"Benar-benarmerepotkan! Padahal aku sedang buru-buru!" Evan sedikit menggerutu.Salah seorangAjudan keluarga Lucio tampak sedang berdiri di depan meja Resepsionis.Evan panik, ia takut kalau sampai Ayahnya tahu jika Astira adalah perusahaanyang selama ini ia kelola tanpa sepengetahuan keluarganya.Evan yang sudah tak sabar ingin pulang pun mencari cara agar bisa melewatiAjudan tersebut tanpa harus ketahuan. Hingga terbesit sebuah ide gila yang relaia lakukan walau hal itu sangat tak sesuai dengan imejnya di kantor."Hey, kemarilah!" Evan melambai ke arah seorang Office Boy."S-saya, Direktur?" tanya pria yang sedang memegang sapu itu."Cepat kemari!" seru Evan yang membuat pria itu gugup."Apa saya telah membuat kesalahan?" tanya pria itu ketakutan."Ambil seragam baru Office Boy! Aku sedang membutuhkannya," perintahEvan sedikit mendesak.Pria itu pun terdiam, ia tak mengerti mengapa sang atasan meminta sesuatu yangsama sekali tak ada hubungan dengannya."Apa kamu tak dengar?"
"Ada seorang kenalanku, tadi dia ikut seleksi juga di Astira Corp. Tapi dia tidak lolos, sepertinya karena hanya lulusan SMA," jelas Alana sedikit bersedih mengingat sahabatnya Rena yang hamil tua."Memangnya kenapa? Bukankah memang seperti itu jika tidak sesuai kriteria.""Tapi, dia itu pintar sekali. Sangat disayangkan perusahaan hanya memandang gelar tanpa melihat kemampuan juga," keluh Alana.Evan merasa tersindir, karena dirinyalah yang telah membuat Aldi gugur. Bahkan alasannya pun lebih konyol dari yang Alana pikirkan."Mungkin memang dia belum beruntung. Mengapa kamu begitu perhatian padanya? Apa jangan-jangan, kamu menyukainya?" cecar Evan yang mulai merasa cemburu."Tentu saja tidak, aku hanya menyukai kamu seorang," sanggah Alana tak terima."Lalu kenapa?" Evan semakin penasaran."Dia itu suaminya sahabatku, namanya Rena. Sekarang Rena sedang hamil besar dan bulan depan akan melahirkan, sedangkan Kak Aldi sampai sekarang masih belum mendapat kerja karena tak memiliki gelar.
"Maaf, kamu siapa? Apa kita saling mengenal?" tanya Evan yang gugup karena harus berhadapan dengan sekretarisnya yang bernama Ella."Oh, maaf mungkin saya salah orang," jawab Ella.Meski Evan berkata seperti itu, tapi Ella masih ragu, ia yakin jika orang tersebut adalah atasannya. Seandainya memang hanya mirip saja, rasanya sangat mustahil sampai tahi lalat di dekat alisnya pun sama.Namun, melihat atasannya itu terus bergandengan dengan perempuan yang hanya dari kalangan orang biasa-biasa saja. Ia langsung berpikir jika pria itu bukanlah Evan. Mengingat bosnya terlalu angkuh dan arogan, terlalu kecil kemungkinannya untuk menyukai seorang perempuan yang sangat sederhana seperti itu.Angkutan umum pun berhenti tepat di depan restoran mewah yang mereka tuju."Sayang, apa benar kita bisa masuk sana?" Alana merasa ragu."Tentu saja bisa.""Tapi, aku tidak tahu cara memesan makanan di sana.""Tenang saja, aku tahu."Evan menggandeng tangan Alana sambil memasuki restoran. Hingga sesampainya
Evan menarik Alana untuk menaiki angkutan umum."Sayang, kita mau kemana?" tanya Alana, heran."Nanti juga kamu tahu."Alana dihantui rasa penasaran, ia tak tahu akan dibawa kemana oleh suaminya itu.Beberapa menit menaiki angkutan umum, Evan pun meminta sopir untuk berhenti di depan sebuah mall besar yang berada di pusat kota."Sayang, kamu tidak salah tempat, kan? Disini tak ada toko lain selain yang di dalam mall!""Tidak, aku memang mau membawamu masuk mall." Evan menggandeng Alana, kemudian keduanya memasuki mall.Saat di dalam mall, Alana merasa gelisah. Ia tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya itu sampai membawanya ke tempat yang sudah jelas mereka takkan sanggup membeli barang disana."Sayang, uangku tidak cukup untuk membeli pakaian di mall ini," bisik Alana, sedikit mencubit tangan Evan."Tenang saja, kita tak perlu mengeluarkan uang banyak." Evan menatap Alana sambil tersenyum."Bagaimana caranya? Semua orang juga tahu jika harga barang disini tidak ada yang murah,"
