, melainkan memastikan bahwa hanya orang yang layak yang bisa melewati tahap ini."Azlan mengerutkan kening. "Tahap?""Benar," pria itu mengangguk. "Kau mungkin belum sadar sepenuhnya, t
Suara langkah kaki itu terdengar begitu berat, bergema di sepanjang lorong gelap yang kini mulai dipenuhi retakan dan debu beterbangan. Azlan menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam mengarah ke sosok yang kini muncul dari kegelapan.Reina dan Kirana menahan napas. Bahkan sosok berjubah putih yang selama ini terlihat tenang, kini menggenggam tongkatnya lebih erat.Dari balik bayangan yang semakin pekat, sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, balutan jubah hitam berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah lorong. Wajahnya setengah tertutup tudung, namun sorot matanya tajam seperti pisau.Namun yang paling mengerikan bukanlah penampilannya.Tetapi auranya.Gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya, menekan udara sekitarnya seperti pusaran badai yang siap menelan segalanya.Azlan menghela napas. Entah kenapa, ia merasa pria ini bukan orang biasa.“Jadi, kau akhirnya menyadari siapa dirimu?” suara pria itu terdengar dalam dan menggema, seolah berasal dari dua ar
Azlan berdiri diam di depan patung besar yang menyerupai ayahnya. Matanya menelusuri setiap ukiran pada patung itu, mencoba memahami pesan yang tersirat. Sosok berjubah putih di sampingnya menatapnya dengan tenang."Jawabannya tidak ada di tempat ini… tetapi di dalam dirimu sendiri."Kata-kata itu masih menggema di benaknya. Apa maksudnya? Bagaimana mungkin kunci terakhir untuk menjaga segel itu ada dalam dirinya?Reina melangkah maju, menyentuh bahu Azlan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Azlan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi jika kata-kata orang ini benar, maka aku harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatanku.”Kirana yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Mungkin kita harus melihat lebih dalam ke dalam ingatanmu. Ada teknik yang diajarkan guruku… sebuah cara untuk membuka ingatan tersembunyi.”Sosok berjubah putih itu menoleh ke Kirana, matanya berbinar seolah menyetujui. “Itu bisa berhasil. Tetapi metode itu berisiko. Jika kau tidak cukup kuat, kau bi
Tangga batu yang mereka turuni semakin menyesakkan udara di sekitar. Dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tampak bercerita, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Azlan melangkah lebih dulu, diikuti Kirana dan Reina yang tetap waspada. Cahaya obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara sisanya tertelan dalam kegelapan yang pekat.“Tempat ini… seperti makam,” gumam Reina sambil menyentuh salah satu ukiran di dinding.Kirana mengangguk. “Tapi ini bukan makam biasa. Lihat simbol-simbolnya, ini mirip dengan yang ada di kitab kuno yang pernah diajarkan guru.”Azlan memperhatikan dengan saksama. Simbol yang terukir bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga tulisan kuno yang tampaknya menjadi bagian dari mantra perlindungan.“Aku merasa seperti sedang diawasi,” bisik Kirana.Azlan tidak menjawab, tetapi ia juga merasakan hal yang sama.Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Atapnya tinggi dengan pilar-pi
Angin malam berhembus dingin di desa tersembunyi itu. Azlan masih duduk diam di dalam rumah lelaki tua yang baru saja mengungkapkan sebagian kebenaran tentang garis keturunannya.Kirana dan Reina duduk tak jauh darinya, sama-sama mencerna informasi yang baru mereka dapatkan."Kau baik-baik saja?" tanya Reina akhirnya, memecah keheningan.Azlan mengangkat kepalanya. "Aku hanya... merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya."Lelaki tua itu mengangguk. "Kau benar. Apa yang kukatakan barusan hanyalah permulaan. Jika kau ingin mengetahui seluruh kebenaran, kau harus mencarinya sendiri."Azlan menghela napas. "Dan aku yakin perjalanan itu tidak akan mudah."Lelaki tua itu tersenyum samar. "Tidak ada perjalanan menuju kebenaran yang mudah, Azlan. Tapi kau tidak akan berjalan sendirian."Azlan melirik Kirana dan Reina. Mereka berdua mengangguk mantap."Aku sudah ikut sejauh ini, aku tidak akan berhenti sekarang," kata Kirana.Reina menambahkan, "Lagipula, perjalanan ini juga berhubung
Azlan menarik napas panjang, menatap jasad lelaki yang baru saja dihabisi oleh musuh yang tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya seseorang mencoba membungkam orang yang bisa memberinya informasi. Tetapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perburuan terhadapnya.Ia merasakan Kirana dan Reina mendekat, wajah mereka masih tegang setelah pertempuran singkat tadi."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Reina. "Mereka sudah tahu lokasi kita."Azlan mengangguk. "Kita berangkat sekarang."Tanpa membuang waktu, mereka segera meninggalkan tempat itu.Di perjalananAzlan, Kirana, dan Reina melangkah cepat menyusuri hutan lebat yang diterangi cahaya bulan. Mereka berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri."Azlan," kata Kirana tiba-tiba.Azlan menoleh."Kau sadar, kan? Mereka menyebutmu pewaris sesuatu yang tidak seharusnya ada," lanjutnya. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan masa lalumu?"Azlan terdiam sejenak. "Mungkin.
Di bawah cahaya bulan yang pucat, Azlan berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang terbentang di hadapannya. Udara dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang diterbangkan angin malam. Matanya menyipit, menajamkan pandangan ke arah perkemahan kecil di kejauhan, di mana cahaya api unggun berkedip-kedip dalam kegelapan.Sosok berjubah putih yang misterius itu telah menghilang tanpa jejak sejak pertemuan mereka sebelumnya. Azlan masih belum memahami sepenuhnya maksud dari kehadiran orang itu, tetapi satu hal yang pasti—dia harus lebih berhati-hati. Terlalu banyak mata yang mengawasinya, dan semakin banyak pihak yang mulai menyadari keberadaannya.Ia menarik napas panjang, menenangkan pikirannya. Dalam beberapa hari terakhir, terlalu banyak hal yang terjadi. Kemampuannya semakin terasah, tetapi sekaligus semakin banyak rahasia yang terbuka di hadapannya. Satu hal yang mulai ia sadari, ada lebih banyak kebenaran yang tersembunyi daripada yang pernah ia bayangkan
Azlan duduk bersandar di dinding kayu yang terasa dingin. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan rahasia yang belum terungkap. Kata-kata pria bertato tadi masih terngiang di kepalanya—Bayangan Kuno. Nama itu terdengar seperti legenda, tapi fakta bahwa pria berjubah abu-abu itu benar-benar ada membuatnya harus mempertimbangkan bahwa legenda itu mungkin lebih dari sekadar mitos.Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan pikirannya yang berkecamuk. Jika pria itu benar-benar bagian dari kelompok tersebut, maka pertemuannya bukanlah kebetulan.“Kenapa aku? Apa yang mereka inginkan dariku?”Azlan melirik pria bertato itu lagi, mencoba mencari petunjuk dari wajahnya yang keras dan penuh bekas luka.“Apa yang mereka jaga?” tanya Azlan akhirnya, memecah keheningan.Pria itu menghela napas sebelum menjawab, “Sesuatu yang tak seharusnya jatuh ke tangan manusia biasa.”Azlan mengernyit. “Sesuatu seperti apa?”Pria itu menatapnya lama, seolah mempertimbangkan apakah Azlan layak menge
Angin dingin berembus pelan, membawa serta aroma tanah basah yang masih tersisa setelah pertarungan sengit tadi. Azlan berdiri diam, menatap langit yang kini mulai sedikit lebih terang. Keheningan yang mendadak ini terasa janggal baginya, seakan badai baru saja mereda, tetapi masih menyimpan ancaman yang lebih besar.Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan denyut nadinya yang masih berpacu cepat akibat pertarungan. Sosok pria berjubah abu-abu telah menghilang begitu saja, meninggalkannya dengan banyak pertanyaan yang tak terjawab."Pewaris terakhir… tubuhmu telah diisi dengan warisan yang tak bisa kau hindari."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Warisan? Apa maksudnya? Apakah pria itu mengetahui sesuatu tentang dirinya yang bahkan ia sendiri belum menyadarinya?Azlan mengepalkan tinjunya."Aku harus mencari tahu lebih banyak."Tapi pertanyaannya, ke mana ia harus mulai mencari?Setelah memastikan tidak ada ancaman di sekitarnya, Azlan kembali berjalan menuju tempat per