Jeni pun langsung duduk di sebuah sofa yang berada di kantor.Joan segera berlari menghampiri Jeni karena khawatir akan terjadi pertengkaran antara Ibu dan Anak. Namun, tak seperti yang dia bayangkan, keadaan kantor sepi, Jeni terlihat sedang asyik memainkan ponsel."Tante, tidak terjadi sesuatu, kan?" tanya Joan celingak-celinguk."Memangnya apa yang terjadi?" Jeni mengerutkan alis.Joan tak mendapati Evan di ruangannya, ia berpikir mungkin temannya itu sempat keluar sebelum Jeni masuk."Ah, tidak ada apa-apa, Tante," jawab Joan, canggung.Joan hanya berdiam diri di kantor sambil memandangi Jeni. Iia merasa bersalah pada Evan setiap kali memandangi wajah Jeni."Ada apa Joan? Kamu terus memperhatikan Tante dari tadi. Kamu pikir Tante tak tahu?""Tidak ada Tante, saya hanya merasa tak enak dengan kejadian tadi saja.""Pak, pakaian Nyonya sudah selesai kami bersihkan," ucap salah satu staff toko.Jeni langsung berdiri dan mengambil pakaian itu. Ia kemudian pergi setelah membayar pakaian
"Maaf, Anda salah orang!" sahut Evan yang berusaha segera pergi menjauh dari ibunya."Tidak! Kamu Evanders. Tolong katakan kalau kamu Evanders!" teriak Jeni sambil menangis.Evan langsung buru-buru pergi saat itu juga, ia tak ingin melihat Ibunya menangis. Namun juga tak rela jika sampai harus dipisahkan dengan istrinya. Karena ia sangat tahu, jika di sekitar Ibunya ada Bodyguard yang sedang mengawasi dari kejauhan. Yang mana jika identitasnya sampai ketahuan, maka mereka akan segera menyeretnya pulang."Sayang, apa kamu mengenal perempuan tadi? Mengapa sepertinya dia sangat terpukul saat melihatmu?" tanya Alana."Ah, itu… aku pernah bertemu Ibu itu sebelumnya, dia berpikir jika aku mirip dengan anaknya yang sudah meninggal. Makanya aku sampai memakai masker begini," jelas Evan.Ada perasaan bersalah di hati Evan karena terus-menerus membohongi Alana. Ia selalu menutupi kebohongan dengan kebohongan. Hingga rasanya, semua yang ada pada diri Evan saat ini hanyalah kepalsuan.Evan memutus
Alana terkejut melihat foto di dalam ponsel perempuan itu yang menunjukan dirinya sedang berbincang bersama Danu. Bahkan ada foto yang menunjukan jika Danu sedang memberinya uang. Padahal cerita aslinya tak seperti foto yang terlihat."Pak Danu sedang membantuku saat itu. Aku benar-benar baru mengenalnya kemarin," jelas Alana."Kami tak minta penjelasan darimu! Mana ada pencuri yang mengaku," sahut perempuan itu."Benar, kami akan mengadukan ini pada HRD. Rasanya tidak adil, dia bisa mendapat bagian yang bagus hanya karena menjadi simpanan orang berpengaruh di perusahaan ini," ujar teman perempuan itu."Aku tidak pernah menjadi simpanan siapa pun! Aku juga sudah memiliki suami, tolong jaga ucapan kalian!" Alana menggebrak meja.Melihat sikap Alana yang ternyata berani melawan mereka meskipun kalah jumlah. Perempuan yang sejak tadi mengolok-olok Alana itu pun langsung merasa kesal dan marah. Ia kemudian menelepon orang yang ia akui sebagai saudara sepupunya di kantor itu."Hallo, aku i
"Ada apa lagi?" tanya Kepala HRD yang masih kesal."Itu, Pak. Demi kenyamanan karyawan lain, Pak Direktur meminta Alana untuk berganti pakaian yang sudah robek," jelas perempuan itu."Oh, kupikir ada apa," jawab Kepala HRD, "Alana, cepatlah berganti pakaian dulu," sambungnya.Alana kaget, ternyata sejak awal Direktur perusahaan sedang memperhatikannya. Ia merasa malu dan canggung saat sadar setiap gerak-geriknya diperhatikan oleh orang hebat sekelas Presiden Direktur."B-baik, dimana saya bisa berganti pakaian?" tanya Alana, canggung."Di ruang khusus milik Direktur, karena perusahaan tidak memiliki ruang ganti pakaian," terang perempuan itu.Alana merasa tak nyaman, bagaimanapun ia masih asing dengan lingkungan perusahaan. Ia juga tak tahu apakah Direktur ini orang mesum atau bukan. Bagaimana jika ternyata di ruangan itu ada kamera CCTV? Bukankah seseorang akan melihatnya berganti pakaian?"Bagaimana? Tenang saja, kami menjamin keamanan setiap karyawan," sambungnya lagi."O-oh, baikl
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern